Langsung ke konten utama

Seminar Literasi Nasional

Sepuluh menit pra acara KH. Masruri Abdul Muhsit tiba di gedung serba guna. Beliau duduk di kursi paling depan setelah sebelumnya bersalaman dengan peserta yang hadir mendahuluinya. Beliau duduk sendiri. Saya perhatikan beliau sibuk memainkan gawainya yang digenggam. Tak berselang lama datanglah sosok lelaki yang berjaket. Ia sungkem kepada KH. Masruri sembari menyodorkan senyum manis yang menandakan bahwa mereka berdua telah lama tak bersua.

Mereka berdua terlihat sangat akrab. Untuk beberapa saat mereka saling menumpahkan kerinduan dengan menjalin percakapan. Sempat sekali lelaki muda itu mengangkat tangan kanannya ke arah belakang. Memalingkan wajahnya ke arah kursi yang diduduki Mas Fahrudin sembari tersenyum. "Hai Gus", celetuk Mas Fahrudin yang menyadari sapaannya. Tak lama Mas Fahrudin menghampiri dan berjabat tangan dengannya. Kini bergantian, mereka berdua yang hanyut dalam obrolan hangat yang tampak menyenangkan.

Di saat itu pula seorang ustadz pengabdi dengan setelan formalnya: kemeja putih berbalutkan jas silver dan berpeci hitam duduk di kursi sisi bagian utara. Ia sibuk dengan selembar kertas ukuran A4-nya. Bahkan beberapa kali ia terlihat membaca isi tulisannya dengan sangat hati-hati dan nada yang terkondisikan sedemikian rupa. Saya menerka, ustadz pengabdi itu bertugas sebagai master ceremonial (MC).

Pandangan saya sontak kembali tertuju pada sosok lelaki muda itu. Entah kenapa, rasa-rasanya saya tidak begitu asing dengan sosok lelaki itu. Justru tatkala sosok lelaki itu berbincang-bincang intensif dengan Mas Fahrudin, spontanitas ingatan saya kilas balik mendeskripsikan ulang tentang Kopdar suatu grup menulis yang dihelat di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Dan di sanalah saya baru "ngeh" bahwa gelagat sosok yang sama juga sempat sungkem kepada KH. Masruri karena kelahiran beberapa karya terbarunya.

Ingatan saya itu terjawab tuntas tatkala Prof. Naim yang kala itu datang bersama dengan Pak Arfan, Pak Emcho, Mas Febri, Pak Agung, dan Mas Hairul serta rombongan perempuan mulai memasuki ruangan. Rombongan perempuan langsung menduduki kursi tamu bagian Selatan paling depan, sedang para pemangku acara dan narasumber seminar--Prof. Naim, Pak Arfan, Mas Hairul dan KH. Masruri yang disusul Mas Febri--menempati kursi panas yang tersedia di panggung. Prof. Naim sempat menoleh ke arah Utara dan terkaget melihat kehadiran Mas M. Nurroziqi. Ya, Mas M. Nurroziqi nama yang beliau sebutkan sembari mengarahkan jari telunjuk ke arahnya. Kala itu, Mas M. Nurroziqi hanya mampu membalasnya dengan senyuman dan gerakan sapaan takdim dari tempat duduknya.

Sekitar tiga menit berselang pasukan santri,  santriwati dan pihak pengelola utusan dari Pondok Pesantren Darul Istiqomah turut hadir memeriahkan acara. Mas Febri sempat menyambutnya dengan ucapan selamat datang melalui pengeras suara. Tak lama, barulah disusul dengan kedatangan pengasuh pondok pesantren Al Ishlah, KH. Thoha Yusuf Zakariya yang memasuki ruangan. Semua peserta seminar yang berasal dari empat elemen: Para santri dan santriwati, asatidz sekaligus pengelola PP Al-Ishlah dan PP Darul Istiqomah, segenap anggota SPK pusat dan cabang, serta segelintir peserta yang berasal dari luar, baik itu mahasiswa sampai dengan guru di lingkungan sekitar, menyambut kedatangan Abi KH. Thoha dengan berdiri dan menundukkan kepala. Satu adab yang kental dilakukan di Pondok Pesantren mana pun saya kira.

Lantas acara dibuka dengan murratal surat Al-'Alaq yang dibawakan oleh salah seorang santri Al Ishlah. Menginjak acara yang kedua, Pak Arfan selaku ketua SPK periode 2020-2022 tampil memberikan sambutan acara. Dalam sambutannya, beliau membeberkan genealogi profil, kiprah dan output komunitas yang diberinama Sahabat Pena Kita. Tak terkecuali tujuan menghelatnya acara Kopdar ke-9 SPK di PP Al Ishlah Bondowoso.

