Langsung ke konten utama

Abstraksi Diri Tentang Persoalan


Terkadang tidak selamanya apa yang kita inginkan itu baik, Entah itu baik untuk diri kita pribadi atau pun orang lain yang ada disekitar kita. Namun, adanya gejolak rasa, nafsu, dan hasrat yang terus membelenggu jiwa, seakan-akan telah memangkas dan mengintimidasi semua hal yang lebih utama (kebutuhan primer lebih tepanya).
Tidak selamanya apa yang telah kita rencanakan akan berjalan mulus, lurus dan sukses (berhasil) linier sesuai dengan keinginan. Dengan polosnya kita, seolah-olah tidak mengenal istilah “gagal” dalam kehidupan. Dengan polosnya kita, seolah-olah tidak mengenal istilah “pengorbanan” dalam kehidupan. Yang ada hanya keegoisan dan keapatisan terhadap keadaan. Terkadang di sana pun kita dengan tergesa-gesa mejustis keadaan tanpa pertimbangan yang matang. Sehingga yang ada dalam diri pun pada akhirnya hanya penyesalan dan keterpurukan yang setia menjadi kawan.
Diri pun seakan-akan dibuat bingung dan kewalahan tentang apa yang sedang menerpa diri. Diri pun seakan-akan dibuat bingung dan keteteran tatkala suatu rasa ingin (hasrat) mulai bermunculan. Dengan penuh kehati-hatian dan penuh pertimbangan, akan pikiran dan hati pun berusaha keras dipadukan untuk memahami apa yang sebenarnya ada dalam benak. Mencari suatu keputusan (kebaikan diri) dalam mengarungi relung kehidupan.
Adakala dengan penuh kesadaran kita pun harus mengerti dan memahami tentang pilihan mana yang harus kita turuti. Apakah hasil keputusan akal pikiran (yang bersifat logis) atau  menuruti bisikan halus sanubari/kata hati yang tersembunyi (menunggu datangnya intuisi). Namun adakalanya juga kita harus bersikukuh  untuk memadukan antara hasil pertimbangan dari keduanya, tanpa mereduksi essensi makna yang dihasilkannya.

Di saat yang demikian, diri pribadi pun seakan-akan membuka lebar pintu masuknya saran. Sehingga tidak menutup kemungkinan dan harapan akan peran penting hadirnya orang kedua (orang lain) pun menjadi sesuatu hal yang patut dipertimbangkan. Mungkin yang demikian pun dapat dimaklumi tatkala diri pribadi menyadari bahwa dirinya hanya makhluk Tuhan yang tidak pernah lepas dari kata khilaf dan dosa.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...