Langsung ke konten utama

Buah Pena Asatidz Relawan

Empat bulan menjelang akhir tahun 2021 Pak Sinung selaku pendiri Yayasan Spirit Dakwah Indonesia memberikan empat eksemplar buku ke TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung melalui Mas Zakaria. Empat eksemplar buku itu terdiri dari: dua eksemplar buku antologi karya relawan dan dua eksemplar buku modul pembelajaran mengaji. Harus ditegas di sini, bahwa tulisan kali ini hanya akan mendedahkan dua eksemplar buku antologi karya relawan yang akan disinkronisasi dengan kandasnya rencana menyusun antologi yang saya rumuskan. Sedang mengenai dua eksemplar buku modul akan dibahas pada tulisan selanjutnya.

Mari kita fokus membahas tentang dua eksemplar buku antologi buah pena relawan yang mengabdikan diri di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Kedua buku itu memiliki genre yang berbeda. Secara fisik, hal itu dapat dilihat dari masing-masing judul kedua buku tersebut. Buku pertama berjudul Spirit Dakwah Indonesia Kumpulan Puisi Dakwah dan Spirit Dakwah Indonesia Kumpulan Meme Dakwah adalah judul buku yang kedua. 

Buku yang pertama berbalut sampul dua warna: kuning dan oranye. Buku ini memiliki tebal 52 halaman, sudah termasuk sampul. Buku yang terbilang cukup tipis itu menghimpun 40 buah puisi yang ditulis oleh para relawan asatidz TPQLB. Pada lembar katalog disebutkan, buku itu dieditori langsung oleh Pak Sinung, dilayout oleh Mas Sigit dan diterbitkan oleh Calina Media. Tim Calina Media itu pula yang mendesain sampul buku sederhana itu.

Secara universal, 40 buah puisi tersebut dapat dikategorikan menjadi lima topik utama: Spiritual, Cinta, Pengabdian, Ketulusan dan Sosok orangtua sebagai teladan. Keempat puluh buah puisi tersebut termasuk jenis puisi modern. Shabrina Alfari dalam artikel Mengenal Jenis-jenis Puisi Modern dan Contohnya (03/11/2021) yang diunggah pada laman ruangguru.com menyebutkan, puisi baru atau modern adalah puisi yang struktur penulisannya tidak terikat dan bebas dari aturan-aturan. 

Ditinjau dari isi puisi, keempat puluh buah puisi tersebut cenderung termasuk jenis puisi Elegi, Epigram, Himne, Ode dan Romansa. Sementara apabila ditinjau dari sisi bentuknya, kumpulan puisi dalam buku yang terbit 2016 tersebut berjenis Kuint, Oktaf/Stanza, Sektet dan Septime. Kendati demikian, isi jenis puisi itu lebih didominasi oleh Ode dengan bentuk Kuint.

Sedikit berbeda dengan buku yang pertama, meski diterbitkan pada tahun yang sama: tahun 2016, dibidani oleh tim yang sama (ditulis, diedit, dilayout dan didesain), buku yang kedua menyodorkan tampilan dan topik yang lebih menggigit dan mengena. Dari segi tampilan, buku kedua ini memiliki tebal 82 halaman (sudah termasuk sampul) dengan sampul yang cerah berwana hijau: pekat dan tosca. Selisih 35 halaman dengan buku sebelumnya. Perbedaan mencolok lainnya adalah diimbuhkannya dua buah kata-kata mutiara dari Pak Sinung dan Bu Adin (istri Pak Sinung) yang diselipkan pada sampul bagian depan.

Sementara perihal menampilkan topik yang lebih menggigit dan mengena dapat ditinjau dari esensi konten yang ditawarkan kepada pembaca. Dari sekian banyak topik meme yang dihimpun, secara umum himpunan meme tersebut dapat dikategorikan menjadi sembilan topik utama. Kesembilan topik itu adalah fun, motivasi, romantis, serius, family, karier, study, love dan dream. 

Sebagai contoh saya suguhkan dua meme dengan topik yang berbeda. Meme bertopik cinta: "Meskipun orangtuamu jarang mengatakan 'I Love You' padamu, tapi percayalah cinta mereka jauh lebih besar dari kekasihmu yang setiap hari mengatakan itu", (hal. 8). "Ibu tak bisa romantis seperti pacarmu tapi ibu selalu berusaha melakukan yang terbaik meski tanpa mengumbar kata-kata yang indah di telinga", (hal. 25). Adapun contoh meme dengan topik dream ialah: "Jika ingin bermimpi maka cepatlah tidur. Tapi bila ingin membuat mimpi itu menjadi kenyataan maka cepatlah bangun", (hal. 4).

Dari contoh tersebut setidaknya kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa meme dapat diartikan sebagai ide, gagasan, perilaku atau gaya yang direpresentasikan melalui konten karya baik berupa teks, gambar, video atau pun campuran dari semua unsur tersebut yang kemudian disebarkan secara sengaja dan massif melalui media sosial sehingga menjadi wahana hiburan karena bersifat anekdot, mengandung parodi dan satire, (Chritiany Juditha, 2015: 105). 

Dalam konteks ini, meme yang termuat dalam buku kedua adalah perpaduan antara gambar dan teks. Tentu saja kedua unsur tersebut dipadupadankan berdasarkan nilai estetis dan cocoklogi. Kendati tidak serampangan dan asal jadi, akan tetapi tidak jarang pula terkesan dipaksakan. Hal itu terlihat dari warna, komposisi dan resolusi yang rendah. Namun tidak dapat dipungkiri pula di beberapa halaman banyak ditemukan meme yang memiliki kualitas visual yang good looking dan rating tinggi.

Secara etimologi, istilah meme berasal dari bahasa Yunani kuno: mimeme, bermakna sesuatu yang menyerupai atau meniru. Padanan kata lain adalah kata meme yang berarti memori. Genealogi istilah meme dicetuskan oleh Richard Dawkins, seorang ahli genetika Oxford University. Dalam buku The Selfish Gene (2006), Dawkins menyingkat kata mimeme menjadi meme atas dasar kebutuhan padanan satu suku kata yang hampir sama dengan kata gen.

Lebih jauh, Dawkins memposisikan meme sebagai transmisi informasi budaya yang wujudnya dapat berupa ide, gagasan, pemikiran, habitus, fashion atau pun lagu yang mengkonstruksi polarisasi kebudayaan tertentu. Dawkins mempersepsikan cara kerja dan karakteristik meme sama dengan gen yang terdapat dalam tubuh manusia. Gen berkembang biak dalam sangkar gen dengan cara melompat dari satu tubuh ke tubuh lainnya melalui sperma dan sel telur. Hal yang sama juga berlaku pada meme yang berkembang biak dalam sangkar meme dengan cara melompat dari satu otak ke otak lainnya melalui proses berkelanjutan dalam skala luas yang disebut imitasi. 

Itu artinya meme dapat disebut sebagai unit informasi yang senantiasa hadir di otak dan menjadi entitas ganda yang terbedakan wujudnya: realitas yang dinyatakan dan diamati (efek fenotipik/produk meme). Kendati demikian, kualifikasi keberhasilan meme yang menjangkiti akal budi adalah meme yang benar-benar menimbulkan terciptanya berbagai kegiatan yang mengkonstruksi budaya sesuai era (masa kini; kontemporer). Hal itu terjadi karena memang penyebaran meme dengan cara mereplikasi (mengimitasi) meme yang telah ada sebelumnya. Sistem kerjanya adalah dengan terus-menerus melakukan replikasi menunggangi gagasan atau kebiasaan tertentu sehingga menjadi polarisasi yang berlangsung secara kontinyu dan berujung membentuk pola kebudayaan dalam skala global. 

Dengan demikian, terdapat tiga sifat yang melekat kuat pada meme: mereplikasi dirinya sendiri, mengalami proses evolusi (perubahan bentuk dari waktu ke waktu) dan dalam waktu yang bersamaan meme berusaha mempertahankan diri dari pengaruh-gempuran meme-meme baru yang kian bermunculan sekaligus sukar untuk dikendalikan. Dawkins memandang, kebudayaan manusia selalu berevolusi dan meme berperan penting sebagai replikatornya. 

Jika dilihat dari budaya visual internet, utamanya fotografi digital, proses penciptaan meme bertumpu pada data fotografis yang tersimpan pada mesin Google. Selanjutnya sang kreator mengunduh data untuk diproses: melakukan editing, mereplikasi dan memodifikasi gambar sesuai dengan kebutuhan informasi yang hendak disampaikan. Setelah selesai dan sesuai dengan keinginan, gambar atau foto akan disebarkan melalui media sosial. Kemunculan motif pencipta meme pada dasarnya berlambar pada kejadian unik-menarik, perkataan yang ambigu, lucu, khas, kesalahan pengejaan, penyebutan dan kekeliruan disengaja atau pun tidak. 

Berkaitan dengan status meme sebagai transmisi informasi budaya sudah barang tentu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi, merekonstruksi, merekayasa diri dan imaji masyarakat penerima terhadap realitas artifisial yang dibawa oleh meme melalui citra foto, gambar dan teks yang disuguhkan. Kendati begitu, daya kreativitas yang diaplikasikan pada meme tidak terhitung sebagai karya seni melainkan dinilai sebagai medium komunikasi. Hal itu merujuk pada karakter meme yang mengandung dua kategori pesan yang ditawarkan: muatan informasi dan format informasi. Muatan informasi bermakna pengetahuan tertentu yang dibawanya, sedangkan format informasi berarti cara informasi yang dikodekan dalam bentuk budaya. Dari sekian banyak meme, hanya meme yang memiliki muatan dan format informasi yang jelaslah yang memungkinkan mampu menjadi transmisi informasi budaya (Chritiany, 2015: 108).

Begitupun dengan meme yang terhimpun dalam buku yang kedua, muatan informasi yang ditampilkan lebih cenderung mengajak, mengingatkan dan menyeru kepada kebajikan. Utamanya menyentuh sisi spiritual setiap orang yang menjadi targetnya; sebagai pembaca. Sementara format informasi yang diterapkan pada kumpulan meme tersebut berpijak pada semboyan agama Islam sebagai Rahmatan Lil 'Alamin dan keintiman hubungan: Hablum min al-allah, Hablum min an-Nas dan Hablum min al-'alam. Kumpulan meme dalam buku tersebut menegaskan bahwa konteks dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan ramah akan tetapi tidak sampai kehilangan arah.

Kehadiran dua eksemplar buku antologi karya asatidz relawan itu harus diapresiasi dan diikuti jejaknya. Sebab bisa saja, melalui kelahiran dua buku antologi tersebut mampu memantik geliat literasi di dalam diri masing-masing asatidz sekaligus menjembatani lahirnya karya solo berikutnya. Selain berusaha menuangkan gagasan, ide dan pemikiran melalui scripta manen, secara tidak sadar, hal itu turut membuktikan bahwa mereka telah menundukkan ego sebagai golongan verba volan yang pintar mengandalkan potensi oral semata.

Jika boleh jujur, jauh sebelum diterimanya empat eksemplar buku dari Pak Sinung itu, tepatnya beberapa bulan setelah buku komik hibah sampai di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung, saya sempat berinisiatif mengusulkan ide untuk membuat buku antologi yang bertajuk tentang refleksi selama menjadi bagian dari; mengabdikan diri di TPQLB kepada dewan asatidz. Inisiatif itu disampaikan secara bertahap. Mulai dari menjelaskan feedback apa saja yang akan dituai dari aktivitas menulis, menggeluti dunia literasi sampai dengan memiliki karya.

Baik itu feedback yang akan dituai secara materiil (fisik) atau pun non materiil (psikis; jiwa). Feedback dari segi materiil yang akan dituai tersebut misalnya royalti, jejaring relasi, menjadi narasumber seminar bedah buku dan lain sebagainya. Adapun feedback dari segi non materiil yang kemungkinan besar diperoleh di antaranya ialah menjadi pengalaman berkesan, menambah pengetahuan tentang seluk-beluk menulis, sehat secara psikis, menulis sebagai obat stres, keterampilan literasi terinjaksi (kian terasah), menambah percaya diri, menajamkan ingatan dan lain sebagainya. 

Terkait dengan feedback non materiil ini saya teringat dengan pandangan Habiburrahman El Shirazy tentang menulis ditinjau dari aspek spiritualitas dalam acara Kopdar Sahabat Pena Kita (SPK) ke-lima yang mengusung tajuk Literasi untuk Mengabdi dan Mengabadi. Habiburrahman menandaskan bahwa menulis yang dilandasi dengan takwa sama halnya sedang membangun rumah di surga. Hal itu dapat dicapai manakala kita menempuh tiga jalan utama: Puasa, Takwa dan Menulis. Sebagai dalil naqlinya kita harus memahami secara tuntas surah Al-Baqarah ayat 183 yang dikomparasikan dengan surah Al-'Alaq ayat 1-5. Dari sana kita bisa mengetahui bahwa tujuan menggeluti dunia literasi adalah ibadah kepada Allah SWT.

Adapun keuntungan yang akan dipetik dari ketekunan kita dalam menulis, di antaranya ialah: pertama sebagai sarana untuk menyampaikan kebaikan kepada khalayak. Dalam konteks ini, sejatinya seorang penulis sedang dakwah bil qolam (dengan pena) menebar kebaikan dengan cara mengajak, memberikan teladan dan saling mengingatkan untuk menegakkan amal makruf nahi mungkar. Serta senantiasa meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan kepada Allah SWT sekaligus berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot).

Kedua, menulis sebagai ladang sarana kemuliaan di akhirat. Tentu saja, hal ini berlaku manakala kita menyadari akan pentingnya semboyan verba volan scripta manen: Apa yang kita tulis sebenarnya memberikan manfaat bagi khalayak umum. Apa yang kita tulis memuat pengetahuan, teori dan energi yang positif sehingga khalayak termotivasi dan tersadarkan untuk melakukan kebaikan yang sama secara kontinyu dan tak putus-putus. Pendek kata, karya yang kita tulis menjadi wasilah berbuat baik khalayak. Utamanya menyadarkan khalayak untuk menjalani proses hidup dengan mengacu pada konsep insan Kamil dan Ahsani Taqwim. 

Ketiga, menulis sebagai sarana menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah dianugerahkan Allah SWT. Dalam konteks ini, seorang penulis sudah seharusnya mafhum bahwa keterampilan literasi yang dititipkan kepada dirinya belum tentu dimiliki oleh orang lain. Selain itu seorang penulis juga harus menyadari bahwa menulis adalah jalan lurus menuju satu titik (masa; keadaan; posisi) yang terang benderang. Produktivitas dalam berkarya tidak lain sedang menunjukkan keintiman antara seorang hamba dengan Tuhannya yang senantiasa memberkati. Berkat itu mengejawantahkan diri sebagai tetesan pengetahuan yang diperoleh.

Diperolehnya pengetahuan tersebut tidak lain karena Allah SWT sedang menyibak sifat Ilmu dan menampakkan diri sebagai dzat Yang Maha mengetahui kepadanya. Sesuatu hal yang belum tentu terjadi pada yang lain. Artinya sebagai hamba yang taat selaiknya meneruskan (menyampaikan) ilmu pengetahuan tersebut secara mujmal tanpa memilah-milah. Hal itu berlaku selama khalayak mampu menikmati karya yang ditulis. Baik secara langsung atau pun tidak. Baik dengan membacanya secara langsung atau pun hanya mampu menikmatinya melalui proses panjang perdiskusian dengan seseorang yang dipandang telah mafhum.

Sedangkan yang terakhir, menulis sebagai kewajiban fardhu kifayah. Menulis dalam konteks ini tidak semata-mata dilakukan karena hendak mencari kepuasan diri dan keuntungan secara sepihak, melainkan dikerjakan atas dasar kesadaran akan pentingnya memberikan kontribusi demi kemaslahatan dan kemanfaatan peradaban umat manusia dalam jangka panjang. Dengan menyibukkan diri untuk fokus memberikan kemanfaatan dan keberkahan yang mampu melintasi bentang zaman ini secara tidak langsung telah menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Meminimalisir terjadinya perbuatan maksiat dan dosa yang disengaja atau pun tidak. 

Adanya kesadaran kuat dan kejelasan motif yang bercongkol di hati setidaknya mengarahkan produktifitas menulis sebagai kerja mengabdi dan mengabadi. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer: "Sepandai apa pun seorang manusia, apabila di dalam hidupnya ia tidak menuliskan kepandaiannya itu dalam bentuk karangan, begitu ia meninggal dunia maka karyanya kurang dikenang dan diwaris oleh generasi selanjutnya".

Tidak menutup kemungkinan, karena adanya kesadaran menulis sebagai kerja mengabdi dan mengabadi itu pula dapat mengantarkan kita pada dua postulat utama dari tradisi menulis: meyakini menulis sebagai proses belajar yang tak berkesudahan, menulis sebagai aktivitas yang menyenangkan dan aktivitas yang memanusiakan sekaligus memuliakan manusia. Lantas jika telah sampai pada tahapan inilah menulis dapat disebut sebagai fardhu kifayah.

Sayang seribu sayang, apa yang telah saya kemukakan di atas tidak sampai menggugah hati kecil dewan asatidz. Kebayakan dari mereka lebih memilih bungkam dan lebih suka bersembunyi di balik selimut pesimistis dan bejibun alasan klasiknya. Tidak bisa menulis, malu, tidak ada ide, dan lain sebagainya adalah beberapa alasan yang sempat mereka utarakan. Padahal mayoritas asatidz memiliki latar belakang pendidikan lebih dari 12 tahun, bahkan ada juga yang telah menyandang gelar sarjana. Sungguh aneh memang, telah mengenyam pendidikan setinggi-tingginya namun tetap saja memilih alergi dan tuna terhadap aktivitas menulis. Benar adanya kata Prof. Naim, penulis itu 'makhluk langka'!

Kenyataan tersebut tentu saja mengandaskan harapan saya untuk memiliki buku antologi sebagai rekam jejak pengabdian dengan seketika. Kendati demikian, secara pribadi saya tetap berusaha mewujudkan insiatif itu melalui buku karya solo yang ada dihadapan ada saat ini. Selain itu, saya juga tetap tidak menyerah begitu saja mengajak dewan asatidz untuk mulai beranjak dari zona nyaman alergi dan tuna dari budaya literasi. Satu kenyataan yang harus disadari secara saksama, utamanya sebagai pendidik, adalah tingkat keberhasilan dalam mendidik peserta didik sangat dipengaruhi oleh progresivitas pengetahuan pendidik. Sementara keterampilan literasi sebagai tools yang harus dikuasai.


Tulungagung, 13 Juli 2022

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal