Langsung ke konten utama

Prepare Keberangkatan Kopdar ke-9 SPK

H-2 Kopdar ke-9 SPK, berbekal rundown acara yang terlampir dalam undangan saya mulai sibuk mempersiapkan segala kebutuhan selama mengikuti acara. Sedetail mungkin perlengkapan saya penuhi satu persatu. Mulai dari mengurungkan jadwal mengajar, mempersiapkan sepatu, pakaian, perlengkapan mandi dan salat yang akan dipakai tiga hari ke depan. Maklum saja, sebagai single fighter (bujang) saya harus disiplin mempersiapkan semua kebutuhan itu secara mandiri.

Mengurungkan jadwal mengajar pada hari Jumat-Minggu adalah langkah awal yang saya persiapkan untuk keberangkatan mengikuti Kopdar ke-9 SPK di Bondowoso. Langkah antisipatif ini harus saya ambil sedini mungkin sebelum akhirnya terjadi miss komunikasi yang menimbulkan rasa tidak enak, sungkan dan dongkol di hati terhadap yang bersangkutan. Satu persatu tempat privat belajar saya konfirmasi. Saya tandaskan latar belakang masalah kenapa saya tidak bisa masuk seperti biasanya. Semua alasan itu saya utarakan dengan jujur apa adanya. Rasa-rasanya tidak elok jika harus berbohong dan menciderai kepercayaan yang telah diberikan itu hanya untuk mencari kesenangan ego pribadi. Alhasil, keterbukaan dalam konteks ini bagi saya sangat penting.

Setelah berhasil mengonfirmasi cancel beberapa agenda tiga hari ke depan, selanjutnya saya berinisiatif untuk mengesol sepatu sport di tukang sol yang membuka lapak persis di selatan perempatan Gleduk. Kurang lebih dalam kurun waktu setengah jam saya menunggu Mas tukang menyelesaikan pekerjaannya. Setelah saya amati, Mas tukang itu bekerja dengan sangat cekatan, rapih dan bagus. Kendati demikian, lapak sol sepatunya tetap saja kala itu sedang sepi. Bahkan tatkala saya menghampirinya, beliau sedang asyik main games.

Selain itu jauh-jauh hari sebelumnya saya berencana membeli celana training di toko Asa, mengingat agenda Kopdar di hari Minggu pagi ada sesi olahraga. Terlebih selama ini saya belum memiliki training sama sekali. Untungnya jarak tempuh kosan saya dengan Asa masih dapat dihitung jari. Sehingga hanya skitar 2 menitan saja saya sudah tiba di lokasi. Sepeda motor saya parkir. Kedua langkah kaki menuju lantai tiga toko Asa. Saya langsung menyusuri barisan rak celana. Butuh beberapa menit saja untuk membuat saya menjatuhkan pilihan pada satu celana. Andai saja semudah itu jatuh cinta. Mungkin sudah ada pendamping dalam hidup saya. Ups, keceplosan. Sebelum khilaf kebablasan tergiur ini dan itu, saya bergegas menuju kasir di lantai dua. Transaksi jual beli terbayar tunai di sana. Celana training yang saya suka telah sah menambah koleksi lemari saya.

Sesampainya di kosan, saya berusaha menyiapkan tiga setel pakaian. Kemeja berwarna merah, satu kemeja batik dan baju olahraga; dua potong celana berbahan kain dan training; pakaian dalam ditambah dengan satu buah sarung cap Wadimor. Eh, eh, keceplosan menyebutkan merk, padahal tidak diendros. Ah, tak apalah. Sudah telanjur juga. Untuk beberapa saat saya masyuk menyetrika setiap helai kain. Selebihnya, saya memasukkan semua persiapan itu ke dalam tas.

Tak lupa, untuk mengikat materi selama mengikuti agenda Kopdar saya juga membawa buku catatan dan beberapa buah pulpen. Saya sudah membayangkan betapa banyak kesan dan pesan serta pengalaman inspiratif yang akan saya tengguk tatkala mengikuti acara Kopdar di Bondowoso. Kesan, pesan dan pengalaman inspiratif itu telah melambai-lambai menyambut kedatangan saya sembari mematutkan diri untuk diabadikan.

Sesaat setelah menyiapkan perlengkapan tersebut saya juga sempat membayangkan perjalanan Tulungagung-Bondowoso itu bukan perjalanan yang singkat, sehingga sangat tidak mungkin jika sepanjang perjalanan hanya diisi dengan tidur, bercuap-cuap ria dengan teman semobil dan mengunyah makanan. Maka sebagai solusinya saya berinisiatif membawa sebuah buku yang belum sempat saya khatamkan. Buku Ethiosophia karya Fawaid Abrari saya pilih sebagai teman sejati untuk mengisi kejenuhan dalam sepanjang perjalanan. Buku catatan dan buku bahan bacaan itu saya taruh di saku bagian depan tas.

Tepat di hari Jumat pagi saya teringat, bahwa saya belum menyiapkan perlengkapan mandi. Pasta dan sikat gigit bisa memakai stok yang masih ada, akan tetapi sangat tidak mungkin jika saya harus membawa sabun mandi batangan yang sudah tipis. Alhasil saat itu pula saya bergegas membeli sabun cair botolan ukuran sedang. Tentu saja saya memilih produk sabun cair yang terjangkau saku anak kos. Semua perlengkapan saya kira sudah terpenuhi, termasuk sebotol air mineral tanggung, charger smartphone, sandal dan kaos kaki.

Sekitar pukul 09.00 WIB saya mandi. Dilanjutkan dengan sarapan, ritual dan tepat pukul 09.53 WIB saya bertolak ke kampus diantar oleh teman sekos. Ia mengantarkan saya sampai di depan ATM. Persisnya bagian barat dari depan gerbang kampus. Dari sana, saya mulai berjalan kaki menuju LP2M. Pikir saya, kantor LP2M masih terletak di tempat yang sama semenjak saya lulus. Alhasil saya berjalan menuju ke arah utara rektorat.

Di tengah perjalanan saya sempat membuka grup WhatsApp Kopdar Bondowoso. Alfin menginformasikan keberadaannya di parkiran depan rektorat. Disusul dengan foto selfi Om Thoriq dan Alfin di gazebo gedung lama Fasih (Fakultas Ilmu Hukum dan Syari'ah yang sekarang sudah berpindah ke gedung Arief Mustakim). Tak berselang lama pandangan saya tertuju pada sebuah mobil elf yang terparkir tepat di bawah monitor utama kampus. Saya menerka itu kendaraan yang akan kami tunggangi selama perjalanan Tulungagung-Bondowoso. Saya juga sempat mengambil foto mobil itu dan membagikannya ke grup Kopdar Bondowoso. Hal itu saya lakukan setelah ada konfirmasi dari Prof. Naim terkait siapa saja yang sudah standby di kampus. Barulah beberapa langkah selanjutnya saya menemukan Om Thoriq dan Alfin yang sedang duduk di gazebo gedung lama Fasih. Dari kejauhan mereka melambaikan tangan kepada saya.

Saya menghampiri dan bersalaman dengan mereka. Saya duduk di bangku yang kosong sembari sepatah-dua patah kata berbasa-basi sejenak dengan mereka. Hingga akhirnya kami bertiga memutuskan menuju miqot pemberangkatan di depan kantor LP2M. Di sinilah saya baru "ngeh" setelah diberitahu Alfin kalau ternyata gendung LP2M telah berpindah tempat ke gedung stasiun lama Tarbiyah. Di tengah-tengah perjalanan kami sempat melihat Ibu Siti Rodiah yang berlari-lari kecil menuju kantor LP2M lama. Om Thoriq mengonfirmasi kebenaran itu sembari menandaskan bahwa beberapa menit yang lalu Ibu Siti Rodiah sempat menghubungi via WhatsApp. Kami berlalu begitu saja mengambil jalan pintas menuju miqot pemberangkatan. Sedangkan dari kejauhan kami menatap Ibu Siti Rodiah yang tampak tergesa-gesa menuju miqot pemberangkatan melalui jalan utama.

Tepat di depan kantor LP2M telah terparkir mobil elf yang sebelumnya saya terka. Di sana tampak juga Mas Fahrudin, sang sopir--yang belakangan saya tahu namanya Mas Lucky--dan salah seorang karyawan kampus yang biasanya bertugas sebagai sopir. Entah siapa namanya. Masing-masing kami bersalaman dengan mereka. Tak berselang lama muncullah Ibu Siti Rodiah. Lantas beliau bersalaman sembari menebak siapa saja nama masing-masing kami. Prof. Naim keluar dari kantornya sembari menyodorkan amplop coklat yang saya kira itu berisi akomodasi transportasi kepada Mas Fahrudin. Mas Fahrudin melanjutkan amplop coklat itu kepada sang sopir. Selepas itu, barulah kami bersalaman dan menyapa Prof. Naim. Kala itu, beliau juga sempat memastikan kepada kami siapa aja yang belum datang. Terhitung dua orang yang belum datang, Bu Eni dan Mas Habib tampaknya masih dalam perjalanan.

Kami berlima: Saya, Om Thoriq, Alfin, Ibu Siti Rodiah dan Mas Fahrudin sesekali terlibat dalam percakapan. Hingga akhirnya beberapa saat kemudian Ibu Eni datang diantar dengan mobil Suzuki Swift silvernya. Beliau bergabung dengan kami sembari menenteng dua tas kecil dan satu kresek. Saya tidak ingin mengatakan bahwa isi kresek itu adalah amunisi terbaik selama perjalanan. Bekal jajanan untuk sepanjang perjalanan. Beliau bersalaman dengan masing-masing kami. Selanjutnya beliau sendiri tidak banyak bicara. Yang saya perhatikan beliau lebih nyaman berdialog dengan Ibu Siti Rodiah. Saya sendiri belum mengenal baik dan akrab dengan beliau meski beberapa kali sempat melihat dan tahu beliau. Mungkin karena rasa sungkan yang bersemayam kuat di dalam diri saya yang menjadikan kambing hitam formalitas alasan logisnya.

Menit jam sudah menunjukkan pukul 10.15 WIB, akan tetapi Mas Habib tak kunjung sampai di miqot. Prof. Naim juga sempat mengkroscek langsung jumlah anggota yang sudah hadir sekaligus memastikan siapa yang belum datang. Kami sepakat menyebutkan nama Mas Habib yang belum datang. Ada kemungkinan beliau masih dalam perjalanan. Mengetahui hal itu Prof. Naim sempat bersatir, maksud berangkat jam 10.00 WIB itu ya berangkat dari kampus sebagai miqot, bukan berangkat dari rumah. Mendengar itu saya hanya tertawa kecil. Menghakimi diri yang memang masih menggenggam erat tradisi molor. Agaknya tradisi molor itu bukan sesuatu hal asing bagi khalayak umum. Mungkin acapkali lebih sulit menemukan orang yang disiplin waktu (on time) dibandingkan dengan pecinta kemoloran. Tentu ini adalah PR besar yang harus sesegera mungkin diatasi bersama. Instrospeksi diri adalah kuncinya.

Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya Mas Habib menampakkan batang hidungnya. Jumlah anggota telah lengkap. Mesin elf sudah dipanasi sedari tadi. Akan tetapi langkah keberangkatan kami kembali tersendat sesaat setelah rombongan tamu Prof. Naim yang tampaknya datang dari Malang itu tiba. Rombongan tamu itu memasuki kantor LP2M dengan disambut oleh Prof. Naim dan jajarannya. Tampaknya sesuatu hal yang penting dibahas di dalam sana. Kami kembali menunggu untuk beberapa saat. Murratal Qur'an telah dikumandangkan di masjid-masjid terdekat. Itu menandakan waktu salat Jumat yang semakin sekarat. Sesekali saya mendengar gema gelak tawa terpikal yang bersumber dari dalam kantor LP2M. Jamuan di dalam sana tampaknya begitu renyah sehingga kriuknya sampai terdengar oleh kami.

Ibu Siti Rodiah dan Ibu Eni lebih memilih memasukan tas dan barang bawaannya lebih dulu ke dalam mobil. Sementara peserta laki-laki masih betah menggendong tasnya masing-masing. Pikirnya, menata tas sekalian pemberangkatan lebih simpel dan tidak terkesan bolak-balik. Tak berselang lama, rombongan tamu itu berpamit diri. Lantas kami bergegas menaiki mobil yang kenalpotnya telah fasih bergemuruh. Tepat jam sebelas kurang dua-tiga menit kami telah duduk di masing-masing kursi. Sementara semua tas peserta ditaruh di kursi bagian belakang.

Doa keselamatan dan salawat dipanjatkan. Mas Lucky selaku sopir menginjak tuas gas dengan penuh kehati-hatian. Pasukan Kopdar Tulungagung siap siaga mengarungi lika-liku perjalanan menuju Bondowoso. Termasuk siap menanggung panasnya pantat dan pegalnya beberapa bagian tubuh. Hehe. Sesaat sebelum keluar gerbang kampus, saya sempat mengambil foto dan video untuk kepentingan story status WhatsApp. Perjalanan panjang telah dimulai. Besar harapan kami perjalanan silaturahim ini sampai di tempat tujuan dengan selamat tanpa kekurangan apa pun. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal