Seiring dengan pekembangan ilmu
pengetahuan terutama dibidang sains, seolah–olah menjadikan semua yang awalnya
diyakini kebenarannya oleh banyak orang kini berbalik arah menjadi suatu
persoalan yang mulai diragukan dan disangsikan kembali atas kebenarannya. Hal
ini bisa jadi dikarenakan dalam sesuatu yang dianggap benar tersebut belum ada
dan terpenuhinya tahapan-tahapan tertentu yang menjadi syarat dalam pembuktian
ilmiah atas kebenarannya. Sehingga menurut mereka para ahli (saintis), semua
hal yang diyakini kebenarannya haruslah mampu dibuktikan melalui eksperimen dan
observasi secara empiris.
Begitu pula dengan para filosof yang
senantiasa berpikir dan merenungi atas semua yang hal yang sekira patut dan mesti
dipecahkan atas keraguan dan kesangsian yang ada dalam realita kehidupan, baik
itu sesuatu hal yang sifatnya materi ataupun immateri, (yang nampak ataupun
yang tidak nampak) yang mampu dibuktikan baik itu secara rasional maupun secara
empiris.
Karena banyak dan beragamnya
interpretasi yang dilontarkan atau dikemukakan oleh para filosof tersebut, maka
mengakibatkan suatu hak kebebasan (free will and free act)
yang menuntut setiap orang yang berpikir untuk mampu mengklasifikasikan,
mendiskursuskan, dan memilah-milah antara mana suatu presfektif yang berasal
dari produk pemikiran satu tokoh, dan mana suatu presfektif yang merupakan
produk yang berasal dari tokoh yang lain. Sehingga ketika seseorang telah mampu
memahami, mengerti dan hafal dengan peta konsep pemikirannya suatu tokoh. Maka yang
ada ialah tidak akan ditemukannya term salah, keliru dan bercampur aduk ketika
dihadapkan dengan pemikiran tokoh yang lain. Mungkin yang lebih tepatnya lagi
benar dalam memahami dan menempatkan suatu arus pemikiran yang dimaksudkan oleh
salah seorang tokoh. Sehingga kemungkinan besar yang ada hanyalah komparasi
produk pemikiran para tokoh.
Kemudian bila berlandaskan pada hal
yang demikian, bagaiman apa bila dalam suatu persoalan ternyata memunculkan dua
argumen yang saling bertolak belakang? Apakah kita memang harus selalu
mengambil suatu argumen yang benar? Tanpa mempedulikan argumen yang dianggap
salah dalam perspektif kita? Ataukah kita selayaknya juga memperhatikan atau
lebih berpegang pada suatu argumen yang dalam perspektif kita salah? maka yang
demikian memang akan menimbulkan persoalan baru yang mesti dipecahkan.
Hemmm, berkaitan dengan hal yang demikian
akal pikiran saya dengan serentak berusaha untuk merepresentasikan suatu
argumen yang memang memiliki dua sisi yang bertolak belakang demikian. Di mana
yang dimaksudkan ialah mengenai suatu argumentasi tentang penentangan Tuhan
yang berasal dari sudut Eksistensialisme. Untuk lebih jelasnya mari kita pahami
dan hayati penjelasan yang akan dipaparkan sebagai berikut.
Pertama, kita harus mengerti dan
memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan eksistensialisme. Eksistensialisme secara etimologi berasal dari kata eks yang berarti
keluar, dan sistensi atau sisto yang berarti, menempatkan.
Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada
dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh dirinya. Sedangkan dalam
perspektif lain, menyatakan bahwa “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam
ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar.
Kedua, kita harus memahami dan mengerti apa saja yang menjadi ciri
dari aliran Eksistesialisme. Yang menjadi ciri dari
aliran eksistensialisme ialah terdiri dari empat faktor (aspek), yakni; satu, motif
utamanya adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Dua, bereksistensi harus diartikan secara
dinamis. Tiga, dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang
sebagai terbuka. Dan yang terakhir, filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada
pengalaman yang kongkrit, pengalaman eksistensialis. Yang mana empat faktor
tadi diambil dari inti pemikiran para tokoh,
yaitu Martin Hedegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.
Ketiga, kita harus memahami dan mengerti bagaimana pemikiran Eksistensialisme
Tentang Tuhan. Mengenai pemikiran aliran eksistensialisme tentang Tuhan ini,
pembahasannya hanya difokuskan dan diarahkan pada spekulasi yang berasal dari satu
tokoh saja yakni Jean Paul Sartre (yang
selanjutnya disebut Sartre). Sartre menyatakan bahwa konsepsinya tentang
eksistensialisme sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyerang agama
(mengingkari keberadaan Tuhan). Namun perlu diketahui bahwa Sartre demi membela
makna kebebasan mutlak manusia, ia lebih cenderung mejustifikasi bahwa
kepercayaan akan adanya Tuhan telah menjadi penghalang bagi kebebasan manusia
dan sekaligus memusnahkan eksistensi otentik manusia.
Meskipun demikian, di sisi yang lain ternyata apa yang telah
digagas atau dikemukakan oleh Sartre ini sangatlah membahayakan bagi
orang-orang yang beragama (dalam artian sekaligus menjadi lawan bagi agamawan).
Selain itu teori yang telah digagas oleh sartre itu ditolak mentah-mentah oleh
mayoritas orang yang lebih memihak kepada suatu keyakinan dogma, yang
menyatakan bahwa karena adanya hukum kausalitaslah maka telah merepresentasikan
keberadaan Tuhan (bersifat teleologis). Hal ini disebabkan karena dalam
argumentasi-argumentasi sebelumnya, yang mempersoalkan tentang keberadaan Tuhan
sudah sangatlah relevan dan dapat diterima oleh akal pikiran (rasional)
terhadap keabsahannya. Diantara argumentasi tentang keberadaan Tuhan tesebut
ialah argumentasi ontologi, kosmos, teleologi dan moral. Yang mana dari keempat
argumentasi tentang keberadaan Tuhan tersebut selalu berkoneksi dengan teori
kausalitas yang menunjukkan bahwa dibalik adanya segala sesuatu dimuka bumi ini
pasti tidak lepas dari adanya sosok yang ideal, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa.
Komentar
Posting Komentar