Langsung ke konten utama

Gejolak Rasa dihari Wisuda

Tatkala mentari mulai terbit di ufuk timur. Sirnanya menyerbak, menjamah semua relung tempat kegelapan. Mengungkap indahnya penjuru alam sebagai simbol keagungan Tuhan yang telah nampak dimuka bumi. Keindahnya pun tak lekas habis dipandang. Keindahannya pun tak lekas nikmat dirasakan. Namun keindahannya seakan-akan sirna tatkala kegelapan mulai menyelimuti kembali keadaan. Namun keindahannya akan benar-benar sirna tatkala semuanya mulai digerus zaman, tertimpa bencana alam dan tidak adanya upaya untuk melestarikan. Disaat demikianlah mereka yang merasa beruntung (karena masih diberikannya kesempatan) hidup sehingga masih bisa merasakan indahnya alam akan berbisik: “akal pikiran dan hati ini akan terus bergumam (bertasbih) tatkala indera merasakan terjamahnya diri oleh keindahan alam”.
Tatkala mentari mulai terbit di ufuk timur. Sinarnya pun mulai menyentuh semangat hidup yang melekat, tertanam dan terpatri dalam diri semua makhluk yang bernyawa. Entah itu makhluk yang kadarnya kecil atau pun besar. Entah itu mahkluk yang mengandalkan hidup didarat, dilaut, diudara ataupun makhluk yang mampu hidup beradaptasi (berkamuflase) didua alam sekalipun.
Tatkala mentari mulai terbit di ufuk timur. Hangatnya sinar mentari mulai meyelimuti diri para calon sarjana yang hari ini akan diwisuda. Mereka pun dengan transparan, terancang dan terang-terangan mempersiapkan diri bertahtakan toga dikepala. Sebagai tanda kelulusan, gelar sarjana muda pun ketika itu dengan sah mereka sandang. Dengan serentak rasa bahagia pun tentu menyelimuti diri. Namun tidak ketinggalan rasa haru pun tentu tetap menyertai.  
Dalam keadaan sadar, tatkala saya merenungi situasi yang demikian. Saya pun dengan serentak teringat dan merasakan bagaimana gejolak rasa yang sedang bertarung dalam diri, (pelajaran hidup dari pengalaman pribadi saat perpisahan kelulusan sekolah). Diri pun seakan-akan dibuat bingung tatkala rasa bahagia dan haru (sedih) pun menghiasi diri. Entah rasa mana yang mendominasi, yang pasti diri seakan-akan ingin mengulang kembali semua peristiwa, kejadian yang pernah menerpa diri saat kebersamaan dijalani.  

Tapi disatu sisi, diri pun haruslah menyadari dan mengakui bahwa kini diri pribadi pun telah tumbuh dewasa dan mandiri, sehingga saat-saat kebersamaan pun harus renggang terbatasi. Entah itu terbatasi ruang atau pun waktu. Yang pasti sekarang, diri pribadi pun haruslah mampu berpijak, bertumpu dikaki sendiri (seringnya diandalkan) dalam mengambil keputusan untuk menghadapi perjalanan hidup yang harus dijalani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...