Lucunya, tatkala Pak Arfan melakukan sambutan, sempat beberapa kali mic yang beliau gunakan mengalami kendala. Suaranya terdengar putus nyambung seperti hubungan saya dengan si Dia. Ehh.. keceplosan. Alhasil karena itu pula beliau sempat ditawarkan mengganti mic-nya dengan mic yang tersedia di meja, akan tetapi beliau malah memilih memborongnya.  Kedua mic itu beliau pegang untuk berjaga-jaga. Melihat hal itu, panitia pelaksana acara dengan sigap berusaha memecahkan kendala. Seorang panitia membawakan mic lain yang tampaknya lebih dapat diandalkan untuk menunjang gema suara.

Selepas sambutan dari ketua SPK, acara disambung dengan sambutan dari Pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah. KH. Thoha Yusuf Zakariya atau yang familiar dipanggil Abi KH. Thoha memberikan sambutan singkat yang sarat akan makna. Sejauh yang saya ingat, beliau menegaskan bahwa terdapat tiga jenis dakwah dalam Islam. Yakni dakwah bil lisan, bil qolam dan bil qodam.

Dakwah bil lisan adalah sebuah metode syi'ar (menyerukan kebenaran) dengan mengandalkan potensi lisan. Retorika bervokal menjadi tumpuan. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh para Da'i-Da'iyah yang kerap mengisi acara ceramah agama. Baik itu secara face to face atau pun secara virtual. Tak terkecuali proses transfer pengetahuan dan keteladanan yang ditampilkan oleh seorang pengajar juga termasuk dakwah bil lisan.

Dakwah bil qolam yakni metode syi'ar (menyerukan kebenaran) dengan menggunakan potensi keterampilan menulis. Dalam konteks ini, Sahabat Pena Kita termasuk sebagai golongan yang mengamalkan dakwah bil qolam. Melalui buah pena yang dihasilkan, setidaknya para penulis adalah Da'i-Da'iyah yang sedang menyerukan kebenaran melampaui bentangan zaman. Sebab tulisan bisa menembus pangsa pasar yang besar. Utamanya dijajakan di berbagai kanal media sosial.

Atas dasar demikian, maka janganlah ragu dan takut untuk berusaha menyampaikan kebenaran melalui tulisan. Proses syi'ar bil qolam itu dapat dianalogikan pedang yang dapat membabat habis segala jenis kemungkaran, kebatilan dan kebodohan. Baik disengaja atau pun sebagai bentuk warisan. Maka tak ayal jika kemudian tulisan sebagai salah satu tangan panjang dari literasi dikatakan dapat mengubah peradaban manusia dari zaman ke zaman.

Sementara dakwah bil qodam, yakni metode syi'ar (menyerukan kebenaran) yang dilakukan dari masjid ke masjid. Atau dakwah yang mengandalkan mobilitas door to door sebagaimana yang dilakukan daulah tertentu di sekitar kita.

Beliau juga sempat menyinggung perihal labelisasi dan stereotipe orang luar tatkala memandang PP Al Ishlah. Setidaknya ada tiga istilah penting yang beliau sebutkan: Radikal, Teroris dan Wahabi. Pertama, tidak sedikit orang memandang bahwa PP Al Ishlah itu adalah Pondok Pesantren radikalisme. Padahal menurut beliau, makna radikal yang sesungguhnya adalah moderat,  rasional, terdidik-mendidik dan berakal.

Begitu halnya dengan istilah teroris. Khalayak ramai berbondong-bondong menyebutkan bahwa PP Al Ishlah Bondowoso sebagai lembaga pendidikan pencetak teroris. Padahal teroris dalam konteks ini bermakna ternyaman, terindah dan romantis. Kebalikan dari labelisasi yang disebar oleh segelintir oknum di luar sana.

Sedangkan yang terakhir, beliau juga berusaha memastikan bahwa labelisasi Wahabi terhadap Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso adalah hanyalah kabar burung yang tidak jelas sumbernya. Justru Wahabi yang berlaku di PP Al Ishlah bermakna sumber daya manusia yang ada di lingkungan sekitar Pondok Pesantren adalah menegaskan sosok yang berwibawa, bahagia dan bijaksana.

Setidaknya dari sambutan singkat tersebut, saya menjadi paham bahwa Abi KH. Thoha adalah pribadi yang kharismatik, pandai meramu istilah dan humble serta tangguh dalam menghadapi setiap tantangan zaman yang merongrong percaturan Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso.

Selepas sambutan itu, MC langsung menutup acara pembukaan seminar dengan bacaan hamdalah sekaligus menyerahkan kontrol acara kepada Mas Febri sekali moderator. Sejenak tampak ada beberapa orang yang terperangah, karena pembukaan tidak ditutup dengan do'a sebagaimana umumnya. Lantas Mas Febri selaku moderator menegaskan bahwa do'a akan dibacakan di akhir sesi selepas termin tanya jawab.

KH. Masruri sebagai pembaca do'a yang semula duduk di atas panggung pun memilih kembali duduk di kursinya semula. Tampaknya beliau lebih menikmati hidangan seminar literasi nasional tersebut jika menatapnya tajam secara langsung dari arah yang berlawanan.

Bersambung....

Catatan yang belum usai.

Tulungagung, 17 Agustus 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal