Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Refleksi Diri

Berguru Pada Pengalaman Hampir tiga tahun lebih saya tidak berjumpa dengan beliau. Namun malam kemarin adalah momentum yang tepat untuk dipertemukan kembali. Ya, saya rindu bersua ria pada jam perkuliahan dengan beliau. Salah seorang dosen tetap di kampus IAIN Tulungagung. Ibu Zulfa, sapaan akrab saya kepadanya. Memang, baru akhir tahun kemarin beliau rasa-rasanya telah kembali aktif di kampus tercinta, setelah lama menyempurnakan jenjang studinya di Australia untuk gelar doktornya. Tak disangka siasat keterlambatan saya datang ke acara kongkow bareng bersama Forum Perempuan Filsafat dan aktivis perempuan Tulungagung di Omah Asri Coffee (Omas Coffee, khalayak menyebutnya) berbuah manis. Saya dapat berjumpa dan menyapa langsung Ibu Zulfa tepat di parkiran cafĂ© itu. “Bu…”, tukas saya sembari menuang senyum merekah kepadanya. Masih saja terbayang betul bagaimana ekspresi beliau yang baru saja turun dari motor dan dengan segera menyambut sapaan saya. “Roni, kan?” respon cekatanny

Refleksi Diri

Catatanku di Bulan Maret Masih saja tersisa serpihan tugas di bulan Maret ini. Bahkan daku hampir dibuat kewalahan dengan beberapa tugas kecil yang belum terampungkan. Memang tugas itu tidak akan pernah nampak begitu berat, selama semuanya dikerjakan dengan penuh keriangan dan semangat yang terus menggebu-gebu. Namun justru sebaliknya, sikap meremehkan tersebut berujung pada penundaan. Bentuk halus dari sikap menyepelekan. Ya, sebab menyepelekan inilah akhirnya daku menjadi target bulan-bulanan malas senjata makantuan. Hingga sampai hati, mengandalkan pamungkas terakhir, the power of kepepet. The power of kepepet ini pula yang sering daku payahkan tatkala hasrat malas lebih senang merangkul jari-jemari pincang. Sementara segenap ide terus memberontak, memberi perlawanan sengit dalam bentuk pening yang dibumbui keringat dingin dan terus menguap. Perlahan tapi pasti, ide itu mulai menguap terbawa suhu tubuh yang kian meningkat. Hembusan nafas panas dan aroma kecut itulah yang menjad

Refleksi Atas Pembacaan Buku Isteriku Seribu

Memahami Kembali Poligami Memerlukan nafas panjang untuk menghatamkan satu sub judul yang disuguhkan. Hampir tidak ada celah untuk mengongak kanan-kiri, ataupun sekadar mengecam kopi hitam panas untuk menjernihkan alur berpikir. Tak ada waktu barang sedetik untuk menyumat rokok, meskipun rokok yang disumat itu milik tetangga. (Tahu sendiri, saya bukan perokok). Bahkan jikalau hujan turun, nampaknya tidak akan sempat terpedulikan. Apalagi menyempatkan diri memesan nasi bungkus di pak Iswan yang letaknya di pinggir jalan. Menawan mata, menjerat rahang untuk merekatkan antara dua sisi gigi atas dan bawah. Hampir, setiap paragraph demi paragraph terdapat durasi panjang yang kian mencekam. Begitu alot tatkala dikunyah dengan penuh keterpaksaan, terlebih-lebih untuk membenarkan bahwa pembaca sedang larut dalam penghayatan mendalam mengenai maksud yang hendak disampaikan. Seolah-olah dengan sengaja pembaca ditersesatkan dalam keterputusasaan akan makna sejati yang disuguhkan. Filosofis,

Puisiku

Teruntuk Keabadian Pukul 12.06 WIB, Kamis, 18 Januari 2019 Kepada patahan kata daku memohon Izinkanlah mengenalmu lebih mendalam Menjadi teman sejati dalam setiap pahat ratapan Tuk menyebrang cakrawala yang masih kelam Dan semoga Engkau ridhokan, dunia ide aku rindukan Tak ada teguk sumpah-serapah yang patut daku sombongkan Benderangnya pengetahuan Engaku tumpahkan Pemahaman tumpulku Engkau tajamkan Gelagat angkuhku Engkau patahkan Seiring sepi tangisku kian bersedu-sedan Menjadi anggukan bertopeng sesal tak karu-karuan Melumat habis banalitas penuh keapi-apian Yang tersisa hanyalah rupa identitas kebodohan Bersama syair-syair puisi beritme luput kepincangan, Hempaskanlah daku dengan terjerat kecanduan Berikanlah pengakhiran berbingkai keistiqomahan Mengisi kehampaan ruang penuh kebermakanaan Karena mendekap sunyi daku berlari penuh impian

Refleksi

Kesadaran Laki-Laki Versi Lagu Bojoku Galak Membaca tulisan yang berjudul “ Bojoku Galak ” dalam kacamata analisis feminis sekaligus peneliti muda membuat saya brigidig . Dibuat polos menganga dan menjadikan bulu roma saya hampir berdiri. Hampir mati kutu saya membacanya. Sang penulis mula-mula hendak menegaskan jeritan dan lolongan hati perempuan yang terepresentasikan dari sya’ir atau lirik lagu yang booming dicover oleh Via Vallen tersebut. Meskipun pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri pula, bahwa lagu “ Bojoku Galak ” memang kerap kali atau bahkan lebih sering didendangkan oleh banyak penyanyi perempuan. Penggalan lirik lagu “ Saben dino rasane ora karuan. Ngerasake bojoku sing ra tau perhatian. Nanging piye maneh atiku wes kadung tresno. Senajan batinku ngempet ono njero dodo ”, menjadi pijakan dasar analisis. Menurutnya, pembawaan lagu “ Bojoku Galak ” oleh mayoritas penyanyi perempuan bukanlah suatu kebetulan, melainkan merupakan rasa perih dari tuaian kekerasan dalam

Refleksi

Pengambinghitaman Perempuan Diliputi ironis dan penuh rasa kegetiran tatkala saya membaca tulisan yang berjudul   “Sarjana Kok Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga?”. Begitu kecut saya merasakan setiap patahan kata yang disuguhkan, terlebih-lebih setiap deret kata itu berujung pada simpulan kalimat yang sangat menohok. Dalam permulaan, seolah-olah penulis hendak memberikan pencitraan yang berimbang antara ruang gerak perempuan dan laki-laki tatkala berada di ruang publik. Namun ternyata hal itu hanyalah berakhir pada sudut ring penghakiman, “pengambinghitaman”. Menjadikan perempuan sebagai sasaran empuk marginalisasi dalam menghidupkan perwacanaan. Mengumbar opresi habis-habisan terhadap identitas perempuan dalam tradisi domestifikasi yang telah disematkan oleh laki-laki dan diamini perempuan. Hampir saya mengasumsikan bahwa tulisan tersebut lahir dari rahim laki-laki berparadigma penganut tradisi patriarki garis keras. Sebab, sampai hati menjadikan perempuan sebagai kambing hitam. Hemat

Puisiku

Parodi Kegilaan Oleh Dewar Alhafiz Merengkuh bahagia, Merangkul patahan gelak tawa Merajut genangan kusam akan harta Cukup melenggangkan glamour dalam jejak hidup penuh gaya Setiap waktu rasanya, Inginnya melumat habis segenap kenikmatan dunia Mengejar tumpukan hasrat terus menganga Tak kunjung puas penuh kebringasan tiada dua Mengumbar aura selangkangan nafsu tak ada habisnya Menunggang birahi tak terhingga Tak dinanya tanpa prasangka Sungguh, hanya jejalan topeng kegelisahan yang tersisa Nestapa penuh kepura-puraan telah menjangkitinya Meniadakan wujud asali kemanusiaannya Menjadi virus alot berbalut dahaga Berpaling sudah dalam dirinya   Nurani suci anugerah Tuhannya Bersorak ria akan kelam akal pikirannya Menjadi tumpul syukur atas nikmat-Nya Tulungagung, 04 Januari 2019

Refleksi

Karena Keluarga Saya Petani Membaca tulisannya mas Badawi yang berjudul “Nikmatnya Bertani” menimbulkan getaran di hati. Menggiring rasa simpati sekaligus merasa berdosa terhadap kedua orang tua saya selaku petani. Pertama , menggiring rasa simpati. Memang benar apa yang telah dijelaskan oleh mas Badawi, bahwa para petani dalam kontinuitas pekerjaannya telah membangun budaya interaksi sosial yang unik dengan segenap balutan kesederhanaannya. Melibatkan vokalisasi yang keras, mimik, gestur dan kode-kode tertentu yang merepresentasikan apa yang hendak diujarkannya. Sederhananya, berkomunikasi di area pertanian memiliki kekhasannya tersendiri. Menambah gaya interaksi sosial yang kemudian menjadi budaya dalam tradisi bertani.     Gaya interaksi sosial dalam tradisi bertani itu pula yang sering menjembatani tumbuhnya rasa simpati di antara para petani. Saling memahami apa yang menjadi kebutuhannya dalam akitivas bertani. Sehingga tidak segan-segan untuk saling berbagi wawasan, pengala