Langsung ke konten utama

Mengulik Narasi Kehidupan eks-Kaprodi AFI

Kisah inspiratif yang sempat mewarnai setiap jalan kehidupan orang lain bagi saya adalah sesuatu hal yang menyenangkan untuk disimak, dikulik dan dipetik ibrahnya. Tanpa pandang bulu tentang jalan hidup siapa pun itu. Tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku bangsa, agama, ras dan budaya. 

Bagi saya, semua orang itu sama saja tatkala dihadapkan dengan persoalan hidup: sama-sama memiliki jalan hidup yang unik dan menarik. Lantas, saya kira teramat keliru jika masing-masing kita sibuk membanding-bandingkan proses, alur dan capaian atas hidup antara satu sama lain. Sebab, tak jarang upaya membanding-bandingkan antara satu sama lain itu hanya menjerembabkan kita pada jurang sinisme dan fatalisme.

Di lain sisi, sikap upaya membanding-bandingkan itu secara eksplisit juga mendorong paradigma kita untuk fokus memandang dan menampilkan sisi yang dipaksakan benar adanya menurut kita. Bersifat kaca mata kuda. Padahal realitasnya masih mungkin berwujud abu-abu. Mendahulukan menerka-nerka terhadap segala sesuatu itu memang bahaya sekaligus dapat menimbulkan celaka. Tidak elok untuk dilakukan oleh kita. 

Sisi yang dipaksakan benar menurut kita itu seperti apa bentuknya? Sisi mata pisau yang selalu mengutamakan menatap hasil-keuntungan yang kita sebut 'enak' dan 'wah' semata atas jalan hidup yang dilalui oleh orang lain. Mirisnya lagi kita bahkan tak mau tahu (enggan mengorek; bersikap ogah-ogahan atau bahkan menolak) seperti apa proses panjang di balik layar. Tak sedikit di antara kita yang mendadak kikuk, mati kutu dan minder (hok cay: bahasa Sunda) tatkala menatap keuntungan yang dianggap 'enak'dan 'wah'.

Penyelidikan yang ketat atas pandangan diri sendiri itu sirna seketika. Seakan-akan menarik simpulan tanpa ada analisis yang pasti dan validitas data yang belum jelas adalah kepastian sumber yang nyata. Sikap kritis, logis dan analitis di dalam diri kita mati seketika. Saat itu pula sejatinya manusia sedang menampikan anugerah terbesar dalam dirinya: akal dan hati nurani yang bersemayam kuat pada masing-masing dirinya.

Dalam konteks kepentingan penyelidikan proses di balik layar itulah tulisan ini dibuat. Tak terkecuali kasus yang saya tuai pada kemarin malam, keberuntungan telah menimpa saya, beliau--Dr. H. Zaini Pasya, M. Pd.--selaku eks-Kaprodi AFI yang kini menduduki kursi Kaprodi PGMI yang kebetulan pulang ibadah haji bercerita panjang lebar tentang alur hidupnya. Utamanya menceritakan tentang bagaimana proses pengabdian dan mendapatkan pekerjaan di masa silam hingga sekarang.

Disebutkan, di ujung tanduk penggarapan skripsi strata satu (S-1) beliau sempat mengabadikan diri di salah satu TPQ di kawasan Mangunsari. Selama mengabdikan diri di TPQ tersebut beliau mendapat bisyaroh sekitar Rp. 7.000,00/bulan. Nominal yang saya kira lumayan di tahun 1992. Sedang saya masih belum terlahir ke Mayapada.

Lantas tak lama dari itu, beliau juga diajak oleh Prof. Akhyak (Dosen STAI Diponegoro dan Direktur Pascasarjana S-2 UIN SATU sekarang) untuk mengabdi di Pondok Modern Darul Hikmah (PMDH) Mangunsari. Di PMDH itulah beliau dipercaya untuk mengemban tugas menjadi guru MTs dan MA. Selama mengabdi di sana, beliau bermukim di asrama PMDH. Sebagai bonus pengabdiannya, beliau mendapat pasangan hidup yang sangat setia sampai sekarang. Saya menyebut istri beliau dengan Bu Hj. Atik. 

Bu Hj. Atik sendiri adalah salah seorang guru tetap di sekolah MTs. dan MA PMDH. Akan tetapi di tahun 2021 kemarin kemujuran berpihak kepadanya. Beliau sempat mengikuti seleksi CPNS dan langsung diterima sebagai ASN di sekolah yang telah lama digelutinya. Kado terindah yang dikaruniakan Allah SWT atas kelapangan sabar dari proses panjang penantiannya.

Diceritakan pula, di tahun 1997 beliau mempersunting Bu Hj. Atik. Setelah menikah mereka tinggal di asrama PMDH. Untuk beberapa tahun mereka tinggal di sana. Mungkin romantisme pasang suami istri baru yang mengabdikan diri di tempat yang sama itu tidak akan pernah tercecap (terbayangkan; dirasakan) oleh kita yang tidak pernah mengenal dan sempat mencicipi kehidupan sehari-hari di Pondok Pesantren. 

Di tahun yang sama pula, Pak H. Zaini Pasya diminta oleh Prof. Akhyak untuk membantu perkejaan di STAI Diponegoro. Kala itu beliau bertugas untuk mengetik dan mengurus berkas administrasi lembaga. Lebih tepatnya, beliau berperan sebagai staf honorer di bagian administrasi lembaga. Seingat beliau, untuk pekerjaan yang dilakoninya itu, beliau dibayar Rp. 75.000,00/bulan. Itupun harus dipotong dengan iuran keanggotaan Ansor sebesar Rp. 2.500,00/bulan.

Barulah di tahun-tahun selanjutnya, sekitar tahun 2000-an, pembukaan penerimaan dosen tetap dan staf kantor dibutuhkan oleh STAI Diponegoro. Beliau sempat mengikuti seleksi penerimaan dengan memilih formasi sebagai dosen tetap. Akan tetapi usahanya kandas. Beliau gagal dalam tahapan seleksi uji kompetensi berbasis komputer. Dari sana, beliau kembali diarahkan oleh Prof. Akhyak untuk mengambil formasi sebagai staf kantor. Dan Alhamdulillah keberuntungan menjadi miliknya. Beliau resmi menjadi staf kantor administrasi lembaga tetap di STAI Diponegoro. 

Di tahun-tahun selanjutnya beliau sempat mengikuti beberapa kali seleksi penerimaan CPNS. Gagal kembali mencoba. Demikian seterusnya. Deretan kegagalan itu lantas tidak menyurutkan semangat dalam dirinya, hingga akhirnya pada percobaan kesekian kalinya barulah beliau lolos. Kala itu beliau mengikuti seleksi CPNS sebagai dosen tetap di STAIN Tulungagung. Dan upayanya itu direstui oleh alam. Beliau diterima sebagai dosen tetap di STAIN Tulungagung. 

Penggalan cerita kehidupan beliau mengajarkan kepada kita semua, bahwa hidup adalah proses yang harus diperjuangkan. Kendati demikian, bukan berarti pula perjuangan itu tumbuh-kembang atas dasar arogansi dan hasrat yang berorientasi memberanguskan, melainkan berlambar pada realitas hidup yang harus diterima dengan mata yang terbelalak. Sadar, terencana dan tertata dengan baik.

Di samping itu, salah satu pesan beliau yang paling 'ngeh' adalah biarkan hidup menunjukkan alurnya. Tugas manusia selaku hamba adalah tetap bergerak, berproses dan berusaha. Pada akhirnya, apa yang kita sebut kesuksesan akan datang pada waktunya. Cepat-lambat kesusksesan akan datang sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan kita menerima sekaligus menjalankannya.

Tugas kita--khalayak orang yang masih berproses--sebagai hamba adalah menerima dan menikmati setiap alur kehidupan yang silih bergantian datang menghampiri diri. Bukan sebaliknya: mencaci, menghardik dan menuduh Tuhan yang kejam atas kemiskinan dan kemusykilan proses hidup yang kita jalani. Kita yang masih awam dan amatiran menjalani hidup belum pantas sampai pada makam apa yang orang sebut sebagai tapal batas kesuksesan.

Atas dasar itu semua marilah kita mempersiapkan dan memantapkan diri sebelum kesuksesan benar-benar menghampiri diri. Sebab jika tidak, mana mungkin kesusksesan itu akan benar-benar menyapa diri.

Sebagai penutup, mari kita menyanyikan lagu karya Abah Lala yang viral akhir-akhir ini secara saksama. 


Ojo Dibandingke


Wong ko ngene kok dibanding-bandingke (banding-banding)

Saing-saingke, yo mesti kalah

Ku berharap engkau mengerti, di hati ini

Hanya ada kamu


Jelas bedo yen dibandingke.

Ora ono sing tak pamerke

Aku ra iso yen kon gawe-gawe (gawe-gawe)

Jujur, sak onone


Sopo wonge sing ra loro ati?

Wis ngancani tekan semene.

Nanging kabeh ora ono artine

Ra ono ajine


Wong ko ngene kok dibanding-bandingke (banding-bandingke)

Saing-saingke, yo mesti kalah

Tak oyak’o, aku yo ora mampu

Mung sak kuatku mencintaimu


Ku berharap engkau mengerti, di hati ini

Hanya ada kamu


Sopo wonge sing ra loro ati?

Wis ngancani tekan semene

Nanging kabeh ora ono artine

Ra ono ajine


Wong ko ngene kok dibanding-bandingke (banding-bandingke)

Saing-saingke, yo mesti kalah

Tak oyak’o, aku yo ora mampu

Mung sak kuatku mencintaimu


Ku berharap engkau mengerti, di hati ini

Hanya ada kamu (sekali lagi, Mase!)


Wong ko ngene kok dibanding-bandingke

Saing-saingke, yo mesti kalah

Tak oyak’o, aku yo ora mampu

Mung sak kuatku mencintaimu


Ku berharap engkau mengerti, di hati ini

Hanya ada kamu

Aku yakin, engkau dan aku

‘Kan bersatu (‘kan bersatu)

Hingga akhir waktu


Tulungagung, 25 Agustus 2022

Komentar

  1. Bagus,,, obrolan jadi tulisan... Pada saatnya coretan itu akan sangat berharga.. Moga semua proses berjalan alamiyah disertai hidayah dan keberkahan saking gusti Alloh Swt.

    BalasHapus
  2. Nggih Pak. Amiinnn 🤲. Semoga Maqbul doanipun 🤲

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal