Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Candu Akan Nilai; Kekayaan Sejati Terletak dalam Benak Anda

Kurang lebih selang tiga bulan berlalu setelah saya mendapatkan buku gratisan dari mantan customer, sang mantan customer kemarin itu akhirnya kembali menawarkan buku gratisan kepada saya. "Mas ada buku lagi nih, minat enggak?, lek minat besok tak anterkan ke kosan Saman", pendek tukasnya dalam chat. "Wah, rezeki nomplok mubazir kalau ditolak. Iya, iya aku minat", sergah saya membalasnya dalam chat. Esok harinya, dua buah buku kembali ditentengnya menuju arah saya. Entah ada angin apa, dikala itu saya merasa beruntung sekali dapat mengenalnya sebagai teman akrab dadakan. Tetibanya ia dihadapan saya, "ini mas bukunya, yang satu bentuknya agak mirip majalah gitu, ada gambarnya lagi. Sementara yang satu ini sih bikin aku geli membacanya (ia menunjukan cover buku tipis itu sembari memajang ekspresi bergidik bukan main)".  "Awalnya aku penasaran apa isi buku itu, lah dalah pas aku baca, ternyata, hiiiihhh ngeri.  Tentang poligami", lanjutnya memberika

Mengeja Perempuan dalam Kata Ala Lily Yulianti Farid

Hampir mendekati genap setahun saya berhasil menunda kehendak untuk mereview hasil pembacaan atas sebuah buku. Tepat pada bulan Agustus dua ribu sembilan belas, saya telah khatam membaca buku tersebut. Berjudul, "Ayahmu Bulan, Engkau Matahari" Kumpulan Cerpen, adalah anak produktivitas kesekian Ibu Lily Yulianti Farid. Seorang jurnalis kawakan yang berpengalaman halang melintang di jagat peliputan dan penulisan. Beliau (red; Lily Yulianti Farid, penulis) sendiri merupakan pecinta dunia kata yang gemar menulis cerita sejak bersekolah di putih biru, SMP. Hobi yang kemudian menjadikannya sebagai jurnalis terkemuka di harian Kompas, spesialis program Indonesia untuk Radio Jepang NHK (Tokyo) dan di Radio Australia ABC (Melbourne). Sebuah hobi  yang mengantarkannya menjadi Alumnus penerima Australian Leadership Award pada program doktoral Universitas Melbourne di  bidang gender. Selain itu, beliau juga founding father Rumah Budaya Rumata merangkap sebagai Direktur Makassar Internas

Shalat Idul Fitri di Tengah Pandemi

Gema takbir terus terlantun, meluap di daun telinga hingga wujud hari kemenangan itu benar-benar tepat di depan mata. Meski demikian, gema takbir pun sempat mematung sejenak di waktu fajar, tepatnya dikala sang hamba menumpahkan kerinduannya di setiap sujud shalat subuh. Selebihnya takbiran itu kian melangit mengetuk-ngetuk pintu Rahmat dan Keridhaan Allah SWT., mulai dari terbitnya matahari sampai dengan waktu shalat Duha itu tiba. Waktu yang tepat di mana orang-orang diperbolehkan untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Sembari menunggu waktu duha itu tiba, khalayak orang akan dibuat sibuk dengan mempersiapkan sejubel perlengkapan shalat Idul Fitri, tak terkecuali keluarga kami. Tepat setelah menunaikan shalat subuh berjamaah, semua perlengkapan itu harus segera tersedia.  Akhirnya kami memutuskan, masing-masing anggota keluarga pun harus saling bekerjasama. Saling bekerjasama untuk menyempurnakan  persiapan yang harus tertata dan ada di hari raya. Ibu mulai sibuk mempersiapkan urusan da

Jas Hujan Sungguh Besar Jasamu

Gerimis di pagi ini mengingatkan saya kembali pada aktivitas kemarin sore. Mungkin benar, jika kita berasumsi bahwa hujan di pagi hari ini masih memiliki nasabiah yang sama dengan rintik hujan kemarin sore yang datangnya berkeroyokan.  Lebatnya bukan main, kedatangannya disertai intensitas angin kencang yang tak berpola malu-malu berhembus, hampir membuat saya mengurungkan niat untuk meneruskan perjalanan. Untungnya, jas hujan warna hijau yang berhias bulatan putih kecil unyu itu telah saya siapkan sedariawal pemberangkatan dari kos.  Ingatan saya masih waras betul, jas hujan itu saya lipat meskipun dalam kondisi basah. Maklum saja, kurang lebih pukul 15.20. Wib barang itu menjadi teman baik perjalanan pulang saya dari tempat kerja di daerah Pinka. Ada kemungkinan hujan itu menarik nafas sejenak (red; reda) kurang lebih 40-50 menit sesaat setelah saya sampai di TPQ an-Nur Loderesan Ringin Pitu. Waktu yang cukup singkat itu, selanjutnya berusaha saya maksimalkan untuk mengajari 11 orang

Memorial Ngaji

Membaca buah tangan Ibu Zulfa NH, "Pura-pura Bodoh (Tajahul): Mutiara Pagi dari Kelas Ngaji Kitab Adabul 'Alim wal Muta'alim (Etika Guru dan Murid)", yang diposting pada laman akun Facebook pribadi, nyatanya berhasil mengingatkan saya kembali pada memori rutinitas ngaji di kampung halaman nun jauh di sana. (Oh, iya sedikit memperkenalkan, beliau-Ibu Zulfa NH-, adalah salah seorang dosen di kampus IAIN Tulungagung yang kapabelitas dalam bidang hukum. Dulu, tatkala saya berada di semester empat starata satu, beliau pengampu matakuliah feminisme. Beliau seorang pribadi yang sangat disiplin, tegas dan bijaksana. Dan saya merasa beruntung sekali telah diajarkan tentang feminisme oleh beliau). Sore dan malam hari selalu menjadi waktu yang tepat untuk berlari menuju madrasah. Meskipun terkadang hujan deras lebih sering menjegal langkah dan mengurunkan niat saya. Dan akhirnya kealpaan pun tidak dapat disembunyikan dan terelakan. Walaupun sebenarnya, terkadang malu lebih lih

Semuanya Bermula dari 'Yang Satu'

Tulisan keren prof. Yusuf Daud selalu menginspirasi saya untuk berusaha mengikuti jejak beliau. Berwawasan luas dan bersahaja. Tak terkecuali dengan postingan beliau kali ini di aku Facebook yang berjudul, "Science is Religion and Religion ia Science". Saya setuju dengan penjelasan panjenengan tentang semua upaya manusia yang tak pernah mampu dipisahkan dari Yang Ahad (Tuhan, 'Alim). Termasuk pula di dalamnya mengenai perjalanan panjang upaya manusia memfurifikasi ilmu dari agama. Dalam konteks dunia kefilsafatan misalnya, upaya pemisahan itu, justru hanya menunjukkan proses panjang dari keterbatasan manusia. Pendekatan epistema yang bermuara pada penggunaan rasio dan empiris ataupun wujud sintesis dari keduanya sekalipun, hanya berpijak pada sudut pandang yang fleksibelitas. Toh, selalu ada deretan panjang hipotesis, tesis-anti tesis, yang justru menampakan falsibilitas dalam cara pandang manusia yang sempit terhadap 'perkembangan ilmu'. Alih-alih manusia he

Secarik cerita kehidupan

Dalam hidup di dunia selalu ada rencana yang terus-menerus berusaha digugurkan. Tergugurkan satu, namun tak mengurangi populasi rencana yang terus-menerus dicanangkan dalam angan. Pun atau sekalipun terabadikan dalam lembar catatan. Satu-persatu harapan-harapan itu mulai bermunculan, seiring tergugurkannya rencana yang telah tertunaikan. Hingga akhirnya tidak terasa, entah sudah seberapa panjang catatan harapan itu terukir dalam klise kehidupan. Satu-persatu harapan yang awalnya tidak mungkin itu menjadi tumpukkan memori kenangan.  Bahkan, harapan yang awalnya belum terpikirkan sama sekalipun telah terlampau jauh terlupakan. Deretan; harapan, rencana, angan-angan dan fase keberhasilan pun atau kegagalan pada akhirnya hanya menjadikan manusia semakin jauh dari kesadaran. Semakin kalap akan kenikmatan dunia yang menjadi candu, yang kian mengurunkan keengganan untuk kembali pulang. Sementara pulang adalah ladang pelampiasan atas luapan rindu yang tak tertahan. Karena tak tertahan itu

Ibrahim Ibn Adham

Tulisan renyah Muh Saharuddin Mangngasa yang berjudul "Menjadi Luar Biasa dengan Jalan yang Tak Biasa" sebagai ringkasan hasil mengaji kitab Al-Munqizd min al-Dalal bersama Gus Ulil Abshar Abdalla menyentil nama Ibrahim Ibn Adham. Nama salah seorang sufi yang rasa-rasanya tidak asing lagi terngiang di telinga.  Alhasil, tulisan itu benar-benar telah berhasil memungut ingatan saya kembali pada petualangan spiritual (uzlah) beliau-Ibn Adham-yang menyadari kesejatian hidup adalah fakir. Kebebasan diri dari ketergantungan dunia yang melenakan. Gelimang harta, jabatan dan popularitas hanya menjadikan beliau pada titik kehampaan hati, ketandusan jiwa akan makna hidupnya. Sementara akalnya dan akal khalayak orang yang menilainya, hanya lambaran yang akan menjadi persoalan yang berkelanjutan. Persoalan selanjutnya yang akan banyak menyutat pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Bahkan, hal itu hanya akan menjadi dinding yang terus-terusan menebal dan kokoh menghalanginya mendekatka

Semuanya Karena Limpah Cinta-kasih-Nya

Kehidupan selalu menyodorkan hal baru yang bahkan tak pernah diketahui, tanpa dikehendaki dan luput dari jamah perencanaan sebelumnya. Semua yang menghampiri dalam hidupmu itu tak usah melulu dipandang dengan penuh ketegangan dan penuh kecurigaan. Jalani saja semuanya tanpa harus membiarkan diri diliput keluh-kesah yang kian menggunung.  Singsingkan semua rintangan dan tipu daya yang membuat dirimu mengumbar prasangka yang keterlaluan.  Jangan tergesa-gesa dalam mengambil peran. Bersikaplah dewasa dalam memahami makna dari hadirnya bejibun persoalan. Cukup nikmati saja prosesnya, seduh hikmah-pembelajarannya dan berikan senyum terbaikmu untuk setiap penggal kisahnya.  Tunjukkan, tunjukkanlah kalau kita memang berikhlas hati menjalani kehidupan yang telah dianugerahi ini dengan penuh cinta-kasih. Yakinlah, semua tempaan dalam alur kehidupanmu itu kelak akan menjadikan dirimu di masa depan, sebagai pribadi yang terbedakan.  Tulungagung, 06 Maret 2020 Tertanda tukang ngopi, -Dewar Alhafiz

Nyantri di Medsos

Merebaknya pandemi Covid-19, menjadikan khalayak penghuni lembaga pendidikan dengan terpaksa harus dirumahkan. Tidak terkecuali dengan nasib beberapa pondok pesantren yang berada di zona merah. Secara terpaksa harus mengutamakan keselamatan bersaman. Alhasil, dewan asatid lebih memilih para untuk memulangkan parapsantri kepelukan keluarganya di rumah daripada harus menanggung berat akibat fatalnya. Sebagai dampak nyatanya, upaya tersebut pun berhasil menggoyahkan tradisi-tradisi ngaji yang berlaku di pondok pesantren, tak terkecuali ngaji pasanan di bulan suci Ramadan. Ngaji pasanan (pasaran) di pondok setiap bulan Ramadan yang biasa dijejali bejibun santri, kini pun menjadi sepi. Asrama-asrama yang mulanya setiap malam dipenuhi canda-tawa pun menjadi tak berpenghuni. Dalam keheningan, sang dingin pun seakan-akan berseloroh sembari mengais-ngais serpih pertanyaan yang terbenam dalam diri, "Akan sampai kapankah pandemi ini terus mengebiri ruang-ruang belajar kami?". Sampaikan

Takbiran

Tepat di penghujung Ramadan engkau tenggak air suci zam-zam Entah dengan alibi apa semuanya terkuras habis dalam suram Berterus-terang di muka tanpa peduli dengan  semrawut diam Barang setetes pun tak bersisakan melekat di geraham Dahaga sebulan telah sempurna engkau lumpuhkan Kawanan sebangsa nafsu berhasil sudah terjinakan Luapan malas tunduk ditekan Mata rantai amalan ibadah melonjak terdisiplinkan Semuanya tertunai di atas kewarasan Tegak berpijak pada lambar kesadaran Apa-apa jelmaan ketergantungan terlucuti secara perlahan Sementara segelintir insan dibuat kepayang dalam penghambaan Terikat dalam candu mahabah yang memabukkan Alhasil, didapatinya sebongkah awak dalam perundungan Mereka terkurung takut akan perpisahan Dalam benaknya meluap-luap penuh cipta kegetiran Di wajahnya terlukis jelas kesatruan Antara dua kutub yang saling berkelindanan Mengibar bendera sukacita pun atau memikul-mikul tenda perkabungan Kecamuk rasa lantas menuntunnya pada tempat-tempat sakral pengaduan Dim

Edisi Kondangan; Antara Eventful Man dan Event-making Man

Pasca kelulusan kuliah ada banyak teman saya yang memutuskan untuk menempuh hidup dengan berkeluarga. Satu-persatu di antara mereka, ternyata diam-diam telah merencanakan cita-cita kehidupan versi dirinya yang disebut dengan "kebahagiaan", dan semua itu bermula dari menjalin suatu hubungan, sebutkan saja hal itu dengan pacaran. Pacaran yang kemudian melenggang ke arah hubungan yang lebih serius dan intim. (Loh apa itu pacaran? Sejenis makanan yang enak buat camilan ya?. Atau sejenis permainan yang bisa membuat kita bahagia terus-menerus ya?. Mau dong kalau begitu. Si aku yang sedang pura-pura lupa, persis seperti lagunya Mahen). Oiii, kalau demikian, jadi selama ini mereka (red; yang berpacaran) menapaki hingar-bingar kehidupan dengan bergandengan tangan??? Hemmm.. bisa jadi. May be yes, may be no. Termasuk di dalamnya menumpahkan keluh-kesahnya, gejolak nafsu di dada dan ekspresi kehidupannya sama si do'i yang disanjung. (Kok malah ingat bagaimana realita kehidupan k

Maleman

Menjemput teka-teki berkah malam seribu bulan Di sepertiga bulan suci Ramadan Tanggal ganjil pun menjadi target bidikan Mesjid-mesjid mewujud ruang bertanahuts para tamu Tuhan Al-Qadr, firman Tuhan sebagai pedoman Sementara petuah-petuah kedamaian hadits itu mensyarahkan Beriring malaikat pun Jibril mengampu izin mengatur muara urusan Tersebutkanlah malam menuju selangkang fajar itu penuh kesejahteraan Orang-orang hampir dibuat sibuk memperdebatkan Kepayang mencari satu kebenaran Berganti dalil teruntuk saling menegaskan Pandai dalam kebingungan membuatnya acapkali celingukan Namun perselisihan dengan segera harus disingsingkan Perbedaan itu biarlah tumbuh dalam ketidakpastian Menyimpul erat sakralitas kerahasiaan Menyelinap di antara persinggahan gelap yang terus disemogakan Jamaah kini saling berduyun-duyun menenteng harapan Menjejak kaki menelusuri relung-relung jalan menuju tempat persujudan Mereka saling berlomba memburu posisi terdepan Rela berjejal, tanpa

Lebaran

Dapur-dapur mengepul deras tanpa batas Orang-orang berjimbaku mengolah bahan di teras Meracik jamuan cita rasa yang bermula  gilingan beras Toples-toples merengkuh hasil sesuka hati dalam dahaga lepas Satu-persatu sudut ruang kediaman kusam,  sempurna terhias Sementara anjungan tunai mandiri melulu menjadi andalan utama dikuras Dimana-mana, seakan-akan khalayak lebih senang berhilir-mudik meretas Memantas, tak getir jika harus berkali-kali dilabeli pemoles alas Toh di mata awam semua mutu dalam sampiran nilai-nilai banalitas Tak apa berkorban waktu, menerjang hujan-mengurai panas Tak menjadi soal jika sampai berjejal di tempat-tempat pemanja mata nan luas Terpenting, semua tuntutan celoteh orang terlibas tuntas Sungguh, puncak kemenangan ini bukan menyoal banyak terbungkamnya gengsi dan puas Pula bukan ajang saling menguji taring agresivitas Berpamer tahta, derajat pun atau jari-jemari  kerlip alamas Ah, sudahlah jangan terlalu sibuk menumpuk ampas Membobol benteng-b

Fenomena Work From Home (WFH): Bekerja dan Membangun Behavior Baru di Tengah Maraknya Pandemi Corona

Salah satu akibat yang dipandang sangat berpengaruh dari merebaknya pandemi corona virus disease (covid-19) ialah beralihnya pelbagai aktivitas dan ruang kerja. Beralihnya pelbagai aktivitas yang dikerjakan di ruang kerja tertentu menjadi terkondisikan secara pasif di rumah pribadi masing-masing. Masing-masing pribadi yang mulanya secara simultan setiap waktu bebas melalang buana di ruang publik dengan serentak harus dijerat estafet kebijakan.  Kebijakan struktural yang sengaja diedarkan guna mencekal kekhawatiran yang terus-menerus membuncah memberhangus tipu daya seribu alasan. Hampir, sempurna sudah semuanya bersemayam dalam bayangan malaikat izro’il yang bergentayangan. Ya, bagaimana tidak, covid-19 yang digadang-gadang belum ada penawarnya sedang gencar menanam benih di mana-mana, dengan sangat singkat dapat menular tanpa pandang bulu, bahkan dapat merenggut nyawa. Pelbagai kalangan usia menjadi sasaran empuk, namun mereka yang berusia lanjut dan memiliki riwayat sakit kronis