Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Edisi Sinau

Terpesona di awal jumpa Oleh:   Roni Ramlan Keberuntungan telah menyapa saya, memberi warna dalam goresan asa yang belum sempat saya kira. Bersyukur pula, waktupun berkompromi santun dengan rundown tugas akhir kuliah saya di semester tua. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa Mr. Skripsi akan terus memaki saya, jika dalam sehari saja jemari mungil ini tidak membelainya. Menyapanya dengan secangkir teh hangat di kala fajar tiba. Meruwatnya di kala siang bolong menganga. Memberi senyum manis dikala senja sampai menjadi teman akrabnya tatkala rembulan sinarnya tiada dua. Mungkin hampir semua perhatian saya tercurah halus kepadanya, apalagi mengingat teman-teman sejurusan saya yang telah menuai keringat dingin dengan gelar sarjana.     Sabtu sore 21 Mei 2017, saya pun berangkat dengan tekad yang bulat ke Surabaya. Masih teringat betul dimemori saya, tatkala itu pun hanya kesungguhan niat untuk menghadiri acara kopdar IV Sahabat Pena Nusantara (SPN). Memang saya bukan siapa-siapa,

Book Review

Aktivitas Weekend By Dewar Al-hafiz Dua hari weekend kemarin telah saya habiskan berbincang hangat dengan Boy Candra. Salah seorang penulis yang kemungkinan besar sudah tidak asing lagi menggema di telinga anda. Meskipun demikian, tapi inilah kali pertama saya berkenalan dengannya. Itupun bukan bertatap langsung di atas sofa yang berlatarkan senja merona, yang dilengkapi secangkir kopi hitam penjaga mata. Melainkan, menakar rentang janji dalam deret buah penanya. Nampaknya tidak perlu juga sekonyong-konyong saya menyebutkan “Sebuah Usaha Melupakan” adalah judul bukunya.   Eh, Keceplosan. Rupa buah penanya begitu asyik. Tiga ratus lima halaman sudah menjadikannya layak disebut buku. Buku yang akan terlumat habis dalam sekali duduk bagi para predator. Berbeda halnya dengan saya, yang membutuhkan dua hari untuk menghatamkannya. (Dasar lamban!!!). Terlebih lagi, jika mengingat bahwa jenis buku tersebut berjentre non fiksi. Mungkin akan lebih tepatnya mirip seperti catatan diary. H

Review Antalogi

Refleksi Bacaan yang Sempat Tertunda By Dewar Alhafiz Pagi November. Memori kusam saya mulai sempat bertamu kembali dengan mengecam segelas teh hangat di pagi hari. Rasanya begitu nikmat, tatkala setiap tegukan mulai menghangatkan sekujur tubuh. Walaupun sangat jelas, hal itu hanya ada di dalam imajinasi. Beberapa bulan yang lalu, saya sempat sedikit menengok salah satu buku yang diterbikan oleh IAIN Tulungagung Press. Nampaknya tidak perlu saya sebutkan secara lantang kalau buku tersebut berjudul “Di ujung Selatan Kota Partia”. Tidak perlu pula saya memojokkannya dengan gaya yang sarkas, tatkala mengatakan bahwa buku tersebut berisi catatan refleksi Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa IAIN TUlungagung 2017 di Kabupaten Blitar. Dan tatkala itu saya baru mengetahui, bahwa kota yang dulu pernah saya kencani dikala KKN tersebut memiliki julukan kota Patria. Helloo kemana saja ya???. Padahal hampir sebulan lebih saya nunut tidur di sana. Lebih tepatnya empat puluh lima hari saya m

Edisi Refleksi Novel

Pembacaan Singkat Atas Novel Cantik Itu Luka Tergopoh-gopoh saya menelusuri jejak karya pena Eka Kurniawan (berikutnya disebut: penulis), “Cantik Itu Luka”. Sang novelis ulung dengan serangkaian kata-kata gila luar biadab. Istilah klop teruntuk novelnya yang teramat keren. Mulanya saya dibuat terkejut dengan sodoran babak cerita yang begitu terasa ujug-ujug. Namun, hal itu justru menjadi sambutan hangat untuk memasuki racikan cakrawala kisah yang sangat picik. Menjebak pembaca jatuh pada rasa penasaran. Menghardik kelatahan mulut pembaca untuk tidak sampai melewatkan setiap patahan kata yang tertuang. Baik koma ataupun titik. Nampaknya, sang penulis ingin menyadarkan pembaca untuk menjadi kutu buku sejati. Sepertinya   syair-syair Rumi telah   merasuk sebagai pengingat, bahwa perjuangan membaca dan menulis kita selama belajar jangan disia-siakan kusam karena tertimbun hasrat main gadget. Ah, sialan. Begitu cerdik penulis mengisyafkan pembaca. Kepicikannya kian menjadi sempurna t

Refleksi

Aku, Antalogi dan Membaca Kurang lebih dua pekan yang lalu , salah seorang teman akrab singgah di kos saya. Kos yang rupanya hampir sulit dibedakan dengan asrama putra yang biasanya disebut kobong (istilah bahasa sunda menyebutkan). Kamar panjang tanpa sekat, yang dijejali dengan deret lemari-lemari minimalis yang terbuat dari kayu dan triplek. Itupun tidak setiap lemari berisi pakaian, melain buku bacaan. Bahkan ada yang nampak lebih parah lagi. Buku   tertata rapih di dalam lemari, sementara pakaian bergelantungan di mana-mana. Belum lagi di bagian sela-sela deret lemari tersebut, terdapat rak yang dipenuhi buku yang wujudnya acakadut. Tidak tertata rapih. Dan kebetulan buku milik saya, berada tepat di bawah meja. Begitulah dua-tiga orang mendeskripsikan kamar kos saya. Amburadul memang. Namun, bukan itu yang hendak saya curhatkan. Melainkan mengenai perbincangan hangat kami (saya dan teman akrab) yang hilir-mudik kemana-mana. Kebetulan tatkala itu, di atas karpet yang sedang

Catatan Pagi

Manakah yang Lebih penting? Kehidupan adalah proses pergulatan waktu dan kesempatan yang terus berulang-ulang. Perjumpaan dua dimensi yang kian hari ketara nyata sikut-menyikut, saling mengunggulkan. Dialog panjang yang tak pernah usai   selama ada nafas yang masih berhembus. Apabila dianalogikan sebagai tunggangan, ibarat kuda sembrani yang harus kita kontrol dan kendalikan untuk sampai pada tujuan. Tentu ini bukan sekadar kultusan takdir yang hanya cukup disumpal dengan sikap nrima ing pandum tanpa ikhtiar, layaknya qadariah mengasumsikan. Mengapa demikian? Sebab proses gejolak hidup terus berjalan. Rentetan masalah terus datang silih bergantian. Bak detakan waktu yang terus berputar menenteng berjubel problematika dalam wujudnya yang kasat mata sebagai ujian. Dalam menyikapi hal yang demikian, nampaknya bukan lagi suatu hal yang mengherankan apabila Rene Descartes meretaskan diri dengan cogito ergo sum yang menggebu-gebu. Bukan waktu yang menjadi supir handal dalam memaknai

Masih Refleksi

Refleksi Mengaji Mengasah Jati Diri Indonesia 2 Sebungkus roti tanpa berlabelkan syariah dan segelas air mineral dengan merk popular yang telah saya lumat habis tempo hari, mengingatkan kembali keremang-remangan ingatan saya tentang IAIN mengaji bersama budayawan kondang Sujiwo Tejo, bapak Lukman Hakim Saifudin selaku Menteri Agama RI, Gus Reza sebagai pengasuh pondok pesantren yang beken di Kediri dan tentunya Rektor favorit kita, bapak Maftukhin, pelawak akademik handal yang pandai mencairkan keadaan. Salah satu agenda acara dalam memeriahkan dies natalis ke 50 IAIN Tulungagung ini telah berhasil menjadi magnet yang memuarakan ratusan masa. Kaum sarungan, pencinta sholawat, mahasiswa dan mereka yang hendak bersapa hangat dengan pak menteri kita. Termasuk para janc*kers yang berambisi bermuajahah dengan sang presidennya. Semuanya berduyun-duyun dan berbaur menjadi satu di lapangan merah yang sebagian permukaannya telah berbalut karpet, bersafari wisata religi ke kampus perabadan

Refleksi Acara

Refleksi Mengaji Mengasah Jati Diri Indonesia Terhitung empat hari sudah acara ngaji dengan tema “Kita Ber-Indonesia Kita Beragama” bersama budayawan masyhur Presiden Janc*kers Sujiwo Tejo, Gus Reza beken selaku pengasuh PP Al Mahrusiyyah Lirboyo dan sang rektor kampus kita tercinta, Bapak Maftukin. Beliau bertiga hadir sebagai narasumber utama disempurnakan dengan salah seorang bintang tamu selaku host yang sangat dielu-elukan kedatangannya, Bapak Menteri Agama RI kita, Lukman Hakim Saifuddin. Ini merupakan salah satu agenda besar dari serangkain acara milad ke-50 IAIN Tulungagung. Semoga saja, topik ini belum begitu basi untuk dibicarakan. (Hanya ujaran alibi malas saya yang urak-urakan untuk memberi catatan molor). Sedikit menggerutu dengan nada yang sangat disayangkan, Gus Tejo harus menerima kenyataan bahwa yang menjadi host untuk performanya kali ini ialah seorang lalaki. Bukan seorang perempuan impian yang selalu memberinya pencerahan dikala tampil di muka umum. Namun m

Point of View

Kesuksesan itu Seperti ini, Katanya Nasihat sang motivator muda masih saja jengah terngiang dikedua telinga. Risau rasanya, apabila isi kepala ini dibajak semena-mena oleh serangkaian   kalimat kompor yang terus meluap-luap. Semoga saja tidak membawa kabar duka layaknya tabung elpiji yang meledak. Untuk itu, biarkanlah si fakir ini, sedikit berceloteh ngawur kemana-mana. Anggap saja, benang ruwet yang harus anda pintal dengan penuh kesabaran dan harapan menuai makna. Kesangsian mendefinisikan istilah sukses menjadi bidan handal tertuangnya seonggok tulisan ini. Rong-rongan pertanyaan pun tidak dapat dinafikan. Seperti halnya, apa sebenarnya yang dimaksud sukses itu? Siapakah orang sukses itu? Bagaimanakah cara untuk mencapai kesuksesan? Dan kenapa seolah-olah hidup selalu harus menuju dalam wujudnya yang sukses?. (Pertanyaan sama yang pernah disodorkan salah seorang teman saya tempo hari dikala mulutnya belepotan dengan sambal). Di satu sisi seolah-olah sukses itu adalah titah Tu

Masih Review

Time Is Choice Masih berkutat dalam pekikan manja sang inspirator muda, Syafii Efendi. Bukankah khalayak orang sepakat dengan kiasan time is money?, waktu adalah uang. Apabila itu benar, namun mengapa setiap orang tidak pernah sampai pada titik kemapanan yang sama?. Padahal umumnya setiap orang memiliki waktu yang sama. Diberi peluang yang berkarakter sama. Tapi toh kenapa selalu berada dalam titik jurang kesenjangan yang terus menganga?. Sadar ataupun tidak, telah membuat distansi dan hierarki sosial yang sangat ketara. Miskin-kaya begitu kontras dalam perlakuan sosial masyarakat, cermin dunia. (jangan jawab takdir, jika anda tidak ingin dilabeli hadramautisme). Apakah yang salah? Dan siapakah yang harus dipersalahakan? Tatkala disuguh wujud stratifikasi sosial yang menjadi sekat-sekat pembatas dalam komunkasi antar masyarakat. Apakah ini merupakan buah perasan dari pemaknaan yang salah terhadap kiasan time is money?. Mendefinisikan waktu yang identik dengan kapitalisme. Memukul

Celotehan di Pagi Hari

Buku Sekali Duduk By Dewar Alhafiz Menghela nafas jauh di ujung pandang. Berikanlah saya izin untuk merenggangkan kembali jari-jemari mungil yang telah lama membeku ini. Mungkin akan ada berjubel alasan yang membelenggu kebekuan itu. Sehingga sebagai dampaknya, saya takut pembaca akan menjadi satru untuk meneruskan patahan tulisan yang penuh dengan kecacatan dan ketidaksempurnaan ini. Untuk permulaan ini, saya juga tidak menghendaki celotehan yang begitu panjang lebar sampai mulut berbusa-busa. Terlebih-lebih memberatkan diri dengan persoalan runyam yang terus mengejar dan seakan-akan tidak ada habisnya, bahkan hampir mencekik. Melainkan hanya bermaksud menyampaikan sedikit refleksi dari hasil pembacaan acakadut saya terhadap bukunya Syafii Efendi yang berjudul ‘ My Enemy is Me ’. Salah satu buku best seller yang lahir dari tangan kreatif sang inspirator Trainer dan motivator termuda no. 1 Indonesia. Sekaligus sebagai penulis buku best seller ’10 Langkah Sukses di Usia Muda ’.