Langsung ke konten utama

Dinner Bersama Menikmati Olahan Jatah Daging Qurban

Tatkala waktu qurban sedang hangat-hangatnya membumi, setiap insan pun dengan sigap, siap menanti jatah daging yang akan menghampiri diri. Kuantitas dan kualitas daging yang diberikan (diterima), tidak menjadi problem serius yang perlu digeluti dan ditekuni. Karena mereka para musytahiq (yang menerima jatah) telah positif thinking dengan keputusan yang telah dikehendaki oleh mereka yang mengurusi.
Keabstraksian dalam kuantitas pembagian pun tidaklah menjadi beban yang fokus disiasati. Karena secara sederhananya besar-kecil, banyak-sedikit jatah daging qurban yang akan diberi, haruslah disukuri dan dinikmati. Bukan malah dijadikan sarana untuk dicaci, digunjing dan tajasussi.
Begitu pun dengan jenis daging hewan yang tidak perlu dipermasalahi. Entah itu daging kambing, kerbau atau pun sapi. Yang pasti jenis hewan yang dijadikan qurban adalah hewan yang halal, yang dianjurkan oleh Syar’i. Dan telah memenuhi klasifikasi syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Kemudian pembicaraan pun akan teralihkan menuju proses yang bersifat privasi, karena tatkala setiap insan telah mendapati proporsi daging secara pribadi, maka di sanalah free act sesuai selera sendiri. Mengandalkan kepiawaian koki yang mengurusi. Entah itu dibuat gulai, rendang, sate dan aneka olahan daging lain sebagainya. Mengikuti irama resep bisikan hati yang disukai.   
Hal yang demikian pun menjadi bagian cerita dalam pengalaman hidup yang telah saya jalani. Suatu hal yang tidak terduga dan terbayangkan pun tatkala itu datang silih berganti mengisi perabotan masak yang telah tersusun rapi. Mulai dari wajan, panci, codet, cowet, ulekan dan lain sebagainya bekerjasama untuk menuntaskan suatu aksi. Aksi yang dimaksud pun berujung pada kepuasan hasrat badani yang menunjang pada pelaksanaan urusan rohani.
Daging yang menjadi bahan dasar olahan pun terdiri dari dua macam, yakni daging kambing dan sapi. Berfundamen pada hal yang demikian, kami (saya dan sahabat saya) pun bersepakat, memutuskan untuk mengolahnya menjadi dua jenis masakan, yakni gulai dan sate. Singkat cerita masakan gulai pun telah matang dan siap dinikmati. Sehingga satu persatu diantara kami pun saling berbagi untuk mencicipi masakan sendiri, (meskipun pada realitanya Chef Husin lah yang menjadi master koki kami).
Tidak lama kemudian, menu yang kedua, yakni sate pun siap menyusul untuk dipanggang. Semua peralatan pun mulai disusun dan dipersiapkan. Singkat cerita setelah beberapa jam, akhirnya menu sate pun telah siap untuk dinikmati. Namun menu yang kedua ini tidak langsung disikat habis, melainkan dikhususkan untuk acara kumpul bareng dengan teman-teman MABA (Mahasiswa Baru) yang berasal dari Probolinggo dan Indramayu.
Singkat cerita waktu pun dengan cepat berputar, mengganti suasana terang benderang menjadi malam yang gelap gulita. Akhirnya acara yang telah ditentukan pun akan segera terlaksanakan, sesuai dengan datangnya mereka yang menjadi tamu undangan. Cie... yang jadi tamu undangan, hehe.
Beberapa menit kemudian, akhirnya acara pun dibuka dengan beberapa sambutan dan do’a sebagai pembuka untuk menyantap makanan. Satu-persatu diantara kami pun mulai mengambil piring dan mengisinya dengan hidangan yang telah disiapkan. Tanpa rasa canggung dan isin kami pun acuh dengan pembauran. Yang pasti kami sadar betul dan fokus dengan apa yang sedang kami lakukan, ‘dinner malam’. Kami pun sangat menikmati keadaan yang demikian. Seakan-akan kami adalah keluarga baru dalam pengembaraan, (bisik sanubari penulis).
Seusai makan, kami pun melanjutkannya dengan perbincangan. Entah itu sekadar perbincangan dialog interaktif, guyon yang menghiasi keadaan atau pun perbincangan antara lensa dengan fokus objek pemotretan, (sesi foto-foto dokumentasi). Yang pasti kami senang, enjoy memanfaatkan keadaan kebersamaan. Tapi sayang waktu berpihak sebelah tangan, sehingga mengurunkan niat kami untuk berlama-lama dalam nuansa kebersamaan. Sehingga secara sadar sesepuh diantara kami pun mengakhiri kebersamaan dengan sambutan penutupan.
 Alur cerita ini hanya cuplikan kecil dari realita histori yang terjadi. Sehingga mohon dimaklumi bila ada kekeliruan dan kecacatan. Tapi meskipun demikian, cerita ini memang benar-benar terjadi pada malam jum’at setelah perayaan shalat Ied al-Adha kemarin atau yang lebih tepatnya pada hari kamis, (24/09).

       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal