Langsung ke konten utama

Menyadari Realita Perkuliahan

Tidak terasa waktu berputar dengan cepat, sampai-sampai waktu ujian akhir semester (selanjutnya disebut UAS) genap pun telah tiba di depan mata. Ya..., lebih tepatnya pada hari senin besok tanggal 08 Juni 2015 UAS akan mulai dilaksanakan. Ya... memang betul, secara resmi kampus telah menjadwalkan demikian. Tapi pada realitanya ternyata UAS genap ini tidaklah terlaksana demikian. Pasalnya sudah ada beberapa dosen yang memang sudah melaksanakan UAS genap ini pada minggu-minggu sebelumnya. Mungkin hal ini disebabkan karena telah ditetapkannya sistem UAS genap sekarang yang memang tidak seperti sistem UAS pada semester-semester sebelumnya. Yang mana sistem UAS genap sekarang ini ialah bersifat mandiri (dalam artian kewenangan UAS diserahkan kepada masing-masing dosen yang mengampu mata kuliah tersebut ).
Mungkin  sistem UAS mandiri ini juga merupakan suatu solusi yang memang benar-benar efesien dan efektif dalam urusan waktu, sehingga kesannya tidak membuang waktu yang terlalu lama.  Ya, ya, ya, mungkin benar demikian (husnudzon saya ketika menyadari hal yang demikian).
Sebenarnya bukanlah persoalan UAS yang hendak menjadi fokus pembicaraan, melainkan hal yang ada dibalik UAS tersebut yang hendak saya persoalkan.
Dengan dilaksanakannya UAS genap ini secara eksplisit dan otomatis berarti telah memberhentikan atau mengakhiri aktivitas perkuliahan semua mata kuliah. Tapi sayang ternyata pada realitanya masih saja ada mata kuliah yang memang masih belum terselesaikan dan sesuai dengan standar pertemuan perkuliahan sebagaiman mestinya. Bahkan masih saja ada mata kuliah yang memang benar-benar memerlukan waktu ekstra untuk menyelesaikan aktivitas pertemuan perkuliahannya, (dalam artian baru masuk dua, tiga, empat atau pun kurang dari sepuluh pertemuan perkuliahan).
Menyadari dan memahami hal yang demikian, entah siapa yang harus memikul konsekuensi dari suatu kewajiban yang mesti dipertanggungjawabkan tersebut. Apakah hal ini disebabkan karena kesibukan dan padatnya aktivitas dosen yang mengampu mata kuliah tersebut? Ataukah hal ini disebabkan karena sikap ketidak disiplinan mahasiswa yang telah terbiasa? Entahlah siapa yang mesti dituduh sebagai sumber biangkerok dari molornya aktivitas perkuliahan tersebut. Sebab di antara keduanya memiliki potensi kecenderungan negatif yang sama. Suatu potensi kecenderungan negatif yang memang tidak memandang jabatan, umur, dan kompromi dalam persoalan dimensi ruang dan waktu. Yang pasti tersangkanya bukanlah ruang dan waktu yang terus berputar silih bergantian.
Sebenarnya saya juga bingung dengan apa yang telah terpaparkan dalam tulisan yang tidak sempurna ini. Apakah ini hanya sebuah refleksi ide dari pengalaman pribadi tentang rutinitas perkuliahan yang menguap dalam hati dan pikiran, sehingga mendorong kedua tangan ini untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan ataukah ini hanya suatu apologi ironis pribadi dari realita yang nampak dalam rutinitas perkuliahan.     

        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal