Langsung ke konten utama

Menyadari Egoisme Privasi dan Kebersamaan

Disaat manusia merasa bahwa dirinya tidak mampu hidup tanpa adanya teman dalam hidupnya, tidak ada teman untuk berbagi, tidak ada teman untuk saling melengkapi dalam urusan kebutuhannya. Entah itu kebutuhan hidup yang sifatnya psikis ataupun materi. Maka akan timbullah pengetahuan dan kesadaran yang nyata mengenai makna dan arti kehidupan yang harus dipahami, dijalani dan diterimanya dengan sepenuh hati. Meskipun di satu sisi yang lain hal itu terkadang tidak sesuai dengan keinginan, harapan dan perencanaan yang telah disusun serta diperkirakan sebelumnya.
Akan tetapi dengan mata dan hati yang terbuka haruslah dimengerti bahwa yang demikian itu adalah suatu realitas hidup. Sehingga terkadang manusia memang harus menurunkan ego dan hasratnya yang bersifat privasi, demi kesejahtraan dan kedamaian yang bersifat umati (sosial). 
Ya... rasa-rasanya memang benar demikian. Pasalnya, entah apa yang akan terjadi bila ego dan hasrat privasi manuisa yang sifatnya barbarian tidak terkontrol dan terkendalikan. Mungkin dunia yang sudah warna-warni ini akan lebih kacau dengan keabstrakannya.
Hemmm... bila mempersoalkan hal yang demikian, secara spontan akal pikiran saya berusaha mendeskripsikan dan merepresentasikan suatu teori yang telah terkonsep dalam pemikiran beberapa orang filosof. Ya... betul beberapa orang filosof. Para filosof yang hidup kurang lebih pada adab ke-16-18. Yang lebih tepatnya para filosof madzhab empiris yang hidup pada zaman modern. Untuk lebih jelasnya mari kita cermati dan hayati beberapa spekulasi yang telah dikemukakan tersebut.
Spekulasi pertama ialah berasal dari Francis Bacon (yang selanjutnya disebut Bacon), (1561-1626). Dalam pemikirannya Bacon tentang politik dan etika, dikemukakan bahwa sesungguhnya manusia digerakan, dikontrol dan dikendalikan oleh hasrat yang ada di dalam dirinya untuk senantiasa meraih kekuasaan yang sampai pada kultuminasi, yakni kekuasaan yang tidak terbatas. Sehingga secara eksplisit manusia tidak mempunyai kehendak bebas dalam bertindak, dikarenakan manusia tersebut selalu dikuasai oleh kepentingan-kepentingan diri pribadinya.
Spekulasi kedua ialah berasal dari Thomas Hobbes (yang selanjutnya disebut Hobbes) (1588-1679). Dalam pemikirannya Hobbes tentang konsep manusia sebagai mesin antisosial, dikemukakan bahwa manusia terdiri dari dua reaksi. Dua reaksi tersebut yakni: kesatu reaksi mendekati yang di sebut ‘nafsu’. Bentuk dari nafsu ini misalnya rasa nikmat, gembira, cinta dan lain sebagainya. Dan yang kedua reaksi menjauhi yang di sebut ‘pengelakan’. Bentuk dari pengelakan ini misalnya rasa benci, rasa takut, kesedihan dan lain sebagainya. Kemudian Hobbes memberikan konsep baik pada nafsu dan memberikan konsep buruk pada pengelakan. Sehingga berlandaskan pada hal yang demikian Hobbes mengemukakan bahwa manusia merupakan mahkluk yang pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelak (menjauhi) dari ketidak nikmatan (segala seuatu yang dapat merugikan manusia). Sehingga dalam perspektif Hobbes manusia yang bijaksana adalah manusia yang mampu memaksimalisasikan terhadap semua pemenuhan keinginannya untuk meraih kesejahteraan individualnya (yang diesbut egoisme).
Secara eksplisitnya Hobbes menganalogikan manusia sebagai mahkluk antisosial karena pemeliharaan diri itu pada gilirannya akan bertabrakan (tumpang tindih) dengan hasrat pemeliharaan diri yang dimiliki oelh orang lain. Sehingga menyebabkan manusia harus saling bersaing dalam memperebutkan sumber-sumber yang sudah langka, mempertahankan yang sudah dikuasainya dan bahkan harus menundukan orang lain. Dan disebutlah manusia sebagai homo homini lupus (serigala bagi sesamanya).
Tapi pemikiran Hobbes tidak berhenti sampai di sana. Ternyata Hobbes juga membayakan suatu konsep master plan untuk menjadikan manusia sebagai mahkluk sosial yang hidup bersama secara sejahtera dan damai. Hal tersebut  terdeskripsikan dalam pemikirannya tentang negara sebagai Leviathan. Yang mana inti dari konsep negara sebagai Leviathan tersebut ialah bahwa manusia mampu hidup bersama dengan jalan haruslah membuat kontrak sosial, perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial (dalam artian setiap individual menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodratinya kepada suatu lembaga yang disebut negara).            
Allright, mungkin dari pemaparan di atas tadi sudah sangat jelas sekali bahwa di dalam diri setiap manusia pasti selalu tertanam dan memiliki suatu hasrat dan ego tertentu untuk meraih sesuatu. Entah itu sesuatu yang sifatnya jasmani atau pun rohani, materi atau non materi.
Tapi meskipun demikian manusia tetap saja tidak akan pernah bisa hidup dalam kesendiriannya. Manusia memerlukan orang lain yang dijadikan lawan interaksi dalam realitas kehidupannya (kehidupan sosial), baik itu dalam memenuhi semua kebutuhannya yang berupa jasmani dan semua kebutuhannya berupa yang rohani.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal