Langsung ke konten utama

Tempat Penginapan

Sepanjang perjalanan menuju tempat penginapan, seolah-olah Mas Febri paham betul pertanyaan besar apa yang terbenam di benak kami, lantas beliau berperan sebagai tour guide yang baik. Mas Febri mulai menyebutkan setiap sudut dan tempat yang kami lewati. Pertama beliau menyebutkan nama dan fungsi gedung wisma broading school yang Prof. Naim tempati. 

Kedua, tepat di bagian Barat jalan terdapat kediaman KH. Thoha Yusuf Zakariya, Lc. selaku pengasuh pondok pesantren Al Ishlah. Kemudian persis di sebelah utaranya terdapat pintu gerbang asrama santriwati. Setelah diam sejenak, dan Mas Febri menceritakan awal mula berkhidmat di PP Al Ishlah hingga sekarang beliau menyekolahkan salah satu putrinya di tempat yang sama, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan paping yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter. Rute jalan yang kami lewati membetuk huruf T. 

Ketiga, pada bagian belakang wisma broading school terdapat gedung BLK Komunitas. Mas Febri menyebutkan bahwa santri dikerap ditempa ketrampilannya di gedung tersebut. Keempat, tidak jauh dari sana Mas Febri mulai mengarahkan kami untuk mengenok ke sebelah kiri jalan. Di sebelah kiri jalan ternyata terdapat pasarean (istilah makam dalam bahasa Jawa) khusus abdi dalem PP Al Ishlah. Abdi dalem dalam konteks ini maksudnya keluarga besar keturunan pengasuh dan pengelola PP Al Ishlah. 

Persis di sebelah utara pasarean terdapat rumah berwarna putih. Mas Febri menuturkan bahwa itu rumah kesehatan Pondok Pesantren Al Ishlah. 24 jam dokter selalu standby di sana. Sistem kerjanya adalah dengan menggunakan sift. Rumah kesehatan itu ada setelah Pondok Pesantren Al Ishlah menjalin kerja sama dengan rumah sakit terdekat. Sehingga kapan pun ada yang sakit serius dapat diperiksakan dan ditangani dengan segera. Dan itu adalah tempat keempat yang diterangkan oleh Mas Febri. 

Kami mulai berbelok ke sebelah timur. Jalan paping ini adalah rute khusus menuju kompleks perumahan asatidz. Tampak jelas, tepat di belokan terdapat satu buah rumah asatidz. Kami terus berjalan menyusuri jalan hingga melewati dua rumah lain, dan tanpa henti Mas Febri begitu lanyah berceloteh. Di sisi kanan jalan, tampak sebuah bangunan layaknya gudang. Beberapa perabotan rumah ada di sana, bercampur tumpukan papan kayu yang masih mentah dan deret motor yang entah berapa buah. 

Rute jalan kembali berbelok ke arah utara, di sana terdapat tiga petak rumah. Dan tempat menginap kami di rumah bagian tengah. Rumah itu bercat putih. Di pelatarannya terdapat dua kursi kayu saling berhadapan yang dipisahkan oleh sebuah meja. Di sisi yang berlawanan arah, lantai putihnya dibalut karpet hijau. Mungkin itu tempat cangkrukan asatidz pemilik rumah. 

"Silakan masuk. Mohon maaf ya tempat menginapnya apa adanya", tukas Mas Febri. "Silakan pilih tempat tidurnya sesuka hati. Di ruang tengah boleh, di kamar juga boleh. Kalau ada keperluan boleh hubungi saya. Nanti juga ada rombongan lain yang menyusul menginap di sini", Mas Febri menambahi. "Selamat beristirahat ya", kalimat pamungkas sebelum Mas Febri izin pamit undur diri. 

Sejenak saya mengongak ke masing-masing kamar. Kebetulan di rumah itu terdapat dua buah kamar. Di sebelah Timur dan Barat. Kamar bagian Timur ruangannya lebih luas. Di sana sudah tersusun rapi tiga kasur, satu lemari kecil di sisi utara dan satu tempat gantungan baju menempel di dinding sebelah Barat. Sementara kamar bagian Barat, luas ruangannya tampak lebih ciut. Namun kamar itu dilengkapi dengan satu dipan dengan kasur spring bed dan satu buah kasur busa yang diletakkan di sebelahmya. 

Lantas malam Sabtu itu, saya, Om Thoriq, Mas Imam Setiawan dan Alfin memilih kamar tidur bagian Barat. Pemilihan tempat tidur itu berdasarkan asumsi, bahwa merebahkan tubuh di kamar akan lebih hangat dibandingkan tidur di ruang tengah. Terlebih di malam itu dingin memeluk tubuh. Adapun Mas Fahrudin dan Mas Lucky tidur di kamar bagian Timur. Sementara Mas Habib beserta rombongan yang menyertai Pak Arfan tidur di ruang tengah. 

Sebelum memejamkan mata, kami sempat menunaikan salat berjamaah. Setelahnya kami bergantian ke kamar mandi. Sembari menunggu giliran tiba, kami merebahkan diri di atas kasur masing-masing. Kala itu juga di antara kami terlibat obrolan gayeng. Malam itu saya sempat membayangkan  akan ada antrean panjang besok pagi di depan kamar mandi. Sebab rumah penginapan itu diisi oleh sepuluh orang dengan ketersediaan satu buah kamar mandi. Di samping itu saya juga menerka udara di pagi hari dan temperatur air yang akan dingin sekali.

Detik jam sudah menunjukkan tengah malam lebih, namun kedua mata benar-benar belum bisa dilahap kantuk. Rasa-rasanya tidak nyaman merebahkan tubuh di kasur spring bed. Sehingga berkali-kali saya sibuk membolak-balikkan posisi tubuh. Mungkin itu adalah efek samping dari kebiasaan saya yang tidur beralaskan tikar atau pun karpet. Terdengar aneh mungkin, namun begitulah adanya. Di saat orang-orang mengidam-idamkan tidur beralaskan kasur yang super empuk, namun ternyata tubuh saya malah menolak. Dini hari itu saya baru bisa terlelap setelah berusaha keras saya memejamkan mata berkali-kali.

Malam berganti pagi, lantunan adzan sudah dikumandangkan dua kali. Saya dan teman-teman bangun kesiangan. Di saat itu juga saya teringat dengan pesan Mas Febri kemarin malam, "Di sini adzannya dua kali Mas. Adzan pertama pertanda waktu salat tahajud dan adzan yang kedua menandakan masuknya waktu salat Subuh". Kami silih berganti ke kamar mandi, lantas dilanjutkan dengan salat Subuh berjamaah. Om Thoriq secara konsistensi menjadi imam. 

Selepas itu Alfin mengajak saya untuk jalan-jalan pagi sebentar melihat lingkungan sekitar tempat penginapan. "Jangan jauh-jauh Fin, takutnya melanggar zona teritorial kegiatan pagi santri. Terlebih status kita sebagai tamu, tentu tidak boleh sembrono dan tahu diri", pesan saya ke Alfin. Saya, Alfin dan Om Thoriq berjalan santai menyusuri jalan paping hingga berhenti di persimpangan jalan yang berbentuk T. Dari sana tampak jelas dua gedung asrama santri yang sempat disebutkan oleh Mas Febri kemarin malam. Yakni gedung Indonesia dan gedung Singapura. Kedua gedung kokoh itu memiliki lantai lebih dari empat. Di sana tampak ada para santri yang sedang persiapan untuk ro'an dan olahraga pagi. 

Kami juga melihat sebuah kandang kambing yang terletak persis di bagian utara jalan. Sedangkan tiga lobang besar dan lumayan dalam berbentuk persegi empat kami temukan di sisi selatan jalan. Ketiga lobang tersebut diplester dengan rapi, sehingga tampak menyerupai kolam ikan. Akan tetapi pada bagian dalamnya tampak sisa-sisa pembakaran. Ada kemungkinan itu tempat pembakaran sampah dan beberapa limbah. Tepat di depan penginapan juga terdapat kebun pohon Sengon yang lumayan rapat. Sementara pada bagian belakang tampak ada sebuah gunung. Mungkin karena itu pula sirkulasi udara di sana sejuk dan dingin di waktu malam. 

Jalan santai menengok lingkungan sekitar selesai. Kami bertiga memutuskan untuk kembali ke rumah. Tak berselang lama saya berinisiatif untuk bergegas mandi mumpung kamar mandi pas lagi kosong. Sebenarnya, saya bukan orang pertama yang mandi, sebab Mas Imam Setiawan telah mandi lebih dulu sedari jam setengah enam. Padahal waktu itu, udara masih sangat dingin. Mungkin Mas Imam Setiawan masih memiliki garis keturunan yang sama dengan Eng, si Avatar pengendali empat elemen. Hehehe

Setelah saya selesai, kamar mandi diambil alih oleh Om Thoriq. Disusul dengan Alfin dan dipungkas oleh Mas Fahrudin. Tepat setelah Alfin selesai mandi, pukul 07.32 WIB Prof. Naim berkoar-koar di dalam grup Kopdar Bondowoso. Isi chatnya menyuruh kami untuk bergegas sarapan di ruang makan VIP. Sebab acara seminar Literasi Nasional dimulai pukul 08.00 WIB. Sebetulnya pada pukul 07.14 WIB Bu Eni telah memberikan kode kepada kami melalui postingan foto di grup Kopdar Bondowoso. Kala itu fotonya menggambarkan Pak Emcho, Prof. Naim, Pak Arfan dan Pak Agung sedang antre mengambil nasi dan lauk.

Setelah anggota pasukan laki-laki lengkap, kami bergegas menuju ruang makan VIP. Di sana saya menemukan Prof. Naim dan rombongan perempuan sudah hampir selesai makan. Satu persatu kami mengantre mengambil lauk dan nasi. Kebetulan menu sarapan pagi itu sangat menggoda. Mulai dari tempe mendoan, mie goreng, telur dadar, rebus labu Siam, samal terasi fresh, sup dan kerupuk. Kendati demikian, mencocolkan labu Siam rebus pada sambal terasi fresh adalah menu andalannya. Terlebih rasa sambal terasi freshnya sangat mantap. Seger, bikin nendang banget di mulut. 

Baru saja dua tiga suapan nasi masuk ke mulut, Prof. Naim dan rombongan perempuan sudah meninggalkan kami. Pikir saya, beliau semua langsung menuju perhelatan acara, namun ternyata singgah terlebih dahulu ke kediaman KH. Thoha Yusuf Zakariya selaku pengasuh pondok pesantren Al Ishlah. Bu Eni sempat mengirimkan beberapa foto kebersamaan itu ke dalam grup. 

Kala itu kami sempat kehilangan jejak di sebelah mana sesungguhnya rombongan awal melakukan sowan. Saya kira bukan di kediaman pengasuh, sehingga Mas Fahrudin selaku kepala suku sempat disapa oleh ustadzah pengabdi yang kebetulan sedang memantau hafalan santriwati di kelas terbuka. Letaknya persis di sebelah selatan pasarean. Dekat kediaman pengasuh. 

Lantas Mas Fahrudin menanyakan di mana letak gedung serba guna. Namun sempat pula menanyakan apakah melihat rombongan tamu atau tidak. Di sana kami sesaat dibuat bimbang, antara ikut bergabung sowan ke kediaman pengasuh atau lebih baik menunggu ditempat perhelatan acara. Namun pada akhirnya kami memutuskan untuk menunggu saja di tempat acara. Ustadzah pengabdi itu menuntun kami menuju tempat acara. 

Kami mulai memasuki ruangan. Di meja administrasi kami diminta untuk registrasi dengan scanning barcode. Mas Imam Setiawan sempat kebingungan bagaimana cara kerja scanning barcode dengan kamera. Pikirnya, ia harus menginstal aplikasi tertentu terlebih dahulu untuk melakukan hal itu. Hingga sampailah saya memberitahunya untuk melakukan scanning barcode dengan fitur kamera via google. 

Supaya tidak ribet dan bolak-balik melakukan scanning barcode, Alfin yang sudah berhasil mengisi form administrasi lantas membagikan tautan registrasi tersebut ke dalam grup Kopdar Bondowoso. Teman-teman lain yang belum registrasi bisa langsung mengklik tautan tersebut. Kala itu saya juga mengisi form pendaftaran melalui tautan registrasi yang di-share Alfin. 

Masing-masing kami duduk di kursi hijau yang berbahan plastik. Kami duduk secara berjejer. Mas Fahru di bagian belakang bersanding dengan Mas Habib, sedangkan saya, Alfin, Om Thoriq dan Mas Imam Setiawan duduk di deretan bangku yang kedua. Sembari menunggu acara dimulai, kami kembali terlibat obrolan gayeng. Kendati sebenarnya kami juga kurang merasa nyaman berada di ruangan yang secara kuantitas didominasi oleh santriwati. Mereka duduk dengan rapi di semua deret kursi bagian selatan. Bahkan tak jarang pula beberapa kali mereka melemparkan pandangan ke arah orang asing seperti kami.

Kurang lebih setengah jam kemudian kami menunggu di gedung serba guna. Akan tetapi acara belum juga dimulai. Pada akhirnya jadwal tetaplah jadwal kendati molor sudah terlalu dalam mendarah daging menjadi sebuah tradisi dan kebudayaan dalam setiap perhelatan kegiatan. Tentu saja, yang demikian merupakan sesuatu hal yang sangat disayangkan. 

Tulungagung, 11 Agustus 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal