“Menggugat
Pengetahuan Theosentris”
By:
Roni Ramlan dan
Gedong Maulana Kabir
(Jurusan
Filsafat Agama)
BAB I
LATAR BELAKANG
Geliat
perkembangan ilmu pengetahuan berusaha mengekspresikan eksistensinya
ditengah-tengah kungkungan dogma gereja yang sedang gencar menguasai semua
aspek kehidupan. Hal ini tentu disambut baik oleh mereka yang beraliran rasional (rasionalisme)
yang selalu berspekulasi tentang keshahihan sebuah pengetahuan hanya melalui
rasio semata. Akan tetapi pada saat rasionalisme mempunyai kendali atas
perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata ilmu pengetahuan selalu dicampuradukan,
dibatasi dan dikontrol oleh dogma gereja yang memegang tampuk kekuasaan.
Sehingga eksistensi ilmu pengetahuan diminimalisir dan diakomodir untuk
melegitimasi dogma gereja.
Keadaan
yang demikian tentu menjadi pertimbangan bagi aliran yang menjadi lawan, yakni
aliran empiris (empirisme). Dimana aliran empiris ini beranggapan bahwa
keshahihan pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman. Dengan ini berarti
empirisme berusaha membebaskan pengetahuan dari berbagai bentuk spekulasi
spiritual yang menjadi simbol dari metafisika tradisional.
Maka
dengan menyusun makalah yang berjudul “Menggugat Pengetahuan Theosentris”,
kami di sini berusaha untuk sedikit merefleksikan ide (gagasan) kami.
Pembahasan dalam makalah ini ialah dimulai dari bagaimana pengaruh rasionalisme
terhadap filsafat modern, kritikan terhadap capaian rasionalisme, penjelasan
paham empiris (empirisme), gagasan empirisme klasik Aristoteles, gagasan
empirisme di zaman modern yang berusaha mengidentifikasi ilmu pengetahuan yang masih bersifat
Theosentris, Penjelasan tersebut tentu akan nampak
jelas direpresentasikan dalam pemikiran empat tokoh empiris, yang dimulai dari
pemikiran Francis Bacon, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan David Hume. Pembahasan
kami ini hanyalah sebagian kecil dari seberapa banyak ilmu pengetahuan yang
mempunyai peran penting dalam peerkembangan ilmu pengetahuan yang ada didunia.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengaruh Rasionalisme terhadap Filsafat Modern
Sebuah pengaruh yang sangat ketara dari rasionalisme terhadap
filsafat modern ialah ketika persoalan yang menyangkut iman dan rasio berusaha
diselaraskan dalam rangka membentuk kesadaran. Bahkan tidak hanya demikian,
hampir semua produk ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh rasio dijadikan sebagai partner dalam rangka mengukuhkan
Theosentris yang berkuasa. Hal yang demikian dapat dilihat dari hasil beberapa pemikiran tokoh
yang bergelut dalam faham rasional (rasionalisme). Di antaranya seperti Rene Descartes
dan Baruch de Spinoza. Pertama Rene Descartes, dalam pemikirannya tentang ide bawaan (substansi)
ia membagi substansi menjadi tiga bagian, yakni asas yang pertama merupakan Cogito
Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada), asas yang kedua merupakan Allah dan
asas yang ketiga merupakan keluasan. Kedua Baruch de Spinoza, dengan
menjadikan substansi bersifat tunggal (monisme) berarti hal ini mengharuskan ia
membuat suatu rumusan konsep. Konsep tersebut yakni attribute (sesuatu yang
ditangkap intelek sebagai hakikat substansi) dan modus (sesuatu hal yang
berubah-ubah pada substansi). Konsep attribute tersebut senantiasa
dikorelasikan dengan sifat ilahiah, yang berlandaskan pada rasio atau pikiran.
Sedangkan konsep modus selalu dikorelasikan dengan tata alam semesta raya yang
merupakan manifestasi dari Tuhan. Sehingga dari dua contoh tersebut sudahlah
cukup menjadi bukti bahwa rasionalisme mempunyai peran penting dalam mensistemi
atau menjelaskan secara rasional terhadap eksistensi Tuhan. Bahwa sesungguhnya
segala sesuatu tidak dapat dipisahkan dan lepas dari sesuatu yang bersifat
metafisik yakni Tuhan. Dengan demikian hal ini tentu berbeda dengan
rasionalisme pada zaman skolastik yang dianggap telah usang.
Kritik EmpirismeTerhadap Capaian Rasionalisme
Mengenai kritikan yang dikemukakan oleh aliran empiris terhadap
capaian aliran rasionalis, yakni hampir dari setiap tokoh aliran empiris
mempunyai titik fokus kritik masing-masing meskipun mempunyai objek yang sama.
Di antara kritikannya ialah sebagaimana
yang dilontarkan oleh Thomas Hobbes tentang tiga kategori substansi yang
dirumuskan oleh Rene Descartes. Thomas Hobbes mengemukakan bahwa
filsafat rasionalisme modern terjebak dalam perdebatan tokoh tentang substansi.
Padahal menurut Hobbes yang menjadi titik tekan/fokus permasalahan ialah hanya
tentang kualitas. Sedangkan tokoh empirisme yang lain yakni John Locke
mengemukakan bahwa Innate Idea yang menghasilkan pengetahuan yang terdapat
dalam ide bawaan merupakan sesuatu yang tidak dapat diuji secara empiris. Begitu
juga dengan Davide Hume yang mengkerucutkan kritikannya terhadap seluruh
capaian ilmu yang berselalu berpangkal pada substansi (hakiki) yakni
metafisika.
Berlandaskan pada kritikan tersebut selayaknya sudah menjadi bukti
yang cukup untuk merepresentasikan bagaimana empirisme memandang capaian
rasionalisme. Sehingga apabila kita membandingkan antara capaian rasionalisme
dan menyesuaikannya dengan tujuan dari
semangat filsafat modern dalam rangka memberontak intelektual[1].
Maka yang patut dipertanyakan ialah sudah tepatkah apa yang dilakukan oleh
rasionalisme? Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu sangatlah relatif
tergantung dari mana kita berpijak. Jika kita berpijak pada semangat
pemberontakan intelektual filsafat modern terhadap metafisika tradisional maka
jawabannya tentu belum sesuai. Dikarena kontradiksi dengan tujuan filsafat
modern. Sedangkan jika kita berpijak pada sisi metafisika tentu jawabannya
sangatlah tepat atau sudah benar. Hal ini dikarenakan capaian dari rasionalisme
justru memberikan ruang yang signifikan bagi metafisika, bahkan telah
memberikan kontribusi penting dalam mensistematiskan eksistensi metafisika
secara rasional dalam ilmu pengetahuan.
Definisi
Empirisme
Secara etimologi term empirisme merupakan term gabungan yang
berasal dari kata empiris dan –isme. Kata empiris mempunyai arti suatu
pengetahuan yang berlandaskan pada pengalaman dan penghayatan sedangkan –isme
berarti paham. Jadi dengan demikian term empirisme berarti suatu paham yang
menganggap bahwa pengetahuan didapat dari pengalaman atau instrumental indra.
Gagasan
Empirisme Klasik Aristoteles
Gagasan
empirisme Aristoteles sangatlah nampak ketika ia berasumsi bahwa pengetahuan
inderawi adalah sumber pengetahuan yang sebenarnya. Oleh karena itu, jika
manusia tidak memiliki pengalaman dalam segala bentuknya maka ia tidak akan
mengetahui realitas apapun.
Pada
awalnya Aristoteles tidak mengakui adanya pengetahuan ide atau rasio yang
mendahului pengalaman, karena baginya pengalaman empirik merupakan satu-satunya
asas untuk mendapatkan nilai yang benar. Asumsi Aristoteles ini kemudian
menjadi embrio lahimya aliran empirisme.
Akan
tetapi kemudian induksi ini tidak mendapat banyak perhatian dalam logika
Aristoteles. metode yang digunakan Aristoteles dalam merumuskan suatu
pengetahuan baru adalah deduksi. Yakni dengan bertitk tolak dari dua kebenaran
yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang ketiga.
Metode deduksi ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dalam rangka rekonstruksi pengetahuan.
Ketika Aristoteles
mempraktekan teori deduksinya Aristoteles menemukan silogisme. Silogisme ini
merupakan argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi (yaitu premis mayor,
premis minor dan konklusi).[2] Metode
deduktif-sillogistik ini diambil dari prinsip keteraturan semesta. Artinya
jagad raya ini pada dasarnya bersifat teratur, konstan, dan seirama, dari dahulu hingga akhir
nanti. Selain prinsip keteraturan, metode deduktif sillogistik diambil
pula dari adanya prinsip kesamaan dalam
menyimpulkan sesuatu. Kesamaan di sini berarti apabila
terdapat gejala yang identik berdasarkan pada pengalaman
maka dapat diambil suatu kesimpulan
yang sama pula.
Aristoteles dikenal sebagai bapak
empirisme, akan tetapi pada realitanya Aristoteles sering
menggunakan kedua metode, yaitu induksi dan deduksi dalam usaha rekonstruksi pengetahuan baru.
Gagasan
Empirisme di zaman Modern
Mengenai persoalan gagasan empirisme di zaman modern pada dasarnya
dapat kita lihat dari cerminan pemikiran tokoh yang bergelut dan memang kapabel
terhadap persoalan ini. Tokoh yang mendalami persoalan dan menganut empirisme
diantaranya ialah sebagaimana yang akan dipaparkan berikut:
1.
Francis
Bacon (1561-1626)
Melihat
situasi dan kondisi sekitar Bacon mulai gerah dengan ilmu pengetahuan yang ada,
dan hal ini menjadi stimulus untuk berusaha merepresentasikan kembali essensi
sebuah ilmu pengetahuan dengan versi yang berbeda.[3]
Sikap Bacon ini dilatar belakangi oleh semangat yang luar biasa untuk
membebaskan ilmu pengetahuan dari belenggu teologi (menggugat pengetahuan
theosentris).
Pemikiran
Bacon pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi empat kategori, di antaranya
sebagai berikut: Pertama, pemikiran tentang kepercayaan pada ilmu
pengetahuan yang selalu dikaitan dengan sosiokultural pada abad pertengahan. Kedua,
tentang konsep idola yang terdapat dalam suatu karyanya yakni Novum Organum
atau New instrument.[4] Ketiga,
sebuah metode yang ia tawarkan dalam penelitian ilmu pengetahuan ialah metode
induksi. Sebuah tawaran yang menurut Bacon akan menjadikan manusia sebagai
penguasa atas kekuatan alam melalui penemuan-penemuannya secara ilmiah. Keempat,
pemikiran tentang politik dan etika. Mengenai pemikiran Bacon yang keempat ini
kurang lebih banyak dipengaruhi oleh pengalamannya selama berprofesi sebagai
hakim.[5]
Fokus
pembahasan yang menjadi titik tekan dalam makalah ini ialah bagaimana Bacon
berusaha menggugat pengetahuan theosentris (pengetahuan yang masih terikat oleh
metafisik). Sebagai langkah awal yang Bacon lakukan ialah dengan mengobservasi
dan memahami betul bagaimana kondisi sosial masyarakat memposisikan ilmu
pengetahuan terhadap dogma dalam aspek kehidupan. Kemudian Bacon berusaha
menuangkan hasil pemikirannya ke dalam sebuah karya yakni Novum Organum.
Sebagaimana dalam buku Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, F.
Budi Hardiman menjelaskan bahwa dalam buku Novum Organum diantaranya membahas
mengenai konsep idola, suatu konsep yang dianggap sebagai bibit dari konsep
ideologi dalam ilmu kemanusiaan. Istilah idola mempunyai arti sesuatu yang
dipuja-puja, sesuatu yang difavoritkan seperti berhala. Bacon berasumsi karena
masyarakat memiliki idola maka menjadikannya enggan untuk berpikir secara
kritis (berpikir secara sadar bahwa doktrin agama telah menjadikan dirinya sebagai budak yang terbelenggu dengan semua
peraturan yang mengikat dan tidak mau berusaha menggunakan ilmu pengetahuan
untuk memajukan tarap hidup) sehingga mengalami kemandegan dalam perkembangan
hidupnya.[6]
Berkaitan dengan konsep idola ini bacon membagi idola menjadi empat jenis.
Pertama idola tribu (bangsa/bersifat kolektif). Idola ini adalah semacam
prasangka kolektif yang dihasilkan melalui pesona terhadap keajekan tatanan
alamiah, sehingga menyebabkan orang termanipulasi ketika memandang alam secara
objektif. Kedua idola cave/specus (gua). Idola yang kedua ini adalah
prasangka individual yang tesalurkan melalui pengalaman dan minat pribadi, yang
kemudian mengarahkan cara pandang kita terhadap dunia, sehingga dunia objektif
menjadi kabur. Ketiga idola fora/forum (pasar). Idola ini adalah yang
paling berbahaya, dikarenakan mengacu pada pendapat atau kata-kata orang lain
yang diterima begitu saja tanpa adanya pengujian, sehingga mengarah keyakinan
dan penilaian kita yang tidak teruji. Keempat idola theatra
(panggung).
Secara
ringkas Bacon mengkritik agama (kepercayaan) yang dianut oleh masyarakat pada
zamannya dalam rangka meligitimasi metode induksi yang dihasilkan dari
pemikirannya. Berlandaskan pada krikitkan tersebut berarti langkah yang diambil
Bacon selanjutnya ialah berusaha memperkenalkan metode induksi yang
ditawarkannya.Yang dimaksud dengan metode induksi ialah menarik suatu
kesimpulan umum (universal) dari hasil pengamatan instrumental indra terhadap
kasus yang bersifat khusus. Akan tetapi Induksi di sini bukanlah sekedar
menjumlahkan data-data yang bersifat khusus melainkan kita harus mencari
sesuatu contoh negatif yang menyangkal dari gejala umum tersebut. Misalnya kita
menyelidiki kasus warna angsa, jika kita secara umum selalu menemukan angsa
berwarna putih maka kita harus berusaha menemukan angsa dengan warna yang
berbeda yang dapat menggugurkan anggapan bahwa angsa selalu berwarna putih.
Bertolak
dari penjelasan metode induksi tersebut selayak kita memahami bahwa metode
induksi yang ditawarkan oleh Bacon berarti kontradiksi ataupun menolak sama
sekali metode Silogisme Aristoteles.
Dalam perspektifnyaBacon Silogisme ini dianggap sesuatu yang tidak
mempunyai arti dalam ilmu pengetahuan.
Selanjutnya
ketika masyarakat telah percaya dan menggunakan ilmu pengetahuan dalam
menghadapi realita kehidupan, berarti tugas Bacon adalah menjadikan ilmu
pengetahuan benar-benar mampu menjadi
suatu pembahasan tersendiri yang tidak terkontaminasi oleh metafisika. Ilmu
pengetahuan yang mandiri (sudah tidak terkontaminasi oleh metafisika) tersebut,
ialah ilmu pengetahuan yang hanya dapat diusahakan dengan pengamatan
(observasi) yang bersifat indrawi. Melalui observasi tersebut kita akan
melakukan eksperimen (percobaan) dalam rangka menguji kebenaran, yang pada
akhirnya akan menyusun kebenaran terhadap fakta-fakta yang ada. Menurut Bacon
pengetahuan idrawi itu bersifat funsional yang dapat digunakan untuk memajukan
kehidupan. Yang diwujudkan melalui tenemuan-tenemuannya secara ilmiah, sehingga
hal tersebut akan menjadikan manusia sebagai penguasa terhadap kekuatan alam.
Dengan demikian Bacon percaya bahwa umat manusia akan menjadi sejahtera lewat
ilmu pengetahuan. Secara ringkasnya dalam pikiran Bacon membayangkan sebuah
Utopia tentang kemajuan lewat ilmu pengetahuan.
Fokus
pemikiran Bacon yang terakhir ialah mengenai etika dan politik. Dalam
perspektif Bacon, etika (tingkah laku) manusia senantiasa dikontrol dan
dituntun dalam setiap geraknya oleh hasrat yang tidak terbatas untuk memenuhi
kepentingan dirinya. Sehingga hal tersebut mejadikan manusia tidak bisa
memiliki kehendak bebas dalam bertindak. Sedangkan mengenai politik Bacon
berasumsi bahwa manusia selalu berada dalam kodisi yang prima sehingga
menjadikan manusia siap untuk berperang dalam rangka merengguk kekuasaan dan
kekuatan. Dengan kondisi yang demikian secara implisit Bacon menegaskan bahwa
keadaan damai merupakan indikasi dari
ketidak primaan manusia. Pandangan Bacon tersebut sudah cukup menjadi
bukti bahwa suatu pemerintahan yang dicita-citakan oleh Bacon adalah negara
yang menggunakan sistem pemerintahan otokrasi.
2.
Thomas
Hobbes (1588-1679)
Inti dari pemikiran Hobbes ialah mengenai proyeksi purifikasi
(pemurnian Filsafat). Sebuah proyek dalam upaya untuk memandirikan filsafat dan
membersihkannya dari semua hal yang bersifat metafisika.[7]
Langkah yang diambil Hobbes tersebut pada dasarnya merupakan tindak
lanjut atas apa yang telah dirintis oleh Francis Bacon. Hobbes bertujuan
menjadikan objek filsafat secara jelas, tepat dan dapat diteliti (yang dikenal
dengan istilah rigorous).
Suatu pengandaian yang mengharuskan Hobbes untuk mengesahkan empat bidang filsafat yang
terlebih dahulu telah menjadikan objek tersebut bersifat rigorous. Keempat
bidang filsafat yang saling berkaitan tersebut ialah geometri (refleksi atas
benda-benda dalam ruang), fisika (refleksi atas hubungan timbal-balik
benda-benda dan geraknya), etika/psikologi (refleksi atas hasrat-hasrat,
perasaan-perasaan manusia dan gerak-gerak mentalnya), dan yang terakhir ialah
politik (refleksi atas institusi-institusi sosial).[8]
Sesungguhnya sifat rigorous yang demikian hanya dimiliki oleh
materi, maka materilah yang menjadi objeknya. Materi tidak pernah bisa lepas
dari ruang (keluasan) dan waktu (gerak). Sehingga satu-satunya metode filsafat
yang dapat digunakan untuk meneliti hal
tersebut melalui metode observasi. Selama proses observasi tersebut tentu hanya
akan menggunakan kekuatan sensibilitas indra yang dibantu oleh alat atau instrumen
ilmu.
Dalam menjalankan metode observasi tersebut kita harus
memaksiamalkan refleksi sensibilitas indrawi terhadap objek filsafat (materi),
yang langsung mengarah kepada kebenaran essensi dari objek materi tersebut,
yakni materi inti. Sehingga dari persenyawaan materi inti tersebut akan
menghasilkan beberapa peluang kemungkinan untuk melahirkan materi baru dengan
kualitas yang lebih baik.[9]
Melalui refleksi proyeksi purifikasi tersebut tentu Hobbes harus
mampu menerima dan menanggung beberapa konsekuensi. Konsekuensi tersebut di
antaranya ialah Hobbes telah mengganti metode sebelumnya yang berlaku dalam
merefleksikan sebuah pengetahuan, yakni dari metode filsafat kesangsian menjadi
metode filsafat observasi, sehingga Hobbes harus betanggungjawab atas penerapan
teori tersebut yang akan mempengaruhi status dari pengetahuan.
Corak pemikiran Hobbes yang
demikian tentu berdampak pada pengetahuan sebelumnya yang lebih dominan
dikontrol oleh rasio. Karena secara otomatis dengan mengesahkan ilmu
pengetahuan melalui metode observasi yang bersifat indrawi semua ilmu
pengetahuan yang masih bersentuhan dengan metafisika harus difilter kembali
(ditinjau kembali keabsahannya).
3.
Jhon
Locke (1632-1704)
Pemikiran empirisme Jhon Locke
diawali dari kritikannya atas konsep Innata Idea yang diamini oleh Descartes.
Jhon Locke mengatakan bahwa Innata idea atau ide bawaan ini tidak dapat diuji
secara empiris.
Langkah pertama Jhon Locke ialah
menghadirkan konsep Tabula Rasa. Suatu konsep yang mengandaikan manusia
seperti kertas putih yang kosong. Agar kertas kosong ini mendapatkan isi, maka
harus diberi pengalaman. Pengalaman merupakan sesuatu yang berasal dari objek.
Melalui pengalaman indrawi inilah akan terbentuk sebuah ide pengetahuan. Ide
pengetahuan merupakan pengalaman yang dicerna oleh subjek. Sehingga sumber
utama dari pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman indrawi.
Dalam melihat objek, Jhon Locke
membagi kualitas objek menjadi dua. Pertama adalah kualitas primer. Kualitas
primer ini merupakan sesuatu yang melekat pada objek, misalnya masa suatu benda.
Kedua adalah kualitas sekunder. Kualitas skunder ini merupakan bentuk refleksi
dari pengamat indra atas suatu objek. Sehingga kualitas sekunder ini dapat
berubah sesuai persepsi seseorang, misalnya rasa manis.
Menurut Locke ada beberapa tahapan
tertentu agar sampai pada level pengetahuan. Dimulai dari pengamatan atas objek
dengan sensibilitas indra, yang kemudian melalui pengamatan ini akan
memunculkan sensasi. Dari kumpulan sensasi tersebut akan terbentuk sebuah
pengalaman, yang kemudian pengalaman ini akan membentuk ide pengetahuan.
Ide pengetahuan dalam perspektif
Jhon Locke dibedakan menjadi dua, yaitu ide simpleks dan ide kompleks. Di dalam
buku Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, F. Budi Hardiman
menjelaskan bahwa Ide simpleks merupakan satuan-satuan ide yang diperoleh dari
pengamatan secara langsung indra atas suatu objek. Ide-ide simpleks ini
digabungkan melalui proses yang disebut dengan abstraksi. Sedangkan ide
kompleks merupakan gabungan satuan-satuan ide dari berbagai ide simpleks.
Misalkan, jika kita mengamati sebuah gedung maka ide pengetahuan tentang gedung
merupakan ide kompleks. Sedangkan warna, bentuk, dan yang sebagainya merupakan
contoh ide simpleks.[10]
4.
David
Hume (1711-1776)
Skeptisisme David Hume diawali dengan semangat kritik atas substansi
Descartes. Hume menganggap bahwa ajaran Descartes merupakan ilmu yang dogmatis.
Dengan metode kesangsiannya Descartes telah melahirkan substansi-substansi yang
metafisis, dan masih tercampur dengan dogma gereja. Sehingga peran Hume di sini
adalah untuk memisahkan filsafat dari hal-hal semacam itu.
Untuk membersihkan filsafat dari hal
metafisik itu kita mengenal dua istilah, yaitu propter hoc dan post
hoc. Propter hoc merupakan taraf kebenaran
ilmu yang diterima tanpa melalui uji empiris. Sedangkan post hoc
merupakan kebenaran setelah melakukan proses uji empiris.
Pengujian secara empiris Hume
berusaha diterapkan pada hasil capaian Rene Descartes. Pertama uji empiris atas
cogito atau aku. F. Budi Hardiman menuliskan dalam Pemikiran-Pemikiran yang
Membentuk Dunia Modern bahwa, “Menurutnya, kita ini selalu menerima kesan,
idea, dan persepsi seperti panas, dingin, berat, senang, sedih, nikmat, dan
seterusnya sampai kita mendapat kesan bahwa ada suatu kesatuan ciri yang
senantiasa ada bersama-sama dan senantiasa kita sebut ‘diriku’. Semua ini
menurut Hume hanyalah kumpulan persepsi saja, ‘a bundle of perceptions’.”[11]
Apa yang terjadi jika semua persepsi itu dihilangkan? Tentu hilang pula
kedirian seseorang. Misalkan ketika seseorang telah mati. Hilangnya persepsi
diri atas diri sendiri menghilangkan pula kedirian seseorang. Sehingga cogito
itu merupakan non entitas.
Kedua adalah uji empiris atas substansi kedua
yang dicetuskan Descartes, yaitu Allah. Ini justru lebih jelas lagi
kesimpulannya. Bayangkan, bagaimana Allah yang substansinya non materi diuji
dengan basis indrawi. Maka hasilnya sudah pasti Allah itu
non entitas juga.
Ketiga adalah perihal kausalitas
(Causa Sui). Misalkan dalam propter hoc contoh sederhananya adalah perempuan
harus bersih saat menyapu. Karena jika tidak, maka kelak akan mendapat suami
yang berjenggot (berbulu). Setelah dilakukan uji empiris (post hoc) kita dapati
bahwa ternyata secara empiris hal ini tidak terbukti. Sehingga hal semacam ini
dipisahkan dalam kajian filsafat empirisme David Hume.
[1]Pemberontakan
intelektual di sini diartikan sebagai pemberontakan intelektual yang secara
terus-menerus terhadap metafisika tradisional. Pemberontakan ini dapat dilihat
dari dua sudut yang berbeda, yakni pertama dengan memaknai modernitas sebagai
disintegrasi intelektual (yang berusaha menampakan eksistensi diri sebagai
anarki dan kekacauan daripada keutuhan dan ketertiban) sehingga dapat dikatakan
sebuah kemerosotan intelektual. Sedangkan yang kedua dengan menganggap filsafat
modern sebagai emansipasi, sebuah kemajuan berpikir dari kemandegan dan
pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi
tradisional. Pemaparan ini lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku F. Budi
Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Neitzche, (Jakarta: PT
gramedia Pustaka Utama), hlm. 5-8
[2]Mengenai
pembahasan ini lebih jelasnya dipaparkan dalam buku Kees Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 169
[3]Hal ini
disebabkan pada zaman skolastik ilmu pengetahuan yang ada dianggap telah usang
(tidak berguna/bermanfaat) bagi kehidupan manusia, karena tidak membawa
perubahan pada arah kemajuan yang signifikan. Yang demikian ini sebagaimana
yang terdapat dalam DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: KANISUS), hlm. 15
[4]Wahyu
Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta:
IRCIsoD), hlm. 80
[5]Mengenai hal
ini lebih jelasnya baca terjemahan Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat
dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 712-713
[6]Hal ini sebagaimana
yang ditegaskan dalam buku, F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari
Machiavelli sampai Neitzche, (Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama), hlm. 29
[7]Dengan ini
Hobbes berusaha membangun fondasi baru dalam pengetahuan yang bersifat
aposteriori, dan hal ini tentunya berbeda dengan fondasi pengetahuan yang
terdahulu yang bersifat apriori.
[8]Mengenai hal
ini dipaparkan secara jelas dalam buku F.
Budi Hardiman, Filsafat Modern..., hlm. 68
[9]Norma ilmu yang
demikian ini biasanya ditemukan dalam semua kerja ilmu genetika dan biologi.
[10]Lihat F. Budi
Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, (Jakarta: Airlangga,
2011), hlm. 66-67
[11]F. Budi
Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, (Jakarta:
Airlangga, 2011), hlm. 76-77
Komentar
Posting Komentar