Langsung ke konten utama

Modul Mengaji Santri Tunagrahita

Tampaknya harus ditegaskan sejak awal, bahwa tulisan ini dibuat dengan maksud hendak meneruskan pembahasan tentang empat eksemplar buku yang diberikan oleh Pak Sinung ke TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Jika tulisan sebelumnya yang berjudul Buah Pena Asatidz Relawan fokus mendedahkan mengenai dua buah antologi karya asatidz relawan yang mengabdikan diri di TPQLB maka pada sesi kali ini saya akan mengulas tentang dua eksemplar buku modul mengaji khusus untuk santri tunagrahita.

Supaya tidak blunder selama penjabaran, secara mendasar, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu dua istilah penting yang kemungkinan besar akan terus disebut berulangkali dalam pembahasan ini. Dua istilah tersebut yakni modul dan tunagrahita. Kamus ilmiah populer mengartikan modul sebagai kegiatan program belajar-mengajar dengan memberikan tugas-tugas melalui aturan yang dipakai (aturan yang dipakai sudah mencakup acuan/petunjuk, tujuan serta materi pelajaran dan evaluasi; bahan dasar; buku acuan; buku pintar (Pius A. Partanto, 2001: 483). 

Sementara kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan modul sebagai standar atau satuan pengukuran; satuan standar kompleks yang digunakan secara bersama; satuan bebas sebagai bagian dari struktur keseluruhan; komponen bagian dari sistem yang berdiri sendiri, akan tetapi menunjang program yang dibuat sistem tersebut; unit kecil dari satu pelajaran yang beroperasi secara mandiri; kegiatan program yang dapat dipelajari oleh peserta didik dengan bantuan minimum dari sosok guru pembimbing, yang di dalamnya mencakup rencana tujuan yang harus dicapai, rencana penyelenggaraan pembelajaran yang siginifikansi, penyediaan materi, alat/media pendukung dan alat penilaian untuk mengukur tingkat keberhasilan peserta didik dalam menyelesaikan proses pelajaran.

Dari sekian banyak pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa modul adalah buku acuan yang memuat aturan yang dipakai meliputi perencanaan dan petunjuk teknis penyelenggaraan, tujuan dan materi pelajaran, serta menyediakan alat ukur penilaian tingkat keberhasilan proses pembelajaran. Modul dibuat dalam rangka mengarahkan produktifitas proses pembelajaran yang efektif dan efisien sehingga mampu meningkatkan potensi diri, kualitas dan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing sumber daya manusia yang ada pada lembaga. Dalam konteks ini, peserta didik (para santri) sebagai objek sasaran utama.

Selanjutnya istilah tunagrahita. Istilah dasarnya adalah gabungan dari kata tuna dan grahita. Tuna dalam KKBI diartikan dengan luka; rusak; kurang; tidak memiliki. Sedang grahita bermakna memahami; mengerti. Dengan demikian, tunagrahita berarti cacat pikir; lemah daya tangkap; idiot. Laman resmi hellosehat.com (02/12/2021) memperhalus pengertian tersebut dengan menyebut tunagrahita dengan istilah disabilitas intelektual. Artinya suatu kondisi di mana seorang anak memiliki kemampuan intelektual dan kognitif di bawah rata-rata pada umumnya. 

Istilah disabilitas intelektual dan pengertian tersebut merujuk pada fakta yang dapat ditemukan di dalam diri seorang anak yang bersangkutan. Umumnya anak penyandang tunagrahita dapat dikenali dari kesulitan (keterbatasan; keterlambatan) dalam proses berpikir dan belajar jika dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Tidak cukup sampai di sana, anak tunagrahita juga kesulitan untuk mempraktekkan berbagai keterampilan yang biasanya digunakan dalam menjalani rutinitas sehari-hari secara normal. Misalnya susah berkomunikasi hingga memecahkan suatu masalah (alodokter.com, 16/03/2022). Secara garis besar, anak tunagrahita memiliki hambatan dua fungsi utama dalam dirinya: fungsi intelektual dan fungsi kognitif-adaptif. 

Moh. Amin (1995: 22-24) mengklasifikasikan anak penyandang tunagrahita secara universal dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni ringan, sedang dan berat-sangat berat. Tunagrahita ringan umumnya memiliki kecerdasan IQ kisaran 50-70 sehingga sangat dimungkinkan memiliki kemampuan untuk berkembang dalam beberapa hal: Bidang akademik, mampu mengadaptasikan diri pada lingkungan sosial dalam bermasyarakat, mandiri dalam bermasyarakat, dan memiliki kemampuan untuk bekerja utamanya jenis pekerjaan yang semi terampil dan tergolong sederhana. Tunagrahita ringan tergolong sebagai disabilitas intelektual yang mampu dididik.

Lain lagi dengan tunagrahita sedang. Penyandang tunagrahita sedang umumnya memiliki kecerdasan IQ kisaran 30-50. Dengan kecerdasan IQ tersebut penyandang tunagrahita memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa hal, di antaranya: mampu belajar keterampilan sekolah yang bersifat fungsional, mampu mengurus diri sendiri (self-service), adaptasi terhadap lingkungan sosial sekitar di dekatnya, dan melakukan pekerjaan rutin di bawah pengawasan orang dewasa. Penyandang tunagrahita sedang umumnya dapat dilatih dengan baik.

Sedangkan tunagrahita berat-sangat berat secara umum mempunyai tingkat kecerdasan IQ di bawah 30. Mereka tidak dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri. Akan tetapi masih ada pula mereka yang memungkinkan mampu dilatih untuk mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar meskipun sangatlah terbatas. 

Mumpuniati (2007: 11) mengklasifikasikan anak tunagrahita berdasarkan klinis/bentuk fisiknya menjadi empat jenis: down syndrome (mongolisme) disebabkan kerusakan kromosom, krettin (cebol) disebabkan gangguan hiporoid, hydrocephal disebabkan cairan otak berlebihan, dan micdocephal disebabkan kekurangan gizi, faktor radiasi, penyakit pada tengkorak dan brohicephal (kepala besar). 

Masing-masing kategori tunagrahita tersebut pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri dan terbedakan. Baik ditinjau dari aspek fisik, psikis atau pun sosial. Lebih lanjut mari kita bedah karakteristik masing-masing kategori tunagrahita tersebut. Pertama, karakteristik tunagrahita ringan. Menurut Mumpuniati (2007:41-42) penyandang tunagrahita ringan memiliki karakteristik fisik tampak seperti anak normal, meski pada kenyataannya mereka mengalami kelemahan kemampuan sensor motorik. Dari segi psikis mereka sukar untuk berpikir abstrak dan logis, tidak ada kemauan menganalisa, asosiasi lemah, tingkat fantasi lemah, tidak mampu mengontrol perasaan, mudah dipengaruhi kepribadian, dan tidak mampu menilai baik-buruk. Sedangkan dari segi sosial: mampu bergaul, beradaptasi dengan lingkungan sekitar dalam skala luas, mandiri dalam bermasyarakat, mampu melakukan pekerjaan sederhana sesuai dengan jenjang usia dan mampu dididik dalam bidang akademik.

Kedua, karakteristik tunagrahita sedang. Dari segi fisik, umumnya anak penyandang tunagrahita sedang menampakkan ketidaknormalannya dengan jelas. Down syndrome, brain damage, koordinasi sensor motorik yang lemah, dan raut wajah yang tampil tanpa ekspresif sebagai contohnya. Secara psikis, tatkala menginjak usia dewasa kecerdasan IQ setaraf dengan anak usia 7-8 tahun. Sementara dari aspek sosial, mereka tidak mampu bergaul dengan baik, tidak mengenal kode etis, tidak memiliki rasa terima kasih, keadilan dan belas kasih terhadap sesama yang ada di lingkungan sekitar.

Kendati demikian, karakteristik tunagrahita berat-sangat berat dapat dikatakan sebagai kategori disabilitas yang lebih parah dari jenis tunagrahita ringan dan sedang. Sebab karakteristik tunagrahita berat-sangat berat ketidaknormalannya sangat menonjol secara fisik. Perkembangan psikisnya tatkala dewasa di bawah usia anak 7 tahun. Tergolong anti sosial (tidak mampu bergaul) dan tidak peka (abai) terhadap lingkungan sekitar. 

Tunagrahita pada dasarnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Suranto dan Soedarini (2002: 2-5) terdapat lima faktor penyebab tunagrahita pada anak. Kelima faktor penyebab tunagrahita tersebut ialah: Satu, faktor genetik (kerusakan/kelainan bio kimiawi dan abnormal kromosomal). Dua sebab-sebab pada masa pre-natal meliputi infeksi rehella/cacar dan faktor rhesus. Tiga penyebab natal meliputi luka pada saat kelahiran, sesak nafas dan prematuritas. Empat, penyebab pos natal mencakup infeksi, enceoholitis dan mol nutrisi/kekurangan nutrisi. Sedangkan yang terakhir, lima, disebabkan faktor sosial kultural. 

Lantas bagaimana cara menangani anak tunagrahita? Terdapat empat tips untuk menangani anak penyandang tunagrahita. Pertama, bekali diri dengan pengetahuan yang mumpuni tentang disabilitas intelektual (tunagrahita). Kedua, orangtua atau pun perawat anak tunagrahita alangkah baik membangun ruang komunikasi secara intensif dengan sesama orangtua (perawat) yang memiliki anak tunagrahita. Baik itu dalam rangka konsultasi atau pun sharing mengenai rutinitas sehari-hari sang anak. Ketiga, terus memupuk rasa sabar dalam membimbing anak dalam belajar. Keempat, ajari anak mengenal tanggung jawab dan kemandirian. Utamanya mengenai aktivitas keseharian dan mengurus diri sendiri. 

Adapun beberapa hal yang harus (bersifat wajib) diajarkan kepada anak penyandang tunagrahita berhubungan dengan kelangsungan hidup mereka adalah: Merawat diri sendiri, misalnya cara makan, menjaga kebersihan dan kesehatan diri, berpakaian, pergi ke kamar mandi dan lain sebagainya. Berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Contohnya cara melakukan percakapan, cara bertanya, cara menyampaikan keinginan, menggunakan alat komunikasi (smartphone) dalam keadaan darurat dan lain sebagainya. Pergi ke sekolah dan bekerja sesuai dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Belajar mengenal ragam, nilai dan cara transaksi menggunakan uang sesuai kebutuhan. Serta diajarkan cara melindungi diri tatkala sedang sendiri di rumah atau di lingkungan sekitar. 

Kompleksitas pengetahuan tentang tunagrahita (disabilitas intelektual) tersebut pada dasarnya dapat menjadi acuan sekaligus bahan pertimbangan untuk menyusun rencana pembuatan modul pembelajaran mengaji khusus untuk santri tunagrahita. Karakteristik fisik, psikis dan sosial yang terdapat di dalam diri anak tunagrahita setidaknya dapat menjadi tolok ukur mengenai potensi apa saja yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam diri setiap santri penyandang tunagrahita. Sebab melalui kemungkinan besar potensi yang dapat diasah lebih lanjut itu pula proses pembelajaran mengaji berusaha dilakukan. Hemat saya, hal itu pula yang kemudian menjadi pertimbangan dewan asatidz Yayasan Spirit Dakwah Indonesia cabang Yogyakarta dalam penulisan dan penyusunan modul yang diberi nama Abata.

Ya, modul mengaji khusus untuk santri tunagrahita itu diberi nama Abata. Secara fisik, modul Abata pegangan santri memiliki tebal 140 halaman (sudah termasuk sampul) dengan panjang 21 cm dan lebar 14 cm. Modul ini digarap secara keroyokan oleh empat orang, yakni Ferra Puspito Sari, Mochammad Sinung Restendy, Arya Fendha Ibnu Shina dan Seiren Ikhtiara. Desain sampul dikerjakan oleh Muhammad Kholif dan dieditori oleh tiga orang: Ferra Puspito Sari, Abdullah dan Mochammad Sinung Restendy. Modul Abata ini dicetak pihak Litbang dan diterbitkan oleh penerbit Literasi Bangsa. Bertitimangsa 20 Juli 2021, untuk pertama kali modul Abata dicetak di Yogyakarta. Terbitnya modul Abata ini tidak lain adalah buah dari kerjasama antara Yayasan Spirit Dakwah Indonesia cabang Yogyakarta, Kementerian Agama RI, PW NU Care-Lazisnu D. I. Yogyakarta dan penerbit Literasi Bangsa. 

Dua eksemplar modul Abata tersebut disusun khusus untuk mempelajari huruf Hijaiyah. Satu eksemplar modul Abata dikhususkan sebagai acuan mengajar asatidz dan satu eksemplar modul Abata lain ditujukan untuk pegangan belajar santri. Kedua modul tersebut dibedakan berdasarkan desain sampul, ketebalan dan konten serta beberapa variasi lain yang menonjol. Sebutkan saja untuk modul pegangan asatidz memiliki desain sampul yang lebih simpel, gradasi warna antara kopi susu transparan, hijau tosca, putih dan corak hitam. Tepat di bagian tengah sampul itu bergambarkan Al-Qur'an lengkap dengan mejanya dan di atas gambar tersebut terdapat tulisan Modul TPQLB. Sedang di bagian bawahnya bertuliskan yayasan Spirit Dakwah Indonesia cabang Yogyakarta dilengkapi dengan logo sponsor. 

Modul pegangan asatidz tersebut memiliki ketebalan sebanyak 88 halaman (sudah termasuk sampul bagian depan dan belakang). Uniknya setiap lembar halaman berbingkai motif setengah segitiga yang menyerupai kubah masjid. Sedang bingkai pada setiap halaman tersebut bergradasi perpaduan antara warna kuning, abu dan pinggiran biru. Tidak ada variasi lain yang menonjol. Yang jelas membedakan adalah layout dan sisipan konten. Setelah lembar daftar isi terdapat lembar petunjuk umum. Lembar petunjuk umum tersebut memuat ringkasan, tujuan, strategi dan ulasan materi yang diajarkan. Ditambah lagi dengan petunjuk teknis pembelajaran yang tersisipkan pada lembar bagian belakang sub topik. 

Modul penggangan asatidz tersebut memuat 7 sub topik, yang masing-masing sub topik tersebut mempelajari empat huruf Hijaiyah. Terkecuali sub topik ketujuh yang mempelajari lima huruf Hijaiyah secara langsung. Adapun isi dari petunjuk teknis pembelajaran pada setiap sub topik tersebut ialah: satu, menerangkan sub topik keberapa yang dipelajari. Dua, menerangkan strategi yang digunakan adalah model tentoring mencakup tiga hal: membaca huruf Hijaiyah, menulis atau menebali bentuk huruf Hijaiyah dan mewarnai gambar huruf Hijaiyah. Tiga, menegaskan materi berisi pengenalan huruf Hijaiyah. Isian materi disesuaikan dengan empat huruf Hijaiyah yang dipelajari. Empat, menerangkan runtutan bagaimana proses asatidz harus mengajari (mentoring).

Pertama, proses mentoring pengenalan huruf Hijaiyah itu dimulai dengan asatidz mencontohkan bagaimana cara pelafalan huruf Hijaiyah yang dipelajari, kemudian meminta santri untuk menirukan pelafalannya. Selanjutnya, kedua, setiap satu huruf Hijaiyah ditulis dengan tiga jenis tulisan, yakni cetak tebal, cetak garis putus-putus dan cetak tipis. Ketiga jenis tulisan tersebut memiliki fokus ajaran dan instruksi masing-masing. Huruf Hijaiyah yang dicetak tebal dikhususkan untuk dilafalkan oleh santri. Metodenya sederhana, asatidz meminta santri untuk melafalkan huruf yang dipelajari. Lain lagi dengan huruf Hijaiyah yang dicetak dengan garis putus-putus. Asatidz meminta santri untuk menulis atau menebali huruf Hijaiyah tersebut. Sementara untuk huruf Hijaiyah yang dicetak tipis, asatidz meminta santri untuk mewarnai huruf tersebut. 

Ketiga, pengenalan atas setiap huruf Hijaiyah dilakukan secara berulang-ulang sampai santri benar-benar mengenali bentuk huruf, hafal dan fasih dalam pelafalannya. Sehingga dalam mempelajari satu huruf Hijaiyah, santri harus membaca huruf tersebut yang termuat dalam beberapa lembar halaman. Dengan catatan, setiap halaman santri diminta untuk melafalkan, menulis/menebali dan mewarnai huruf Hijaiyah yang dipelajari. 

Adapun pada tahapan evaluasi, santri diminta untuk membaca susunan dua huruf Hijaiyah yang mendekati bunyi kata benda sekaligus dilengkapi dengan ilustrasi gambar benda yang terletak tepat di atasnya. Ilustrasi gambar benda tersebut ditujukan untuk memudahkan santri dalam mengingat huruf yang dipelajari. Dalam hal ini asatidz bertugas membimbing dan berusaha mengoreksi setiap pelafalan huruf yang dibacakan santri. Di samping itu, setiap mempelajari satu lembar materi juga disediakan kolom evaluasi yang terletak tepat di bagian atas dari halaman. Kolom tersebut memuat tanggal, paraf dan nilai. Semua petunjuk teknis pembelajaran itu ada di setiap sub topik tanpa terkecuali. 

Berbeda sedikit dengan buku modul penggangan santri. Secara fisik, modul santri memiliki ketebalan dua kali lipat dari modul penggangan asatidz. Sampul modul Abata pegangan santri didesain tampak lebih hidup, menarik dan elegan. Hal yang demikian dapat dilihat dari gradasi warna antara hijau pekat, hijau tosca, krem, putih dan hitam. Ditambah dengan sisipan background bunga yang di atasnya terdapat gambar Al-Qur'an terbuka plus dengan mejanya yang dilingkari sembilan bintang. Tepat di tengah-tengah background atau di bawah gambar Al-Qur'an tersebut bertuliskan ABATA Belajar Huruf Hijaiyah. Tak lupa disisipkan pula kolom nama santri yang diapit oleh gambar santri dan santriwati yang mengenakan baju putih. Sedang pada bagian bawah sampul bertuliskan Yayasan Spirit Dakwah Indonesia Cabang Yogyakarta yang diikuti dengan logo sponsor lembaga. 

Begitu juga dengan halaman kedua. Pada bagian atas terdapat logo lembaga, setelahnya diikuti dengan tulisan ABATA Belajar Huruf Hijaiyah. Tepat di bagian tengah lembaran itu terdapat dua gambar dengan resolusi yang cukup rendah, sehingga tampak jelas pecah-pecah. Satu gambar santri dengan seragam necisnya: baju muslim hijau, sarung kotak-kotak hijau-hitam dan dilengkapi dengan peci hitam. Adapun yang kedua, gambar santriwati yang mengenakan pakaian muslim hijau dan kerudung hijau. Kedua gambar tersebut berdiri tegak di atas kolom nama santri.  

Selebihnya, modul Abata pegangan santri tersebut berisikan lembaran materi. Materi yang sama dengan modul Abata pegangan asatidz. Perbedaan mencolok di antara keduanya hanya masalah jumlah halaman pengulangan materi. Jika pada modul Abata pegangan asatidz setiap huruf Hijaiyah yang dipelajari hanya dimuat dalam satu lembar, maka dalam modul Abata pegangan santri setiap huruf Hijaiyah yang dipelajari dimuat dalam empat halaman utuh. Itu berarti jika dalam satu sub topik mempelajari empat huruf Hijaiyah, maka jumlah halaman setiap sub topik adalah enam belas halaman. Belum lagi ditambah dengan dua halaman khusus evaluasi.

Semenjak kedatangan dua modul Abata ke TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung, hingga saat ini modul tersebut belum kami gunakan. Entah apa alasannya. Yang jelas-jelas saya pahami dari hasil observasi setiap sesi pembelajaran mengaji, kami (dewan asatidz) masih berusaha mengindentifikasi santri dan mengoordinasikan pembenahan pembelajaran mengaji khusus untuk tunagrahita kepada masing-masing wali santri. Sudah barang tentu, upaya pembenahan pembelajaran mengaji sesuai disabilitas ini akan lebih baik lagi jika dilakukan dengan saksama dan dalam waktu dekat ini. Semoga agenda ini segera terealisasi. Amin.

Pertanyaan mendasarnya, sebelum kedatangan modul Abata ke TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung lantas selama ini kami menggunakan modul, metode dan media apa tatkala mengajari santri penyandang tunagrahita? Jujur saja, selama ini kami berusaha mengajar mengaji santri tunagrahita dengan menggunakan jilid An-Nahdliyah. Itu pun dilakukan jika sang anak mau dan mampu dibujuk. Selebihnya, jika santri tidak bisa diajak berkompromi untuk mengaji menggunakan jilid, maka kami berusaha belajar dengan mengandalkan media permainan. Misalnya saja menggunakan bola-bola kecil, puzzle huruf Hijaiyah, balok-balok kayu kecil yang dibentuk sedemikian rupa, dan lain sebagainya. 

Kami biasanya menggunakan perbedaan warna, bentuk dan ukuran serta jumlah sebagai acuan mengajar. Jadi caranya, sembari santri bermain dengan media permainan yang ia pilih sendiri nantinya kami berusaha menyisipkan materi pelajaran. Misalnya saja kita bermain menggunakan bola-bola kecil. Maka kita bisa menggunakan perbedaan warna sebagai media penyisipan materi pembelajarannya. Warna merah disebut Alif. Biru disebut Ba. Hijau dianalogikan dengan huruf Ta. Kuning diilustrasikan sebagai huruf Tsa, dan begitu seterusnya. 

Penyisipan itu dilakukan secara berulang-ulang dan berkala. Selang beberapa saat, tak lupa santri diminta untuk menirukan suara huruf untuk memastikan sang santri telah hafal dengan nama-nama huruf yang telah dicontohkan sebelumnya. Jika memungkinan, kami berusaha membujuk mereka untuk mengkonfirmasi sekaligus mengaplikasikan pengetahuan tersebut sesuai huruf Hijaiyah yang sudah tercantum pada jilid. Sehingga melalui konfirmasi dan pengaplikasian itu setidaknya dapat mencapai titik sinkronisasi antara pelafalan suara huruf dengan bentuk huruf Hijaiyah yang dipelajari. Tentu saja, upaya pembelajaran mengaji itu semakin lancar manakala santri memberikan respon yang positif. 


Tulungagung, 16 Juli 2022



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal