Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2021

Aku Lupa Sekolah Mak!

Apa kabar sekolah? Apa engkau dalam keadaan baik-baik saja di sana? Apa engkau sekarang masih setia merawat harapan, asa dan cita-cita kaula muda dalam duka Corona? Pun sahabat-sahabat juang yang telah lama bersembunyi di balik rentangan jarak  Semoga kalian baik-baik saja menahan rindu yang terus bergejolak Apa kabar gedung-gedung dengan tembok yang kokoh? Atap dan semua isian yang terjaga pagar berkawat Apa engkau sudah mulai berkarat? Atau malah keterpisahan ini menjadikan ego menara gadingmu menjadi kumat? Kelengangan yang tak kunjung berujung ini justru membuatmu tersenyum jail dengan sikap bodo amat Bodo amat? Hahahaha... Siapa? Aku? Atau mungkin engkau bersimpuh di hadapan peraturan yang dikukuhkan para penjabat Engkau membudak atas nama maslahat, institusi dan riwayat Bodo amat! Biarkan orangtua berduyun-duyun mendaftarkan ribuan anaknya hingga sebulan kemudian tamat Biarkan mereka berlomba-lomba memuja nilai hingga kiamat Biarkan mereka bangga dengan angka-angka yang disebut h

Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya (Bagian 4)

Alur tulisan ini bersambung dengan unggahan sebelumnya. Sebelum membaca pastikan Anda sudah membaca episode sebelumnya: Bagian 2: https://www.kompasiana.com/manganwar/60c771fdd541df1aa63dcfd3/syukur-di-balik-kerapuhan-rasa-dan-psikis-di-hari-raya Bagian 3: https://www.kompasiana.com/manganwar/60c7e6168ede483d3e43bad2/syukur-di-balik-kerapuhan-rasa-dan-psikis-di-hari-raya Stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus Sementara pola yang terakhir, yakni stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus telah menjadi bumbu penyedap rasa dalam silaturrahim pasca lebaran.  Stigma dalam konteks ini bukan semata-mata bermakna tanda atau ciri negatif yang menempel pada pribadi tertentu  karena pengaruh lingkungannya melainkan justru citra negatif itu ada dalam diri seseorang karena pelabelan melalui tanda atau ciri yang kian masif digencarkan secara personal yang diamini khalayak ramai. Artinya, di sana ada proses pembentukan hingga akhirnya pelabelan itu menjelma menjadi kenyataan.  Mirisnya, car

Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya

"Sadar ataupun tidak, salah satu hal yang banyak mengundang keprihatinan diri di hari yang fitri adalah ketidakmampuan kita keluar dari tradisi tajassus dan gibah yang terus mengakar dan menghegemoni. Tidak pandang bulu, siapapun itu seakan-akan pantas untuk dikutuk dan dikuliti" , Dewar Alhafiz. Seperti halnya koin yang memiliki dua sisi. Pemberlakuan aturan larangan mudik lebaran Idulfitri itu pun pada kenyataannya tidak hanya menampilkan tekanan psikis dan kerapuhan rasa yang bersemayam dalam benak masing-masing kita, melainkan berpotensi juga sebagai ajang untuk memanjatkan syukur. Lah, bersyukur di tengah himpitan bencana dari segala aspek kehidupan memang bisa? Jikapun itu bisa, syukur seperti apa? Apakah syukur itu seperti halnya orang yang merokok? Meskipun terhitung sudah habis satu batang namun tetap saja menguntungkan. Masih saja menyisakan puntung rokok. Bagian filter yang tidak terbakar.   Atau mungkin, syukur itu mirip dengan etika yang menjadi falsafah hidup ma