Tatkala mentari mulai terbit di ufuk
timur. Sirnanya menyerbak, menjamah semua relung tempat kegelapan. Mengungkap indahnya
penjuru alam sebagai simbol keagungan Tuhan yang telah nampak dimuka bumi. Keindahnya
pun tak lekas habis dipandang. Keindahannya pun tak lekas nikmat dirasakan. Namun
keindahannya seakan-akan sirna tatkala kegelapan mulai menyelimuti kembali
keadaan. Namun keindahannya akan benar-benar sirna tatkala semuanya mulai digerus
zaman, tertimpa bencana alam dan tidak adanya upaya untuk melestarikan. Disaat
demikianlah mereka yang merasa beruntung (karena masih diberikannya kesempatan)
hidup sehingga masih bisa merasakan indahnya alam akan berbisik: “akal pikiran
dan hati ini akan terus bergumam (bertasbih) tatkala indera merasakan terjamahnya
diri oleh keindahan alam”.
Tatkala mentari mulai terbit di ufuk
timur. Sinarnya pun mulai menyentuh semangat hidup yang melekat, tertanam dan
terpatri dalam diri semua makhluk yang bernyawa. Entah itu makhluk yang kadarnya
kecil atau pun besar. Entah itu mahkluk yang mengandalkan hidup didarat,
dilaut, diudara ataupun makhluk yang mampu hidup beradaptasi (berkamuflase)
didua alam sekalipun.
Tatkala mentari mulai terbit di ufuk
timur. Hangatnya sinar mentari mulai meyelimuti diri para calon sarjana yang
hari ini akan diwisuda. Mereka pun dengan transparan, terancang dan
terang-terangan mempersiapkan diri bertahtakan toga dikepala. Sebagai tanda
kelulusan, gelar sarjana muda pun ketika itu dengan sah mereka sandang. Dengan
serentak rasa bahagia pun tentu menyelimuti diri. Namun tidak ketinggalan rasa
haru pun tentu tetap menyertai.
Dalam keadaan sadar, tatkala saya merenungi
situasi yang demikian. Saya pun dengan serentak teringat dan merasakan
bagaimana gejolak rasa yang sedang bertarung dalam diri, (pelajaran hidup dari pengalaman
pribadi saat perpisahan kelulusan sekolah). Diri pun seakan-akan dibuat bingung tatkala
rasa bahagia dan haru (sedih) pun menghiasi diri. Entah rasa mana yang mendominasi,
yang pasti diri seakan-akan ingin mengulang kembali semua peristiwa, kejadian
yang pernah menerpa diri saat kebersamaan dijalani.
Tapi disatu sisi, diri pun haruslah
menyadari dan mengakui bahwa kini diri pribadi pun telah tumbuh dewasa dan mandiri,
sehingga saat-saat kebersamaan pun harus renggang terbatasi. Entah itu
terbatasi ruang atau pun waktu. Yang pasti sekarang, diri pribadi pun haruslah
mampu berpijak, bertumpu dikaki sendiri (seringnya diandalkan) dalam mengambil
keputusan untuk menghadapi perjalanan hidup yang harus dijalani.
Komentar
Posting Komentar