Iftitah
Dalam dunia pendidikan mungkin term
“ospek” sudah tidak asing lagi bila terngiang ditelinga, khususnya bagi para akademisi.
Pasalnya term ini sering kali dikorelasikan, digembor-gemborkan dan direalisasikan
tatkala tahun ajar baru datang menghampiri. Bersesuaian dengan hal tersebut,
kegiatan ospek pun menjadi suatu agenda yang lumrah dan memberi warna
tersendiri dalam dunia pendidikan. Entah itu dalam dunia pendidikan tingkat
SLTP, SLTA ataupun ketika kita memasuki jenjang dunia perkuliahan diperguruan
tinggi sekalipun.
Tidak hanya demikian, dalam suatu framework
pelaksanaan kegiatan ospek pun terkadang dapat dikategorikan sebagai agenda yang
kontradiksi, disebabkan karena memiliki dua sisi. Disatu sisi kegiatan ini
merupakan suatu agenda yang besifat mutualis simbiosis (keadaan yang saling
memberi keuntungan). Pasalnya tatkala kegiatan ospek menjelang berlangsung
banyak ranah yang tersentuh. Entah itu ekonomi, sosial, kebudayaan, agama dan
politik sekalipun. Tapi meskipun demikian fundamennya tetap satu, yakni
disebabkan karena adanya kebutuhan dalam memenuhi syarat yang telah ditentukan
oleh panitia yang menyelenggarakan. Sedangkan disisi yang lain, pelaksanaan
kegiatan ospek pun menjadi sesuatu momok yang ironi. Hal yang demikian pun
dibuktikan dengan adanya tindak per-bully-an, perpeloncoan, bahkan kekerasan
fisik yang berujung pada kematian, (semisal tragedi di IPDN yang terjadi
beberapa tahun kebelakang).
Meskipun demikian, tapi dengan
adanya pelaksanaan kegiatan ospek di tahun ajaran baru pun tidaklah membuat
calon peserta didik menjadi geram, cemas, pesimistis dan hilang arah tujuan
untuk menitih, melangkah jauh ke depan demi merengguk nikmatnya ilmu yang
dihasilkan dari proses jalannya pendidikan.
Kepedulian Terhadap Generasi
Sebuah pesan, nasihat yang tersebar dari
Anies Baswedan, Ph. D (selaku Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia) pun akhirnya muncul terargumenkan
melalui jejaring SosMed (Sosial Media). Di mana isi dari pesan, nasihat
tersebut kurang lebih ialah sebagai berikut. Pertama, beliau
menganjurkan kepada semua anak Indonesia yang telah mulai menginjak pendidikan
pada jenjang perkuliahan supaya mampu memanfaatkan dan memaksimalkan
kesempatan, yakni dengan cara mengembangkan potensi diri yang ada, demi meraih
kesuksesan pribadi dan turut menyokong kemajuan bangsa. Kedua,
menganjurkan supaya kita mampu menyeimbangkan antara aktivitas pembelajaran dan
organisasi yang diikuti. Dengan alasan bahwa bila kita terlalu condong (aktif)
pada satu pilihan, maka akan menjadi orang yang merugi dalam realita kehidupan.
Sedangkan bila kita mampu memaksimalkan dalam menyeimbangkan keduanya, kita
akan menjadi seorang pemimpin yang mampu diandalkan karena banyaknya wawasan. Entah
itu wawasan pengetahuan yang besifat empirik ataupun teoritis. Ketiga,
berpesan agar kita membuat master plan dalam rangka menggapai cita-cita
sebagai warga Indonesia yang sekaligus menjadi warga dunia yang bertekad untuk
memiliki peran penting dalam perkembangan dan peradaban. Dan yang terakhir,
beliau menganjurkan kepada kita untuk menjadi orang yang mengusai ilmu
pengetahuan terdepan (ilmu baru yang utama untuk dipelajari) secara kompleks
(dalam artian kapabel). Dengan alasan bahwa yang demikian adalah kunci dalam
mengolah dan mengasah kemampuan yang menjadi tradisi berpengetahuan.
Konteks Teoritis Terhadap Persoalan
Bersesuaian dengan hal tersebut,
sebuah asumsi parsial yang terdeskripsikan dari hasil pemikiran seorang
filosof, fenomenolog yang sekaligus juga seorang tokoh yang ahli dalam
Hermeneutik, yaitu Martin Heidegger, mungkin akan relevan sekali dengan pesan,
nasihat yang telah terargumenkan oleh Bapak Anies Baswedan tersebut. Di mana Martin
Heidegger dalam salah satu karyanya yang mempersoalkan tentang “Sein Und
Zeit”, yang lebih tepatnya dalam bagian pembahasan Verstehen (proses
pemahaman), ia mengemukakan sebagai berikut.
Dasein tidak pernah ada dan hidup
hanya di masa tertentu, melainkan ia
hidup dan selalu ditemukan dalam kepadatan atau kerangka waktu: yang lampau
sebagai Befindilikchkeit, sekarang sebagai Rede dan yang akan datang
sebagai Verstehen. Di dalam setiap kepadatan waktu ditemukan kerangka
waktu yang tidak menentu (kacau). Manusia otentik yaitu Dasein, memiliki ciri
khas dalam masa lampaunya sebagai Befindilikchkeit (dalam kondisi
ditemukan) atau di temukan dalam kebebasanya.Dasein kemudian secara mendadak
sadar akan beban yang sangat berat,karena ia di lahirkan di dunia.Kekinian
Dasein atau Rude (ucapan bahasa) adalah artikulasi dari penemuan diri dari masa
lampau dan antisipasi ke masa depan.Tetapi
kekinian menemukan Dasein tersembunyi dalam situasi dan manusia hanya dapat
mempertahankan autentisitasnya dengan melakukan aktivitasnya dalam kerangka
waktu sekarang. (Edi Muyono, dkk., 2012 : 71)
Sehingga bila disederhanakan berarti adanya
keadaan sekarang tidaklah lepas dari adanya keadaan dahulu yang telah
bertransformasi menjadi histori. Begitu pula dengan keadaan masa depan,
pastinya ditentukan oleh adanya keadaan sekarang. Jadi secara simple adanya
keadaan sekarang merupakan suatu titik pertemuan (berupa jalan) yang
menghubungan dan mengisyaratkan adanya tiga dimensi ruang yang saling
berbenturan.
Dalam realita kehidupan tentunya
tidak hanya demikian, tapi di sana juga ada sebuah usaha untuk mengkorelasikan
dan sekaligus menentukan posisi dengan cara memaksimalkan kesempatan yang ada
(mengambil pembelajaran/hikmah dari sejarah empirik yang telah dijalani secara
privasi, memanfaatkan secara maksimal keadaan sekarang sebagai jalan perantara
demi menggapai cita-cita yang diinginkan di masa depan), dan tentunya semua itu
akan memerlukan kesadaran terhadap keseimbangan realitas kehidupan. Selain itu
sebuah ungkapan “Jas Merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah) yang
dikemukakan oleh sang Proklamator Republik Indonesia (Ir. Soekarno, selaku
Bapak presiden pertama) pun mampu menjadi sebuah peringatan, acuan dan
perhatian bagi generasi bangsa berikutnya.
Konteks Dogma Terhadap Persoalan
Dalam konteks
agama islam, apa yang sedang dipersoalkan tentu memiliki otonom, eksistensi dan
penjelasan yang signifikan serta relevan. Disamping itu persoalan tersebut juga
selalu bersifat vertikal theosentris, mengarah pada sosok yang ideal sang
pencipta, yakni Allah SWT (teleologi). Misalnya saja persoalan tentang
keseimbangan yang terdapat dalam QS. Al-Mulk: 1-3
Artinya: Maha Suci
Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu,Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun,Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali
tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.
Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Tidak hanya terdapat
dalam Al-Qur’an, dalam hadits pun tentu ada sebuah penjelesan yang besangkutan
dengan persoalan yang sedang dibicarakan. Misalnya sebuah hadits tentang
keseimbangan yang di riwayatkan oleh ibnu asakir dan anas.
لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاخِرَتِهِ وَلاَ اخِرَتَهُ
لِدُنْيَاهُ حَتّى يُصِيْبُ مِنْهُمَاجَمِيْعًا
فَاِنَّ الدَّنْيَا بَلَاغٌ اِلَى اْلاخِرَةِ وَلَاتَكُوْنُوْا كَلًّ عَلَى
النَّاسِ ( رواه ابن عسا كرعن انس)
Artinya:
“bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan
kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk
mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia
mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang
lain”.
Hadits yang memberikan
penjelasan tentang harusnya kita memanfaatkan kesempatan secara maksimal, yang
diriwayatkan oleh Baihaqi.
اِعْمَلْ لِدُ نْيَكَ كَاءَنَّكَ تَعِيْسُ اَبَدًا وَعْمَلْ لِآخِرَتِكَ
كَاءَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا ( رواه البيهقى)
Artinya: “bekerjalah
untuk duniamu seakan akan kamu akan hidup selamnya dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan akan kamu akan mati besok.”
Khotimah
Kini berkembangannya teknologi, peradaban dan
kemajuan wawasan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, kian terus meningkat
dan sulit unuk dinampikan. Sehingga keadaan yang demikian pun terkadang
mendeterminasikan, mengalienasikan, mengisolasikan, dan mengdegredasikan mereka
yang berwawasan pengetahuan yang minim. Maka hanya mereka (para pengembara
kehidupan) yang memiliki tekad, kemauan untuk berikhtiar, memiliki kesadaran
akan pentingnya wawasan (ilmu pengetahuan), memiliki keberanian untuk maksimal
kesempatan yang telah diberikan, dan kepandaian dalam beradaptasi serta
berkompetisi, yang akan mampu bertahan dalam menghadapi kerasnya persaingan realita
kehidupan.
Komentar
Posting Komentar