Langsung ke konten utama

Pengadaan Educational Toys

Selain menggenapkan tersedianya media visualisasi pembelajaran, di tahun 2020 pada kenyataannya dewan asatidz TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung juga berhasil mewujudkan keinginan untuk memiliki educational toys (mainan edukasi). Mainan edukasi dalam konteks ini bermakna beragam jenis mainan yang dapat menunjang proses pembelajaran anak. Kendati demikian tidak sembarang mainan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran. Hanya kategori mainan yang dapat merangsang potensi sensoris motorik, afektif dan psikomotorik santri saja yang dapat digunakan.

Pemilahan yang didasari dengan pengetahuan yang tepat tentang educational toys dan adanya upaya cocokologi dari dewan asatidz menjadi kunci utama dalam proses pengadaan educational toys yang harus dibeli. Kala itu, saya dengan Mas Zakaria sempat melakukan browsing beberapa produk educational toys yang recommended dan harus diburu. Tidak hanya itu, bahkan kami berdua juga sempat membandingkan harga, kualitas dan daya tahan di antara beberapa produk sebelum memutuskan untuk membeli. 

Terkait masalah harga kami sempat membanding-bandingkan bandrol harga terhadap produk tertentu yang dijajakan di beberapa oline shop yang acapkali menjadi primadona berbelanja. Utamanya kabar angin yang beredar belakangan ini, persaingan ketat di antara online shop menyebabkan maraknya diskon khusus pada bulan, tanggal dan momentum tertentu. Entah itu mulai dari diskon 20%, 30%, 40%, 50%, 70%, 80% bahkan sampai ada online shop yang berani mematok diskon gila-gilaan (baca: edisi spesial) hingga 99%. Jika tidak bermain dengan diskon harga, maka online shop tertentu lebih suka memberikan gratis ongkos kirim (ongkir) sebagai bentuk promosi. Tentu dengan catatan, customer harus membeli produk di toko tertentu sesuai batas limit belanja yang telah ditentukan. 

Sebagai pemain lama, kami berdua tentu harus tahu-menahu betul tentang kebijakan promo yang diberlakukan oleh beberapa platform online shop. Sebab, bagaimanapun tujuan kami adalah mencari produk terbaik dengan harga yang terjangkau. Jika boleh jujur, kami lebih suka produk yang dijual dengan harga miring namun memiliki kualitas original dan tahan lama. Berbekal pengetahuan tentang adanya program diskon harga di platform online shop terpercaya, akhirnya Mas Zakaria berhasil melakukan transaksi dua buah bola terapis via COD di jasa pengiriman tertentu. Dua bola terapis tersebut berukuran sedang dan kecil. Kala itu, saya bertugas mengambil dan menuntaskan urusan transaksi dua buah bola terapis via COD di jasa pengiriman barang tersebut.

Tidak sampai di sana, kami juga sempat mengkroscek beberapa toko yang ada di sekitar Desa Beji dan lingkungan kampus UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung secara langsung. Dua toko, berhasil mencuri perhatian kami. Kedua toko tersebut, yakni satu, toko permainan yang terletak tetap di jalan raya Talun menuju arah Desa Kepuh. Di toko tersebut kami sempat membeli dua set Lego berukuran sedang, satu keranjang bola-bola kecil dan satu bungkus malam (lilin permainan). Ditambah dengan puzzle huruf alfabet latin. 

Dua, kami jatuh hati pada toko mainan yang terletak di daerah plosokandang. Tepatnya toko itu berada di sebelah selatan jalan raya Mayor Sujadi Timur 46, tidak jauh dari POM bensin Plosokandang. Beberapa educational toys berhasil kami temukan dijajakan di sana. Mulai dari satu set puzzle huruf Hijaiyah magetik dilengkapi dengan black board, kapur tulis berwarna dan white board serta spidol mini plus penghapusnya. Puzzle huruf Hijaiyah berbentuk balok, puzzle huruf alfabet latin berbentuk hewan, puzzle tata cara wudhu (versi laki-laki dan perempuan), squishy, puzzle balok kayu bentuk karakter rumah, puzzle balok kayu berbagai bentuk serta lain sebagainya. Kami merogoh kocek yang lumayan banyak untuk membeli lebih dari lima belas jenis educational toys di sana. 

Sekitar dua puluhan educational toys berhasil kami beli dari dua toko mainan yang berbeda. Awalnya kami sempat kebingungan, akan dibawa dan ditaruh di mana semua educational toys tersebut. Sebagai solusinya, Mas Zakaria mengusulkan membeli boks besar untuk menghimpun semua educational toys tersebut. Lantas boks itu ditaruh di rumah Mbak Tania untuk sementara waktu. Kala itu Mas Zakaria belum mempersunting Mbak Tania sebagai istrinya. Yang demikian dilakukan, mengingat sangat tidak memungkinkan jika boks educational toys ditaruh di musala Baitussalam begitu saja. 

Bukannya kami tidak percaya dengan tingkat keamanan yang ada di musala Baitussalam, akan tetapi kami lebih condong untuk berhati-hati dan waspada, sebab pengadaan educational toys sendiri bersumber dari kas TPQLB yang sangat terbatas. Sehingga atas dasar itu pula, semampu mungkin kami menjaga semua sarana dan prasarana yang telah ada. Tak terkecuali educational toys yang baru saja kami beli. Selain itu kami juga pernah beberapa kali mendengar terkait hilangnya barang berharga jamaah musala Baitussalam yang digasak maling saat menunaikan ibadah salat. Tentu, kasus faktual tersebut juga termasuk menjadi salah satu catatan penting kenapa kami harus lebih waspada dalam menaruh barang dan inventaris lembaga. 

Secara teknis pelaksanaannya, boks educational toys tersebut akan dibawa oleh Mas Zakaria manakala sesi pembelajaran mengaji telah tiba waktunya. Hal itu terus dilakukan hingga Mas Zakaria menjadi suami sah dari Mbak Tania. Barulah setelah tersedia lemari TPQLB di musala Baitussalam, penempatan educational toys mulai dibagi dua. Lebih tepatnya, sebagian kecil ditaruh di lemari milik lembaga. Itu pun ditaruh di sekat bagian paling bawah dari lemari dan jumlahnya dapat dihitung jari. Sementara sebagian besar educational toys lainnya disimpan rapi di rumah Mbak Tania. 

Keputusan menaruh sebagian educational toys di lemari lembaga itu tentu memiliki dua keuntungan utama: pertama, setidaknya tidak merepotkan Mas Zakaria untuk mengangkut boks educational toys bolak-balik secara kontinyu. Kedua, educational toys ditempatkan pada posisi yang strategis. Sehingga manakala dewan asatidz membutuhkan educational toys untuk menunjang proses pembelajaran mengaji para santri, dewan asatidz tinggal mengambil di dalam lemari. Tentu ini jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan kondisi TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung sebelum memiliki lemari inventaris lembaga secara pribadi. 

Kehadiran educational toys di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung sangat membantu kelangsungan proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena tidak semua kategori santri dengan sadar diri mau dan berkompromi dengan mudah untuk diajari mengaji oleh dewan asatidz. Terlebih-lebih khusus santri dengan kategori tertentu--bahkan akan sangat susah dibujuk untuk mengaji jika langsung menggunakan jilid--misalnya santri yang hiperaktif, tunagrahita dan down syndrome, cara mengajari santri yang demikian akan lebih mudah dan efektif jika dilakukan menggunakan educational toys. 

Pernah satu ketika seorang santri baru yang hiperaktif tidak mau dan tidak dapat dibujuk untuk diajari mengaji, baik itu dirayu oleh asatidz maupun oleh orangtuanya sendiri. Barulah setelah ditawarkan belajar dengan menggunakan educational toys sang anak mau dan mampu diajari mengaji. Sempat pula, seorang santri baru menjerit-jerit kecil dan berlarian tidak menentu--sehingga sedikit membuat santri lain merasa risih--meminta dibukakan pintu lemari karena hanya mau bermain menggunakan bola-bola kecil. Dan dengan terang-terangan ia menegaskan diri tidak mau mengaji. 

Ada pula kasus lain, di mana santri baru memilih untuk bersembunyi di ketiak sang ibu manakala mau diajari mengaji menggunakan jilid oleh asatidz, namun santri itu menjadi luluh tatkala dibujuk mengaji dengan menggunakan educational toys berupa puzzle balok kayu berbagai bentuk. Masih banyak kasus dan tingkah lucu lain yang ditampilkan oleh beberapa orang santri yang lebih suka diajari mengaji menggunakan educational toys daripada jilid. 

Kendati demikian, tidak serta-merta semua keinginan santri dapat kami turuti. Misalnya saja ada santri yang menghendaki educational toys yang sedang dipakai oleh santri lain, dan ia dengan sembrono merebut educational toys tersebut. Alhasil, terkadang hal yang demikian dapat menimbulkan terciptanya gesekan--sikap egois, tidak ingin berbagi dan saling memperebutkan--di antara dua santri yang sama-sama menginginkan belajar dengan menggunakan educational toys yang sama. Pada akhirnya, peran asatidz dan orangtuanyalah yang berusaha dan dapat melerai keduanya. 

Meski terkadang ada juga salah satu pihak santri atau kedua-duanya memilih untuk menangis manakala educational toys yang sedang digunakannya direbut oleh santri lain, akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula, di lain sisi terdapat sekelompok santri yang berbaik hati: tidak agresif dan mau berbagi ruang dengan santri lain dalam menggunakan educational toys yang ia gemari secara saksama. Atau mungkin menggunakannya dengan silih bergantian. Tentu saja, sikap berbagi ruang dalam konteks menggunakan educational toys tersebut menandakan bahwa santri yang bersangkutan memiliki jiwa sosial dan menunjukkan kepekaan dirinya terhadap lingkungan sekitar yang sedang ia hadapi. Sang santri mulai memahami, menyadari dan menguasai keadaan (mampu beradaptasi) bahwa ia sedang berhadapan dengan teman-temannya. Sehingga sikap yang harus diutamakan dalam bermain adalah terbuka, kesalingan, dan perhatian di antara satu sama lain.

Cara menyisipkan-menyampaikan materi menggunakan educational toys tersebut memposisikan bermain sebagai metode belajar. Alwi dkk (2001: 68) menegaskan terdapat lima kriteria bermain sebagai metode belajar. Satu, munculnya motivasi intrinsik dari dalam diri secara natural. Dua, memberikan dampak positif. Hal itu terjadi karena bermain merupakan aktivitas yang menyenangkan (menggembirakan) untuk dilakukan. Tiga, tidak dikerjakan sambil lalu, sebab bermain adalah aktivitas yang tidak berpola (berurutan) dan bersifat pura-pura. Empat, fokus pada proses yang dilakukan, bukan tujuan yang dijadikan patokan. Lima, fleksibelitas (kelenturan). 

Melalui metode bermain sambil belajar tersebut setidaknya dapat mengubah stereotip terhadap proses pembelajaran mengaji yang selalu tampil kaku, membosankan dan memposisikan santri dalam keadaan yang selalu tegang. Pendek kata, justru metode ini menjungkirbalikkan fakta proses pembelajaran yang telah mengakar kuat dalam budaya pendidikan selama ini. Di samping itu, metode bermain sambil belajar juga sedang menunjukkan wajah segar cara belajar, belajar dengan metode yang menyenangkan, penuh antusias dan menyisakan kesan candu untuk melakukannya kembali dengan tenggat waktu yang tidak terbatas.

Dilansir dari kompas.com (04/02/2020), terdapat lima manfaat dari penerapan metode bermain sambil belajar. Utamanya bagi anak-anak usia dini. Pertama, sebagai ajang pengenalan sisi afektif. Pengenalan perasaan dalam konteks ini berhubungan banyak dengan perkembangan emosional sang anak. Melalui bermain, sang anak akan banyak belajar dari situasi yang di hadapi. Termasuk belajar untuk menerima, berekspresi dan berusaha mengatasi segala bentuk masalah dengan cara yang positif. Selain itu, melalui bermain itu pula sang anak memiliki kesempatan yang leluasa untuk mengenal diri sendiri dan mengeksplorasi pola perilaku yang menurut mereka dapat memuaskan diri. 

Kedua, sebagai ajang pengenalan aspek sosial(psikomotorik). Satu hal penting yang harus kita sadari sejak dini adalah, ketika sang anak mau berbagi ruang dengan yang lain itu berarti menunjukkan bermain sebagai jalan bagi perkembangan sosial sang anak. Hal itu tidak lain sedang menunjukkan kepada kita semua bahwa bermain dengan teman sebayanya merupakan sarana utama dalam perkembangan kemampuan bersosialisasi, adaptatif dan mengasah sikap empati terhadap sesama. Secara tidak sadar, hal itu juga mengontrol (mendisiplinkan; menundukkan) sikap egosentrisme yang terbenam dalam diri sang anak. 

Dengan demikian, bermain dapat menumbuh-kembangkan dan meningkatkan kepekaan sosial sang anak sekaligus menanamkan nilai-nilai prososial dalam diri anak. Nilai-nilai prososial tersebut dapat dituai dari beberapa aktivitas yang kerjakan oleh sang anak, misalnya mengantri menunggu giliran, berbagi, gotong royong (kerja sama), saling membantu dan tindakan lainnya yang menunjukkan kepedulian serta kesetiakawanan terhadap sesama.

Ketiga, sebagai ajang pengasahan motorik. Bermain pada dasarnya dapat membantu perkembangan fisik secara maksimal. Lebih tepatnya, bermain dapat memicu perkembangan perseptual motorik yang ada dalam diri sang anak. Hal itu dapat dilihat dari berbagai macam aktivitas yang dilakukan sang anak. Misalnya tatkala menulis, menggambar, menangkap dan melempar adalah aktivitas yang membutuhkan koordinasi antara mata dan tangan. Atau mungkin saat menendang, yang membutuhkan koordinasi antara mata dan kaki.

Adapun gerakan-gerakan tertentu seperti melompat, gerak tubuh saat berjalan, berlari, berbaris, meloncat, berjingkrak, merangkak, merayap dan berguling-guling pada dasarnya sedang mengasah perkembangan kemampuan motorik kasar. Sebaliknya, manakala berdiri, jongkok, duduk, bergoyang, memutar, merenggangkan tubuh, menekuk, bergiliran dan meraih sebenarnya sedang menempa kemampuan motorik halus (statis) sang anak. 

Sementara beberapa aktivitas lain, misalnya kemampuan untuk memulai, berhenti, menjaga keseimbangan tubuh, mengubah petunjuk, menunjukkan kepekaan anggota tubuh dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar (tempat) adalah bentuk kontrol dan manajemen yang dilakukan oleh tubuh. Kompleksitas aktivitas tersebut menjadikan tubuh sebagai tumpuan utamanya. 

Keempat, sebagai ajang menempa perkembangan kemampuan komunikasi anak. Dalam bermain tidak jarang sang anak melakukan interaksi sosial dengan teman sebaya atau pun dengan orang dewasa yang ada di lingkungan sekitarnya. Dan itu mereka lakukan spontanitas dan refleks pada saat bermain. Secara tidak sadar, pada kenyataannya mereka sedang memposisikan bermain sebagai jembatan untuk mentransmisikan bahasa dan inventarisasi kosa kata di antara satu sama lain. Sehingga tidak heran jika kemudian anak banyak menirukan bahasa dan tutur kata yang kerapkali didengarnya. 

Atas dasar demikian, kecerdasan anak dalam berkomunikasi juga banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, lingkungan dan teman sepermainannya. Baik buruk perkataan yang diucapkan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Cepat lambatnya mampu berkomunikasi sang anak juga banyak dipengaruhi faktor lingkungan yang membentuk dan mendorongnya.

Terakhir, yang kelima, mengasah keterampilan berpikir (aspek kognitif). Tingkat kerumitan; tantangan dalam permainan yang digunakan dalam proses pembelajaran juga sangat memengaruhi perkembangan keterampilan berpikir sang anak (aspek kognitif). Selama bermain, sejatinya anak sedang melakukan copy paste banyak informasi tentang bentuk, warna, ukuran, rasa, kuantitas dan kualitas semua hal yang ada di sekitarnya. Atas dasar demikian, maka tidak heran jika seorang anak lebih suka mengeksplorasi berbagai hal yang ada di hadapannya. Hal itu dikarenakan, selama bermain, sanak memiliki kemampuan untuk menerima, menghimpun, dan mengolah data yang didapatkan dari pengalaman langsung ataupun tidak langsung. 

Kolektivitas data berdasarkan pengalaman pribadi secara langsung ataupun tidak langsung tersebut selanjutnya sangat baik untuk menunjang daya imajinasi mereka dalam memproyeksikan gambar, suatu benda ataupun kata-kata. Sehingga tidak menutup kemungkinan, semakin banyak anak dikenalkan dengan sesuatu hal yang baru (asing bagi dirinya) maka akan sangat kaya pula daya kreativitas, inovasi dan imajinasi sang anak. Termasuk tatkala menggunakan educational toys dalam proses pembelajaran mengaji, sangat efektif untuk membangun kolektivitas data tentang mainan dan menunjang aspek kognitif sang anak terkait materi pelajaran yang diajarkan.

Efektivitas penggunaan educational toys dalam menunjang proses pembelajaran mengaji tersebut pada akhirnya mendudukkan educational toys sebagai media pembelajaran. Artinya proses pembelajaran mengaji lebih mudah dipahami tatkala dilangsungkan menggunakan mainan edukasi. Akan tetapi hal itu hanya digunakan manakala sang santri susah dibujuk untuk mau mengaji saja. Educational toys tersebut hanya digunakan manakala mood santri sedang tidak bersahabat; tidak stabil dan kambuhan. Tidak selamanya kelangsungan proses pembelajaran mengaji bergantung pada kehadiran dan penggunaan educational toys semata. Sebab pada dasarnya, tercerapnya pengetahuan mampu dijembatani dengan media apa pun. Asalkan Tuhan telah menyingkapkan sifat Ilmu-Nya untuk hamba-hamba-Nya.

Catatan penting dalam ulasan kali ini adalah, tentang bagaimana merancang kondusivitas proses pembelajaran mengaji berlangsung secara efektif, efesien dan mampu mencapai keberhasilan. Perbedaan mencolok di antara para santri pada dasarnya bukan hambatan yang harus diabaikan, melainkan tantangan yang harus dipecahkan dan di hadapi dengan penuh semangat serta menyikapinya dengan kelapangan hati yang ringan. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan. Mencari ilmu tidak memandang perbedaan fisik, agama, ras dan suku bangsa.

Sebab bagaimana pun pendidikan itu tidak mengenal perbedaan, yang jelas-jelas membedakan hanya soal kesempatan, upaya kita mencapainya, bagaimana cara menempuhnya dan cara pandang kita sejak awal. Apakah kita melulu memposisikannya sebagai bagian yang sukar dan mustahil untuk dicapai atau mungkin sebaliknya. Tidak ada yang tidak mungkin, selama niat untuk satu kebaikan telah dipancangkan maka jalan untuk menemui takdir Tuhan selalu dimudahkan. Man Jadda wa Jadda. Tidak ada kesukaran manakala seorang hamba berjalan di bawah Kun Fayakun-Nya. 


Tulungagung, 19 Juli 2022



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal