Langsung ke konten utama

Persepsi Tentang Kebiasaan

Lagi-lagi akal pikiran ini mulai kebingungan dalam menentukan suatu tema apa yang memang hendak benar-benar difokuskan, menarik dan sedap untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Kebingungan yang dalam artian bukannya tidak ada ide atau inspirasi yang sempat melintas dan terdeskripsikan dalam akal pikiran, melainkan karena terlalu banyak ide yang menginspirasi dunia akal pikiran. Sehingga  yang demikian mendorong diri saya untuk berusaha mengkategorikan dan memilah-milah diantara ide dan inspirasi tersebut yang memang benar-benar dapat difokuskan pembahasannya.   
Yah.. mungkin demikian sedikit pendeskripsian akal pikiran saya sebelum menuangkan ide atau pun inspirasi ke dalam suatu bentuk tulisan. 
Suasana UAS yang khas dan masih hangat menyelimuti diri, ternyata lagi-lagi memberi sandaran inspirasi pada diri saya pribadi. Entah kenapa, rasa-rasanya setiap rutinitas hari di minggu ini membuat diri saya pribadi sedikit khawatir dan deg-degan dengan apa  yang telah saya coretkan dalam lembar jawaban yang menjadi kewajiban setiap person ketika menerima suatu lembar Question. Mungkinkah hal yang sama demikian juga dirasakan oleh teman-teman sekalian? (gumam saya dalam hati).
Entahlah may be yes, may be no. Yang pasti saya telah berusaha mencurahkan semua kemampuan memori tentang materi perkuliahan dalam betuk tulisan yang telah saya tuangkan dalam lembar jawaban yang telah terkumpulkan. Pesoalan benar atau salah itu urusan nanti, yang penting  sudah ada usaha (ikhtiar). Karena dalam perspektif saya yang demikian merupakan sesuatu hal yang wajar terjadi (persepsi subjektif). Hehehe
Selama empat hari UAS berlangsung saya berusaha untuk memaksimalkannya (tidak menyia-nyiakannya), sampai-sampai saya hampir selalu menjadi yang terakhir dalam mengumpulkan lembar kertas jawaban. Ups... ketahuan deh kalo saya lelet dalam dalam urusan tanyajawab. Hehehe
Melihat realita hal yang demikian, ternyata menimbulkan suatu persepsi yang datang dari salah seorang teman saya, sehingga ia pun mengatakan bahwa saya selalu ingin tampil sempurna. Hemmm.. terserahlah apa yang ingin orang lain katakan, toh orang lain mempunyai kebebasan dalam menilai seseorang dan mengemukakan argumennya. Yang penting tindakan yang demikian dikemukakan tepat dihadapan orang yang bersangkutan. Betul tidak?
Saya pun menyadari bahwa saya harus berani membuka diri (menerima pesan, nasihat, saran dan opini) dalam membentuk transparansi demi kebaikan diri pribadi di masa mendatang. Tapi meskipun demikian saya berusaha memberikan alasan untuk menanggapi persepsi yang telah teman saya kemukakan tersebut.
Dalam perspektif saya hal yang demikian bukanlah suatu persoalan yang memang berusaha untuk selalu ingin tampil sempurna atau tidak, melainkan hal yang demikian memang telah menjadi kebiasaan saya semenjak SLTP hingga sekarang ketika menghadapi suatu ujian. Pasalnya saya hanya berusaha untuk memaksimalkan waktu dan menjawab soal yang disuguhkan dengan memori akal pikiran bukan dengan contekan. Belum lagi ditambah dengan gerakan menulis saya yang memang tidak dapat secara gesit bergerak cepat.
Jadi secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa kebiasaan saya dalam mengumpulkan lembar kertas jawaban yang hampir selalu terakhir, bukanlah persoalan saya selalu ingin tampil sempurna. Melainkan suatu kebiasaan yang telah terbentuk dalam diri pribadi saya. Selain itu ketika kita mempersoalkan tentang ingin tampil sempurna atau tidak, saya pikir hampir setiap orang juga selalu memiliki keinginan yang sama untuk tampil sempurna, apalagi ketika mengerjakan sesuatu yang memang benar-benar mampu mengukur potensi yang ada di dalam dirinya.               







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal