Dalam ulasan sebelumnya yang berjudul Pengabdian Tanpa Henti saya sempat menyinggung tentang jadwal mingguan dan bulanan pembelajaran mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung, akan tetapi di sana saya belum sempat memaparkan tentang bagaimana proses pembelajaran mengaji di TPQLB secara keseluruhan dan rinci. Berpijak pada kesadaran atas ketidaksempurnaan dalam tulisan terdahulu itulah tulisan kali ini dibuat. Tulisan kali ini secara khusus akan mendeskripsikan tentang proses pembelajaran mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung.
Kegiatan pembelajaran mengaji di TPQLB yang secara konsisten diselenggarakan pada setiap hari Minggu selalu dimulai dengan mempersiapkan tempat pembelajaran. Persiapan sebelum masuk itu dimulai dengan membersihkan musala, menata meja hingga menyiapkan absensi kehadiran santri dan asatidz.
Bagian dalam dan luar musala menjadi zona teritorial yang harus dibersihkan sebelum pembelajaran mengaji dimulai. Biasanya kegiatan membersihkan musala itu dilakukan secara gotong royong. Adakalanya dibersihkan oleh wali santri yang datang lebih dulu, terkadang juga dilakukan oleh asatidz yang datangnya mendahului santri. Siapa pun itu yang sampai terlebih dahulu di musala Baitussalam, maka ia akan bertugas membersihkan musala dengan senang hati dan tanpa ba-bi-bu. Poin pentingnya, bagaimana pun proses pembelajaran mengaji akan jauh lebih efektif manakala menempati ruangan yang bersih dan nyaman.
Begitu pula dengan persoalan menata meja belajar. Biasanya santri yang datang lebih pagi berinisiatif membantu mengusung meja yang terletak di bagian samping kamar mandi ke dalam musala. Asatidz dan dua-tiga santri bahu-membahu mengusung meja untuk kemudian ditata dengan rapi di dalam musala. Adapun jika pihak asatidz datang agak terlambat, tak segan-segan wali santri dan para santri berkerjasama mengusung dan menata meja belajar hingga rapi sedemikian rupa.
Lain halnya dengan urusan menyiapkan absensi kehadiran santri dan asatidz, hal ini hanya dapat dilakukan oleh pihak asatidz. Utamanya kegiatan menyiapkan absensi kehadiran itu dilakukan oleh pihak asatidz yang memegang kunci lemari lembaga. Karena itu pula, tidak semua asatidz bisa mengakses berkas administrasi lembaga secara langsung dan sesuka hatinya, melainkan harus atas izin pihak yang memegang kunci lemari lembaga.
Proses absensi kehadiran santri sendiri ada dua cara. Pertama, lembar absensi kehadiran santri itu diletakkan pada meja yang berada di pelataran musala. Lantas lembar absensi kehadiran itu diisi oleh pihak wali santri. Cara absensi kehadiran pertama ini meminimalisir ketidaktahuan dan kekeliruan dalam mengabsen kehadiran santri yang masih remang-remang namanya. Atau mungkin, belum dikenal pasti siapa namanya. Sedangkan cara yang kedua, pihak asatidz sendiri yang mengabsen kehadiran santri. Cara yang kedua ini lebih cepat dan sederhana, akan tetapi yang menjadi kendalanya adalah terkadang tidak semua asatidz tahu persis nama-nama santri. Sehingga tidak jarang, asatidz harus melihat terlebih dahulu bagian depan prestasi milik santri untuk mengetahui namanya. Jika tidak demikian, asatidz yang bertugas mengabsen akan bertanya dari satu asatidz ke asatidz lainnya.
Hal yang sama juga berlaku dalam mengisi absensi kehadiran asatidz. Masing-masing asatidz bisa menandatangani kolom absensi kehadiran secara langsung atau mungkin sekretaris bisa mencentang kolom kehadiran asatidz secara keseluruhan. Maksudnya, disesuaikan dengan jumlah asatidz yang hadir pada setiap sesi pembelajaran mengaji.
Setelah semua santri berkumpul dan menempati masing-masing meja belajar, biasanya satu meja belajar ditempati oleh dua orang santri sesuai dengan gender (jenis kelamin). Laki-laki duduk bersanding dengan laki-laki, perempuan duduk dengan perempuan. Maka proses pembelajaran mengaji pun dimulai. Tahapan pertama, semua santri diminta untuk berdiri terlebih dahulu. Dalam keadaan berdiri, semua santri mulai dituntun mengucapkan salam secara saksama dipimpin oleh seorang asatidz instruktur yang berdiri tepat di hadapan santri.
Terdapat gerakan khusus dalam mengucapkan salam. Tatkala mengucapkan kalimat "assalamualaikum", tangan kanan diangkat dan dikembangkan ke samping kanan hingga membentuk sudut 65°. Seraya mengucapkan kalimat "warahmatullahi", tangan kiri diangkat dan dikembangkan ke samping kiri hingga membentuk sudut 65°. Kedua telapak tangan menghadap ke atas. Sedangkan seraya mengucapkan "wabarakatuh", kedua tangan direkatkan menjadi satu dan ditaruh sejajar dengan dada. Posisinya persis seperti orang yang meminta maaf. Gerakan ini digunakan manakala mengucapkan salam untuk memulai maupun menutup proses pembelajaran.
Setelah uluk salam, lantas dilanjutkan dengan membaca surah Al-fatihah secara saksama. Prakteknya, satu orang asatidz bertugas sebagai instruktur yang membimbing dan menuntun tartil membaca surah Al-fatihah ayat demi ayat. Pelafalan surah Al-fatihah tersebut berusaha dibaca dengan suara yang lantang dan disertai dengan gerak bibir sesuai dengan makhorijul hurufnya. Tatkala membaca surah Al-fatihah, kedua tangan diangkat seperti halnya posisi berdoa pada umumnya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar