Gerak linier enam roda suatu
kendaraan yang menyisir relung koridor perjalanan menjadi tanda telah usainya camp
pelatihan. Setiap materil (fisik) yang nampak statis (rigorous) tatkala itu
nampak menjadi dinamis, harmonis dan realistis. Kecuali tumpukan tas, sandal
dan sebuah terval yang menjadi alas tempat duduk, masih tetap dalam
kerigorousannya. Hembusan angin yang fluktuatif dan menyejukkan menjadi
penghias disepanjang perjalanan. Langit biru yang menjadi atap pun tatkala itu
menjadi kawan setia dalam perjalanan. Keadaan terik panas mentari pun
seakan-akan sirna, tersembunyikan dalam keadaan yang teralihkan. Gemuruh kenadraan
yang ada disekitar pun menjadi musik pengiring perjalanan. Raut muka (mimik)
yang menganalogikan kelelahan pun mulai terenggut, tercerabut dengan
perbincangan dan guyonan yang membalut keadaan. Tanpa sungkan dan memperhatikan
asas kemaluan, ekspresi tawa yang menyimbolkan kegirangan pun tumpah menghiasi
keadaan.
Dalam keadaan ramai yang demikian, diri
saya pun larut carut marut dalam situasi asyik yang menghanyutkan. Perjalanan
yang sedang berlangsung tatkala itu pun tidak seperti yang dibayangkan, (negatif
thinking dan prasangka awal yang terhujam dalam benak saya). Namun, lebih
fantasi dan mengasyikan diluar dugaan.
Dalam keadaan hanyut yang demikian,
diri saya pun mulai kembali teralihkan, fokus merenungi beberapa agenda
kegiatan apa yang telah terjadi dibulan awal perkuliahan semester ini. Tatkala
itu, diri saya pun menyadari diri yang sedang merenung. Memikirkan kausalitas
dan hikmah (pelajaran hidup) yang semestinya menjadi warna dan makna dalam
kehidupan. Yang menjadi tema fokus perenungan saya pun tidak sebatas masa lalu
yang terlewatkan. Tapi juga beraneka hal (tindak) yang sedang dan akan terjadi.
Namun meskipun demikian, diri saya pun masih menyadari diri yang sedang ada
dalam perjalanan menuju pulang. (apa yang saya lakukan tentu berbeda dengan
metode kesangsian Rene Descartes yang menghasilkan Co gito Ergo Sum).
Secara spontan, fokus pikiran saya mulai
teralihkan dengan sebuah rutinitas yang terejawantahkan dalam tindak kekonsistenan.
Namun tatkala itu pun saya menyadari betapa naifnya diri terhadap kelengahan
dan kelalaian tentang apa yang telah dikomitmenkan. Dengan penuh kesadaran,
diri ini pun harus menanggung sedikit rasa penyesalan dan berusaha merekonstruksi
rutinitas baik yang telah terdestrosikan.
Komentar
Posting Komentar