Langsung ke konten utama

Refleksi Rutinitas

Rutinitas sehari-hari saya jalani seperti biasanya. Jika pada hari senin sampai hari kamis perkuliahan saya masuk jam kedua, tepatnya yakni pada pukul 08: 40. Maka khusus pada hari jum’at perkuliahan mulai masuk pada jam ke empat, tepatnya pada pukul 13: 00. Akan tetapi pada hari jum’at kemarin ada sedikit yang berbeda dari yang biasanya. Perbedaan tersebut, yakni saya harus bisa berangkat ke kampus pada pagi hari, tepatnya pada pukul depalan tepat. Hal tersebut disebabkan karena saya ditunjuk oleh ketua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) untuk mewakili seluruh mahasiswa FA (Filsafat Agama) dalam menghadiri acara Workshop Peninjauan Kurikulum. Saya pun dengan bersegera berusaha menepati waktu tersebut. Semua aktivitas yang biasa saya jalani pada pagi hari jum’at pun berusaha saya tunda terlebih dahulu.
Akan tetapi sayang ternyata saya memang tidak bisa tepat waktu. Ya... elah ini adalah problem pribadi yang mesti saya atasi sendiri. Sekitar pukul delapan lebih sepuluh, saya bergegas berangkat menuju kampus. Dengan mengatur langkah kaki yang berpola dan sedikit agak cepat saya tidak sempat menengok kiri-kanan (daerah sekitar kampus), mata saya hanya terfokus ke depan melihat situasi  dan arah jalan.
Setelah sampai di kampus ternyata teman saya yang menjadi partner untuk menghadiri acara workshop tersebut belum hadir disekitar kampus. Dengan diliputi rasa khawatir saya pun segera mengkonfirmasi teman saya melalui message. Beberapa detik kemudian teman saya membalas message tersebut dan menginformasikan bahwa ia masih dalam perjalanan (On the Way).
Akhirnya saya yang terburu-buru berangkat pun harus terlebih dahulu harus menuggu teman sekaligus partner saya tersebut. Sembari duduk menunggu digazebo ternyata saya melihat salah seorang kakak angkatan (sebutan untuk saudara mahasiswa Bidikmisi beda angkatan) saya yang sedang asyik duduk  didekat kantin bersama teman-temannya. Saya pun sempat berpikir, daripada saya duduk sendiri digazebo lebih baik saya memutuskan untuk menghampirinya. Tidak lama kemudian sayapun mengayunkan langkah kaki menuju tempat salah seorang kakak angkatan saya tersebut. Salah seorang kakak angkatan tersebut sebut saja Hadi (sapaan akrab). Kakak Hadi ini merupakan mahasiswa bidikmisi yang berkontrasi dalam jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam). Beliau sekarang masih menduduki semester enam, yang kemungkinan besar pada semester depan akan melaksanakan KKN.
Beberapa menit pun berlalu, habis seiringan dengan perbincangkan kami yang mengalir tanpa arah tujuan. Meskipun pembicaran tidak fokus pada suatu pembahasan, tapi kami sangat menikmati perbincangan tersebut.
Setelah beberapa menit menunggu akhirnya sang partner (teman saya) pun tiba dikampus bersama salah seorang teman yang lain. Saya maklukmi keterlambatannya mengingat tempat tinggalnya jauh dari kampus dan setiap hari ia harus PP (pulang pergi).
Secara tidak sengaja ternyata partner saya pun menghampiri bapak kajur yang sempat ingin menuju tempat yang akan diselenggarakan workshop tersebut. Entah apa yang partner saya tanyakan yang pasti berkaitan dengan acara yang sbebentar lagi akan dilaksanakan.
Saya pun menghampiri partner saya, dan sempat berbicang beberapa menit hingga memutuskan untuk menuju tempat diselengarakan acara workshop tersebut. Dengan menikmati hentakan kaki saya pun menuju gedung rektorat lantai tiga.     
      Sesampainya di sana ternyata acara sudah dimulai, tepatnya pada saat itu sedang berlangsung sambutan dari Bapak Dekan (yang sering disapa Abah FUAD). Saya dan partner saya pun dengan spontan adaptasi mengikuti acara yang sedang berlangsung. Acara pun berjalan seperti biasanya, dimulai dengan pembukaan dan diakhiri dengan do’a. Setelah acara pembukaan selesai peninjauan terhadap kurikulum pun dimulai. Alur jalannya acara inti tersebut dimoderatori oleh salah seorang dosen yang kemungkinan besar sebagaimana telah dirancang dan dipersiapkan. Peninjauan pertama, yakni membahas kurikulum jurusan Filsafat Agama. Dalam peninjauan ini ada beberapa kaetgori yang dirubah. Mulai dari mata kuliah yang dirubah ataupun ditambah hingga pada pengembangan mata kuliah pilihan jurusan yang dianggap dapat melengkapi soft skill mahasiswa jurusan filsafat agama.
Pembahasan pada season pertama ternyata hanya membahas kurikurilum untuk dua jurusan, yakni jurusan Filsafat Agama dan jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Tidak terasa waktu pun menunjukan sekitar pukul sebelah lebih, dan pada akhirnya season pertama workshop peninjauan kurikulum pun diakhiri. Sebelum kami (saya dan partner saya) keluar ruangan, salah seorang dosen sempat mengatakan bahwa nanti untuk season kedua akan membahas kurikulum untuk jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Bimbingan Konselling Islam. Pada intinya beliau hanya menyarankan apabila tidak ada jam kuliah setelah jum’atan silahkan boleh ikut kembali, tapi apabila tidak ikut kembali juga tidak apa-apa. Kami pun keluar ruangan sembari mengahampiri nasi kotak yang telah dipersiapkan. Kami pun turun menyusuri anak tangga dan bermaksud untuk mencari tempat kosong untuk makan. Akhirnya kami memutuskan untuk menuju sebuah gazebo yang ada tepat dihalaman fakultas kami sendiri.
Sesampainya digazebo ternyata ada sepasang insan yang sedang asyik bercengkrama. Entah apa yang sedang mereka bicarakan yang pasti terkait dengan urusan mereka berdua.
Tidak lama kemudian sepasang insan tersebut memutuskan untuk pergi, dan kami berdua pun siap untuk menikmati nasi kotak. Tapi beberapa saat kemudian setelah kami selesai makan. Oalah ada teman kami, sayang dia terlambat hingga dia tidak bisa ikut bergabung makan bersama kami.
Suara bedug yang dipukul secara berpola menandakan waktu shalat jum’at sebetar lagi akan tiba. Saya pun berangkat menuju mesjid kampus sebelum mesjid dipadati oleh orang-orang. Sesampainya dimesjid pertama saya menaruh tas dan kemudian mengambil wudhu. Bertepatan ketika saya sedang berwudhu adzanpun mulai dikumandangkan. Beberapa saat setelah adzan selesai kemudian saya menuju barisan (shaff) dan mulai mengerjakan shalat sunnah. Sekitar setengah jam pun berlalu, seiringan dengan khidmahnya ibadah shalat jum’at.
Akhirnya saya kembali menuju gazebo tadi yang sudah mulai dipadati oleh teman sekelas saya. Satu-persatu teman saya pun mulai berdatangan sebagai pertanda siap untuk mengikuti perkuliahan disiang itu. Dengan spontan tiba-tiba saya teringat bahwa pada hari itu saya sudah berniat untuk memperpanjang waktu peminjaman buku ke perpustakaan dan berniat untuk mengikuti pelatihan kaligrafi yang dibimbing oleh teman saya, yakni saudara Mahbub Kholili. Saya pun langsung bergegas menuju keperpustakaan terlebih dahulu. Tapi tidak lama kemudian saya pun kembali menuju gazebo yang awal tadi. Secara kebetulan saudara Mahbub Kholili pun sempat menghampiri gazebo, tapi saya membisikan kepadanya supaya saya diajari yang sama seperti khalayaknya teman-teman tadi yang mengikuti pelatihan (karena waktu normalnya pelatihan tersebut sudah dimulai dari jam delapan pagi kurang lebih sampai jam sepuluh). Akhirnya saya dan saudara Mahbub Kholili pun memutuskan untuk mencari dan menpati ruangan yang kosong. Kami pun mendapat ruangan yang kosong dan secara langsung pelatihan pertama belajar kaligrafi pun dimulai. Akan tetapi pada pelatihan pertama ini hanya belajar meraut pena yang terbuat dari pohon handam (sebutan pohon dalam bahasa sunda). Saya pun mulai dibimbing oleh saudara Mahbub bagaimana membuat pena dengan baik. Akan tetapi sayang bekas tragedi yang terdapat pada tangan kiri saya sempat menulitkan proses belajar meraut pena tersbut. Pasalnya dalam proses meraut pena itu tidaklah sembarangan tapi ada teknik khusus yang benar-benar memang harus dikuasai.
Akhirnya beberapa menitpun saya habiskan untuk belajar meraut pena sebagai awal dari pelatihan kaligrafi. Setelah itu saya dan saudara Mahbub kholili pun kembali menuju gazebo. Sembari menunggu masuk kuliah kami dan teman sekelaspun  berbincang-bincang digazebo. Tapi sayang setelah kami lama menunggu digazebo, ternyata ada salah seorang dari teman kami yang kebetulan pada hari itu mendapat bagian untuk presentasi mempunyai rencana untuk berusaha menggagalkan masuknya perkuliahan, yakni dengan menjegat langkah dosen tersebut dan memberi kabar bahwa pada itu ada sebuah pelatihan sehingga kami pun tidak jadi masuk kuliah seperti biasanya.

                       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal