Tatkala kesunyian dan dinginnya pagi
dini hari merenggut kenyamanan, kenikmatan dan kelangsungan mimpi yang
menghiasi jiwa. Dengan serentak jiwa yang tenang pun bangkit dari istirahatnya.
Keadaan polos yang menghiasi mimik wajahnya, tingkahnya ketara jelas terdeskripsikan
dari bungkamnya mulut, diam seribu kata. Namun entah kenapa jiwa yang telah
terjaga tersebut tidak menyegerakan diri untuk bangkit, beranjak dari keadaan
duduknya (tepat diatas hamparan tempat tidurnya). Keadaan tersebut pun
mencuatkan beberapa prasangka yang tersimbolkan melalui pertanyaan. Apakah jiwa
yang tenang tersebut merasa terusik dengan keadaan yang memaksanya terperanjat untuk
bangun? Apakah jiwa masih merasa ngantuk? Sehingga agak sungkan untuk beranjak
menuju tempat penyadaran diri yang sejuk. Ataukah mungkin jiwa yang masih
terbalut kepolosan tersebut sedang merenung dan menghujamkan seribu niat,
mempersoalkan perbuatan (tindakan) baik apa yang akan dilakukannya sepanjang
hari nanti?.
Tidak adanya respon (jawaban) serentak langsung
dari jiwa yang nampak diberikan. Akhirnya suatu kebenaran yang belum terkuak
pun menjadi peluang adanya misteri yang harus terpecahkan, dengan memaparkan,
mengemukakan suatu alasan yang jelas dan selaras dengan logika.
Sehingga keadaan yang demikian pun
menimbulkan pengandaian yang khayali. Tak terkecuali jika jiwa sendiri dengan
sadar dan terus-terang mulai beranjak dari kediamannya membungkam seribu kata.
Bertransformasi menjadi sesuatu hal yang lebih transparansi. Merekonstruksi diri
menjadi sesuatu hal yang mampu dimengerti, dipahami dan dihayati. Yang disertai
dengan suatu kesempatan untuk menyikut, lepas dari rongrongan pertanyaan yang
membebani. Tentu saja semuanya akan menjadi jelas dan tegas tatkala jiwa memaparan
tentang apa yang sedang terjadi.
Mungkin jika jiwa dipersilahkan dan
diberi suatu kesempatan untuk mengemukakan, mencurahkan dan mengutarakan suatu
alasan. Tentu jiwa pun dengan santai akan berkata: “Aku terdiam bukanlah karena
rasa kantuk yang masih membalut diri. Aku terdiam bukanlah karena kesadaranku
belum kembali. Aku terdiam bukanlah karena menyesal telah beranjak dari mimpi
indah yang menghiasi diri. Akan tetapi aku terdiam karena aku sedang
menghujamkan seribu niat baik dalam hati. Sebab aku mengetahui bahwa ada suatu
pengajaran niat yang mesti aku amalkan dari suatu hadits Nabi SAW. Sebab aku
mengetahui niat merupakan pokok (intisari) dari segala tindakanku yang akan
dijalani. Sebab aku tidak mengetahui entah apa yang akan terjadi, peristiwa apa
yang akan menimpa diri nanti”.
Komentar
Posting Komentar