Selepas Prof. Naim bertukar sapa dengan Mas Febri, kami dibimbing Mas Febri menuju ruang tamu VIP. Di balik pintu kami disambut ustadzah Afifah yang merupakan putri kedua pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Al Ishlah, almarhum KH. Muhammad Ma'shum. Masing-masing kami berjalan menyusuri karpet merah menuju kursi yang sudah tersusun rapi dan ditata sedemikian rupa. Format peletakan kursi membentuk tusuk sate. Kursi diletakkan secara berhadapan; antara sisi Timur dan Barat. Setiap dua kursi dipasangkan dengan satu meja yang beralas kaca hitam transparan. Di setiap meja tersuguh toples camilan, air mineral dan tisu. Masing-masing meja tersebut hanya dipisahkan celah untuk orang lewat.
Tampak, di bagian Selatan tengah-tengah ruangan terdapat dua kursi utama sebagai singgasana khusus untuk pengasuh pondok pesantren. Kedua sisi singgasana itu dilengkapi dengan dua bendera kebanggaan. Sisi bagian Timur dilengkapi empat buah bendera merah-putih. Sedang pada sisi bagian Barat diletakkan empat buah bendera lembaga tercinta. Pada bagian belakang terdapat pernak-pernik lain yang terwadahi kubus yang berlapis kaca bening transparan. Ohya, di sudut bagian Timur dari bendera merah-putih terdapat satu buah sound sistem--yang belakang saya tahu itu dipergunakan untuk menyetel murratal Qur'an di pagi hari-- yang mungkin dipergunakan untuk keperluan acara-acara tertentu.
Kesan pertama yang saya rasakan saat duduk di ruang tamu VIP adalah sangat "wah". Dekorasi ruangannya hampir persis dengan ruang tamu kepresidenan istana negara tatkala menjamu tamu yang kerap kali saya intip melalui channel TV atau pun streaming via kanal YouTube. Mungkin ruang tamu VIP Pondok Pesantren Al Ishlah itu adalah salah satu copy paste dari ruang tamu ala kepresidenan. Dan hal itu pula yang menjadi asalan kenapa saya merasa "wah" dan betah tatkala berada di dalamnya. Tentu saja saya merasa nyaman duduk di sana. Bikin ketagihan bahkan.
Masih terekam jelas dalam ingatan saya, bagaimana susunan rombongan kami duduk di ruang tamu VIP. Pada deret kursi bagian Timur, kursi palingan Selatan sendiri ditempati Prof. Naim, disusul Om Thoriq, saya, Mas Imam Setiawan, Mas Habib, Alfin dan Mas Fahrudin. Sebaliknya, pada sisi yang berlawanan, bagian Barat, kursi paling Utara ditempati oleh Bu Eti, dilanjutkan oleh Bu Siti Rodiah, Bu Eni, Ustadzah Afifah dan kursi terakhir diisi Mas Febri. Antara Bu Eni dan Ustadzah Afifah dipisahkan oleh dua kursi kosong.
Percakapan dimulai dengan mempertanyakan kabar, alasan kenapa kami datangnya telat, memperkenalkan masing-masing rombongan Tulungagung, mendedahkan genealogi profil PP Al Ishlah sampai dengan kisah pilu meraih gelar doktor. Dari pihak rombongan Tulungagung, Prof. Naim tampil lanyah bervokal. Sementara Mas Febri bercakap ria mewakili panitia sekaligus selaku salah satu mu'adalah PP Al Ishlah. Ustadzah Afifah sesekali menambahkan dan mengonfirmasi informasi yang disuguhkan Mas Febri. Obrolan malam itu benar-benar gayeng. Terlebih ditemani segelas teh manis panas.
Mas Febri memberitahukan kepada kami, bahwa awalnya PP Al Ishlah belum seluas dan semegah sekarang. Di awal-awal pendirian tahun 1967, almarhum KH. Muhammad Ma'shum yang merupakan alumni Gontor membangun sebuah masjid di sepetak tanah. Di masjid itu pula rintisan Pondok Pesantren Al Ishlah dimulai. Kebetulan masjid rintisan tersebut kini disulap menjadi gedung serba guna. Gedung langganan menghelat berbagai agenda acara.
Seiring berjalannya waktu pelan-pelan pengasuh dan pengelola PP Al Ishlah mengekspansi (membebaskan lahan) wilayah sekitarnya. Hingga luasnya sekarang mencapai 15 hektar. Di area itu pula didirikan beberapa bangun. Mulai dari asrama santri dan santriwati, masjid baru, gedung boarding school, rumah singgah asatidz, wisma, laboratorium, gedung pelatihan, rumah kesehatan sampai dengan gedung perkuliahan. Pembangunan infrastruktur terus digenjot sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Di tanah seluas 15 hektar itu pula beberapa unit pendidikan dikelola. Mulai dari PAUD/TK, SD, SMP Plus, SMA, KMI sampai dengan STIT. Adapun jumlah keseluruhan santri sekitar 2000-an jiwa. Sudah termasuk jumlah santri dan santriwati KMI jenjang kelas 1-6. Jenjang kelas KMI sendiri sudah disahkan setara dengan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas seperti sekolah pada umumnya. Perbedaan mendasarnya, kegiatan pembelajaran KMI berbasis kurikulum mandiri yang berbasis pondok. Status PP Al Ishlah sebagai Pondok Pesantren alumni Gontor memberikan keleluasaan dalam mengelola model pembelajaran. Utamanya dalam memodifikasi kurikulum pembelajaran secara mandiri yang dipersepsikan efektif dan efisien. Tentu ini berbeda dengan Pondok Pesantren lain yang notabene berstatus sebagai cabang Gontor yang wajib menerapkan kurikulum mu'alimin seperti halnya Gontor Pusat.
Ustadzah Afifah mengonfirmasi apa yang disampaikan Mas Febri. Selain itu beliau juga sempat menandaskan tiga skema pembiayaan yang dikenakan kepada setiap santri dan santriwati PP Al Ishlah. Yakni Banuh, Basa dan Taba. Model Banuh atau akronim dari bayar penuh diberlakukan bagi setiap santri yang memiliki latar belakang keluarga dengan kondisi keuangan yang mapan. Sehingga kategori santri Banuh harus membayar semua biaya yang telah ditetapkan pihak pengelola Pondok.
Berbeda dengan Banuh, Basa yang berarti bayar sesuai kemampuan (seadanya) dikhususkan bagi santri yang tergolong berasal dari keluarga mengah ke bawah. Santri kategori Basa tidak dibebani dengan tuntutan pembiayaan penuh yang terhitung utang-piutang, melainkan mereka cukup membayar sesuai dengan kemampuan keuangan keluarganya. Tentu saja proses itu dilakukan sesuai dengan persyaratan, komunikasi dan kesepakatan di antara dua belah pihak: pengelola dan wali santri.
Sementara kategori santri Taba, akronim dari tanpa bayar, dikhususkan bagi santri yang memang memiliki latar belakang ekonomi keluarga yang tergolong tidak mampu. Kategori santri Taba ketika mendaftarkan diri sebagai santri harus dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu dari pihak desa.
Tiga skema pembiayaan itu berpegang teguh pada sebuah pesan yang disampaikan oleh almarhum KH. Muhammad Ma'shum. "Ada tidaknya saya, sistem skema pembiayaan itu harus tetap dijalankan. Sebab Allah SWT sendiri yang telah menjamin. Yakinlah pada firman-Nya dalam surat Muhammad: 7. Bahwa Allah SWT akan menolong siapa saja yang menolong agama Allah.
Tidak hanya itu, bahkan PP Al Ishlah juga memiliki komitmen dan pandangan husnudzon jauh ke depan melampaui proses seleksi penerimaan peserta didik baru yang umumnya diterapkan pada lembaga pendidikan formal lain. Pengelola PP Al Ishlah justru tidak menerapkan sistem seleksi penerimaan peserta didik baru. Melainkan sebaliknya, semua peserta didik baru diterima dengan tangan terbuka tanpa ujian dan penilaian tertentu. Dengan alasan dan keyakinan, bahwa lembaga pendidikan yang bermutu bukan dimulai dengan input yang bagus, proses yang baik dan menghasilkan bentuk output yang bagus. Sebab hal itu lumrah adanya.
Lembaga pendidikan yang bermutu justru berperan sebagai bengkel manusia. Menerima tanpa pilih-pilih, berproses secara baik dan menghasilkan output yang berkualitas. Itulah lembaga yang luar biasa. Adapun tes penerimaan peserta didik baru yang diterapkan oleh PP Al Ishlah lebih condong dipatenkan sebagai sarana untuk melihat potensi santri baru. Sehingga dapat menjadi acuan (tolok ukur) dalam mengelompokkan pembelajaran santri baru tersebut lebih cocok di mana.
Sesaat kemudian, topik pembicaraan beralih setelah Prof. Naim bertanya tentang bagaimana proses studi jenjang doktoral Mas Febri. Lantas Mas Febri menegaskan studi jenjang doktoral yang dijalaninya di Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya mangkrak. Ada berbagai alasan yang melatarbelakanginya, salah satu di antaranya jarak tempuh antara Bondowoso dan Surabaya yang lumayan terbilang jauh adalah kendalanya. Sehingga beliau memilih untuk cuti secara sepihak. Tanpa konfirmasi kepada pihak BAK kampus. Alhasil, namanya masih tercantum di sana, dan karena itu pula beliau beberapa kali sempat dihubungi oleh pihak BAK. Beliau juga sempat memiliki keinginan untuk melakukan transfer proses studi jenjang doktoral ke Universitas Negeri KH. Ahmad Siddiq Jember.
Mendengar hal itu, sontak Prof. Naim sempat menanggapinya dengan menceritakan bagaimana perjuangan teman-teman seangkatan dan kekancan beliau yang banyak gugur di tengah-tengah perjuangan studi. Bahkan tidak sedikit dari teman seperjuangannya di jenjang doktoral yang meninggal dunia. Tugas kerja dan tugas perkuliahan yang terbilang tidak sedikit menjadi kolaborasi beban musykil yang harus diselesaikannya. Belum lagi ditambah dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki tidak berimbang; tidak mumpuni dengan tugas yang harus dihadapinya. Kedua faktor itu adalah pemicu munculnya stress yang tinggi. Alhasil, tidak aneh jika kemudian banyak mahasiswa jenjang doktoral yang kelabakan dalam menjalani proses studi.
Sebagai kesimpulan dari gayengnya obrolan, alangkah baiknya setinggi apa pun jenjang studi yang kita ambil-tempuh harus disesuaikan dengan kemampuan, kesiapan dan keterampilan yang dimiliki. Sangat tidak elok jika kita sekonyong-konyong memaksakan diri, namun pada akhirnya justru menjadi boomerang bagi diri sendiri. Keinginan yang kuat juga harus ditopang dengan kemampuan dan kesiapan fisik serta mental yang hebat.
Sebagai penutup obrolan malam penyambutan itu, kami dipersilakan untuk mencicipi hidangan di ruang makan VIP. Sungguh perut kami masih terasa kenyang, sebab baru dua jam yang lalu kami makan. Akan tetapi karena tuan rumah sudah menyediakan makan malam yang melimpah ruah, dengan penuh rasa hormat dan ta'dzim kami pun menikmati makan malam kedua yang luar biasa.
Ohya, sebelum kami mengambil piring untuk mewadahi nasi dan lauk pauk, kami juga sempat dikenalkan sekaligus bersalaman dengan salah satu putra ustadzah Afifah. Menurut penuturan Mas Febri, ia baru saja menyelesaikan short course selama satu tahun di Mesir.
Barulah setelah makan malam yang kedua itu masing-masing kami diantar menuju tempat penginapan. Rombongan perempuan diantar oleh Ustadzah Afifah, sedangkan pasukan laki-laki diantar menuju penginapan oleh Mas Febri.
Tempat penginapan Prof. Naim di wisma boarding school. Tepatnya di gedung depan ruang tamu VIP. Sementara yang lainnya: Saya, Om Thoriq, Mas Imam Setiawan, Alfin, Mas Lucky, Mas Habib dan Mas Fahrudin ditempatkan di salah satu rumah asatidz yang letaknya sekitar 100 meteran dari tempat menginap Prof. Naim.
Tulungagung, 10 Agustus 2022
Komentar
Posting Komentar