Langsung ke konten utama

Memahami Spesifikasi Dalam Keilmuan

Ekspansi dan eksplorasi ilmu pengetahuan yang terus-menerus maju dan berkembang menjadikan masing-masing wilayah berusaha melabeli, mengakui dan mengakomodir setiap ilmu yang muncul dari wilayahnya. Wilayah barat (diwakili Yunani) dan timur (diwakili Arab-Islam) pun seakan-akan disimbolkan menjadi oposisi sejati dalam memunculkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Proses yang demikian pun dapat diketahui, dipelajari dari realita histori dan literatur-literatur yang telah menjadi saksi bisu abadi. 
 Tidak hanya demikian, perbedaan yang nampak mendasar pun dapat dilihat dan diketahui dari bagaimana paradigma berpikir yang digunakan. Menurut Al-Jabiri dalam salah satu karyanya yang berjudul Bunyah al-aql al-Arabi, yang dikutip oleh A. Khudori Sholeh dalam karyanya yang berjudul Wacana Baru Filsafat Islam dikemukakan bahwa dalam pola pikir Arab-Islam, pijakan utama adalah kata atau bahasa, sementara pikir Yunani berpijak pada makna dan logika, (A. Khudori Soleh : 2012).
Spesifikasi yang ketara pun tentu akan sangat mempengaruhi bagaimana paradigma berpikir dan perspektif tokoh yang notabenenya berdomisili dan berkecimpung (bergelut) di dalam ilmu pengetahuan yang berada di wilayah tersebut. Sehingga kemungkinan besar untuk lepas dari tradisi berpikir yang telah membumi tersebut pun akan dirasa sulit.
 Begitu pula spesifikasi yang terjadi dalam dunia filsafat Islam. Filsafat Islam pun identik terkategorikan dan dikorelasikan berdasarkan wilayah kemunculan dan perkembangan. Semisal saja Filsafat Islam Barat, Filsafat Islam Timur, dan lain sebagainya.
Menanggapi dan memahami hal yang demikian setidaknya kita selalu berhusnudzon yang disertai dengan positive thinking. Bahwa dengan adanya spesifikasi tersebut, semestinya akan memudahkan dan menyederhanakan usaha kita dalam memahami bagaimana paradigma pemikiran tokoh dalam dunia keilmuan.  Serta yang lebih sederhananya lagi yakni memahami bagaimana paradigma berpikir sang tokoh yang menjadi fundamen dari pengklasifikasian yang ada. Sehingga dari sana kita pun dapat mengenali dan memahami beraneka ragamnya corak pemikiran yang ada.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...