Langsung ke konten utama

Renungan Diri di Dini Hari

Tatkala kesunyian dan dinginnya pagi dini hari merenggut kenyamanan, kenikmatan dan kelangsungan mimpi yang menghiasi jiwa. Dengan serentak jiwa yang tenang pun bangkit dari istirahatnya. Keadaan polos yang menghiasi mimik wajahnya, tingkahnya ketara jelas terdeskripsikan dari bungkamnya mulut, diam seribu kata. Namun entah kenapa jiwa yang telah terjaga tersebut tidak menyegerakan diri untuk bangkit, beranjak dari keadaan duduknya (tepat diatas hamparan tempat tidurnya). Keadaan tersebut pun mencuatkan beberapa prasangka yang tersimbolkan melalui pertanyaan. Apakah jiwa yang tenang tersebut merasa terusik dengan keadaan yang memaksanya terperanjat untuk bangun? Apakah jiwa masih merasa ngantuk? Sehingga agak sungkan untuk beranjak menuju tempat penyadaran diri yang sejuk. Ataukah mungkin jiwa yang masih terbalut kepolosan tersebut sedang merenung dan menghujamkan seribu niat, mempersoalkan perbuatan (tindakan) baik apa yang akan dilakukannya sepanjang hari nanti?.
 Tidak adanya respon (jawaban) serentak langsung dari jiwa yang nampak diberikan. Akhirnya suatu kebenaran yang belum terkuak pun menjadi peluang adanya misteri yang harus terpecahkan, dengan memaparkan, mengemukakan suatu alasan yang jelas dan selaras dengan logika.
Sehingga keadaan yang demikian pun menimbulkan pengandaian yang khayali. Tak terkecuali jika jiwa sendiri dengan sadar dan terus-terang mulai beranjak dari kediamannya membungkam seribu kata. Bertransformasi menjadi sesuatu hal yang lebih transparansi. Merekonstruksi diri menjadi sesuatu hal yang mampu dimengerti, dipahami dan dihayati. Yang disertai dengan suatu kesempatan untuk menyikut, lepas dari rongrongan pertanyaan yang membebani. Tentu saja semuanya akan menjadi jelas dan tegas tatkala jiwa memaparan tentang apa yang sedang terjadi.  
Mungkin jika jiwa dipersilahkan dan diberi suatu kesempatan untuk mengemukakan, mencurahkan dan mengutarakan suatu alasan. Tentu jiwa pun dengan santai akan berkata: “Aku terdiam bukanlah karena rasa kantuk yang masih membalut diri. Aku terdiam bukanlah karena kesadaranku belum kembali. Aku terdiam bukanlah karena menyesal telah beranjak dari mimpi indah yang menghiasi diri. Akan tetapi aku terdiam karena aku sedang menghujamkan seribu niat baik dalam hati. Sebab aku mengetahui bahwa ada suatu pengajaran niat yang mesti aku amalkan dari suatu hadits Nabi SAW. Sebab aku mengetahui niat merupakan pokok (intisari) dari segala tindakanku yang akan dijalani. Sebab aku tidak mengetahui entah apa yang akan terjadi, peristiwa apa yang akan menimpa diri nanti”.  


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal