Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

Masih Refleksi

Refleksi Mengaji Mengasah Jati Diri Indonesia 2 Sebungkus roti tanpa berlabelkan syariah dan segelas air mineral dengan merk popular yang telah saya lumat habis tempo hari, mengingatkan kembali keremang-remangan ingatan saya tentang IAIN mengaji bersama budayawan kondang Sujiwo Tejo, bapak Lukman Hakim Saifudin selaku Menteri Agama RI, Gus Reza sebagai pengasuh pondok pesantren yang beken di Kediri dan tentunya Rektor favorit kita, bapak Maftukhin, pelawak akademik handal yang pandai mencairkan keadaan. Salah satu agenda acara dalam memeriahkan dies natalis ke 50 IAIN Tulungagung ini telah berhasil menjadi magnet yang memuarakan ratusan masa. Kaum sarungan, pencinta sholawat, mahasiswa dan mereka yang hendak bersapa hangat dengan pak menteri kita. Termasuk para janc*kers yang berambisi bermuajahah dengan sang presidennya. Semuanya berduyun-duyun dan berbaur menjadi satu di lapangan merah yang sebagian permukaannya telah berbalut karpet, bersafari wisata religi ke kampus perabadan

Refleksi Acara

Refleksi Mengaji Mengasah Jati Diri Indonesia Terhitung empat hari sudah acara ngaji dengan tema “Kita Ber-Indonesia Kita Beragama” bersama budayawan masyhur Presiden Janc*kers Sujiwo Tejo, Gus Reza beken selaku pengasuh PP Al Mahrusiyyah Lirboyo dan sang rektor kampus kita tercinta, Bapak Maftukin. Beliau bertiga hadir sebagai narasumber utama disempurnakan dengan salah seorang bintang tamu selaku host yang sangat dielu-elukan kedatangannya, Bapak Menteri Agama RI kita, Lukman Hakim Saifuddin. Ini merupakan salah satu agenda besar dari serangkain acara milad ke-50 IAIN Tulungagung. Semoga saja, topik ini belum begitu basi untuk dibicarakan. (Hanya ujaran alibi malas saya yang urak-urakan untuk memberi catatan molor). Sedikit menggerutu dengan nada yang sangat disayangkan, Gus Tejo harus menerima kenyataan bahwa yang menjadi host untuk performanya kali ini ialah seorang lalaki. Bukan seorang perempuan impian yang selalu memberinya pencerahan dikala tampil di muka umum. Namun m

Point of View

Kesuksesan itu Seperti ini, Katanya Nasihat sang motivator muda masih saja jengah terngiang dikedua telinga. Risau rasanya, apabila isi kepala ini dibajak semena-mena oleh serangkaian   kalimat kompor yang terus meluap-luap. Semoga saja tidak membawa kabar duka layaknya tabung elpiji yang meledak. Untuk itu, biarkanlah si fakir ini, sedikit berceloteh ngawur kemana-mana. Anggap saja, benang ruwet yang harus anda pintal dengan penuh kesabaran dan harapan menuai makna. Kesangsian mendefinisikan istilah sukses menjadi bidan handal tertuangnya seonggok tulisan ini. Rong-rongan pertanyaan pun tidak dapat dinafikan. Seperti halnya, apa sebenarnya yang dimaksud sukses itu? Siapakah orang sukses itu? Bagaimanakah cara untuk mencapai kesuksesan? Dan kenapa seolah-olah hidup selalu harus menuju dalam wujudnya yang sukses?. (Pertanyaan sama yang pernah disodorkan salah seorang teman saya tempo hari dikala mulutnya belepotan dengan sambal). Di satu sisi seolah-olah sukses itu adalah titah Tu

Masih Review

Time Is Choice Masih berkutat dalam pekikan manja sang inspirator muda, Syafii Efendi. Bukankah khalayak orang sepakat dengan kiasan time is money?, waktu adalah uang. Apabila itu benar, namun mengapa setiap orang tidak pernah sampai pada titik kemapanan yang sama?. Padahal umumnya setiap orang memiliki waktu yang sama. Diberi peluang yang berkarakter sama. Tapi toh kenapa selalu berada dalam titik jurang kesenjangan yang terus menganga?. Sadar ataupun tidak, telah membuat distansi dan hierarki sosial yang sangat ketara. Miskin-kaya begitu kontras dalam perlakuan sosial masyarakat, cermin dunia. (jangan jawab takdir, jika anda tidak ingin dilabeli hadramautisme). Apakah yang salah? Dan siapakah yang harus dipersalahakan? Tatkala disuguh wujud stratifikasi sosial yang menjadi sekat-sekat pembatas dalam komunkasi antar masyarakat. Apakah ini merupakan buah perasan dari pemaknaan yang salah terhadap kiasan time is money?. Mendefinisikan waktu yang identik dengan kapitalisme. Memukul

Celotehan di Pagi Hari

Buku Sekali Duduk By Dewar Alhafiz Menghela nafas jauh di ujung pandang. Berikanlah saya izin untuk merenggangkan kembali jari-jemari mungil yang telah lama membeku ini. Mungkin akan ada berjubel alasan yang membelenggu kebekuan itu. Sehingga sebagai dampaknya, saya takut pembaca akan menjadi satru untuk meneruskan patahan tulisan yang penuh dengan kecacatan dan ketidaksempurnaan ini. Untuk permulaan ini, saya juga tidak menghendaki celotehan yang begitu panjang lebar sampai mulut berbusa-busa. Terlebih-lebih memberatkan diri dengan persoalan runyam yang terus mengejar dan seakan-akan tidak ada habisnya, bahkan hampir mencekik. Melainkan hanya bermaksud menyampaikan sedikit refleksi dari hasil pembacaan acakadut saya terhadap bukunya Syafii Efendi yang berjudul ‘ My Enemy is Me ’. Salah satu buku best seller yang lahir dari tangan kreatif sang inspirator Trainer dan motivator termuda no. 1 Indonesia. Sekaligus sebagai penulis buku best seller ’10 Langkah Sukses di Usia Muda ’.