Dinginya pagi yang menghujam pada jiwa. Telah membangkitkan semangat
baru yang sempat luluh dengan kelelahan rutinitas kehiduapan. Tubuh yang fresh
karena menghirup udara segar. Muka yang fresh karena sentuhan air yang telah membasahi
seluruh bagian tubuh.
Semangat pagi yang menstimulus akal piikiran, telah tersalurkan
dalam ide yang berusaha dituangkan dalam bentuk tulisan. Kedua tangan pun tidak
dapat menolak aksi respon yang telah diberikan (diinstruksikan). Kedua tangan
pun mulai bekerja dengan membuka Laptop, menekan tombol power dan membuka
Microsoft Word. Kedua tangan ini pun tidak berdaya saat diperintahkan oleh akal
pikiran untuk membuka Dokumen baru. Entah apa yang akan dituliskan, belum jelas
arah fokus pembahasan.
Akhirnya inspirasipun mulai berdatangan, menghampiri akal pikiran.
Mulai dari situasi pagi yang hening, karena belum ada aktivitas yang
dikerjakan. Udara pagi yang dinginnya luar biasa menyusup kedalam tubuh yang masih
rebah. Hingga bayang-bayang tentang aktivitas yang telah dikerjakan di hari
kemarin.
Ya... karena hari ini merupakan hari weekend, jadi rasa-rasanya saya juga harus menyesuaikan
dengan keadaan, tidak harus melulu mempersoalkan tentang rutinitas perkuliahan.
Eettt dah... bang, bang. Tenan yooo. Jadi
kemungkinan besar dalam tulisan ini akan berusaha mempersoalkan bagaimana
realita sosial zaman sekarang.
Sebuah bayangan tentang pengalaman saya pada hari kemarin (tepatnya
hari Sabtu) telah menghampiri akal pikiran, dan memberikan instruksi pada kedua
tangan untuk menuangkannya ke dalam tulisan.
Ketika saya sedang menjalankan rutinitas pagi. Tiba-tiba salah
seorang teman saya mengajak untuk membeli nasi. Secara serentak saya pun
langsung merespon dan mempersiapkan diri. Suara motor yang menyala menjadi
sebuah pertanda untuk siap bergegas berangkat menuju warung nasi tujuan. Saya
pun terdiam tidak banyak bertanya, karena saya bukanlah sopir dari rencana
tersebut.
Arah tujuan pun mulai terdeskripsikan ketika teman saya membelokan
kendaraan kearah kanan setelah keluar dari gang. Jalannya motor yang tidak
begitu kencang (secara pelan), seakan-akan menjadi kenikmatan tersendiri bagi
orang yang mengendarainya. Entah itu bagi orang yang menjadi sopir ataupun
orang yang menjadi penumpang dari kendaraan motor tersebut.
Tidak lama berselang kami pun tiba ditempat tujuan. Ketika kami mengarahkan
muka dan memandang fokus pada warung nasi tersebut, ternyata sudah dikerumuni oleh
para ibu. Sehingga mengharuskan kami untuk sabar menunngu. Sembari menunggu,
teman saya pun dengan lihai memainkan gadgetnya, sedangkan saya malah
terpancing untuk memainkan akal pikiran. Saya pun mulai merasa heran dengan apa
yang sedang terjadi. Tapi akal pikiran saya tidak sempat sanksi dengan apa yang
sedang terjadi. Entah ini hanya sebuah refleksi dari kebiasaan di dalam ruangan
yang dituntut untuk berpikir ataupun hanya perbuatan iseng belaka. Tapi rasanya
hal ini perlu diketahui bahwa kebiasaan atau tradisi lama mulai tergeser dan
bahkan telah berubah. Seperti khalayaknya yang diketahui bersama, biasanya pada
pagi hari kemungkinan besar aktivitas para ibu ialah sibuk memasak didapur
untuk mempersiapkan sarapan pagi. Tapi entah kenapa aktivitas tersebut mulai
berganti menjadi sebuah pilihan yang membentuk kebiasaan konsumtif. Sebuah pilihan yang mungkin
dalam perspektifnya lebih baik memutuskan untuk mengantri daripada menyumbat
api di dapur sendiri. Entah ini sebagai sebuah pertanda bahwa Barat telah
berhasil menempatkan dan menciptakan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang
konsumtif, atau memang yang demikian seharusnya terjadi.
Tidaklama kemudian pemikiran saya pun harus diakhiri. Disebabkan karena
teman saya telah berhasil membawa nasi dan lolos dari antrian para ibu. Kami
pun mulai menikmati perjalanan berkendara pulang kembali. Sesampainya dikosan,
saya dan teman saya pun mulai mecuci tangan dan menyantap nasi yang dihasilkan
dari perngorbanan diri yang harus antri, hehe.
Komentar
Posting Komentar