Langsung ke konten utama

Menyadari waktu yang tidak dapat berhenti

Ayam yang biasanya selalu berkokok ketika menjelang pagi (dini hari), kini rasa-rasanya sudah mulai jarang terdengar ditelinga ini. Mungkin karena situasi tempat yang berbeda, atau mungkin karena disebabkan pengaruh kapitalis yang begitu kuat hingga menyebabkan ayam-ayam mulai sirna dari pandangan, berimigran jauh digiring menuju penggorengan. Berubah wujud menjadi friend chiken atau kentucky.
Memang harus kita sadari bahwa semua mahkluk yang ada dimuka bumi akan mengalami perubahan (baik secara evolusi ataupun revolusi). Tidak ada satupun mahkluk yang akan tetap (langgeng) dalam wujudnya yang awal. Semuanya berubah mengikuti perkembangan tuntutan zaman.
Begitu juga dengan manusia yang awalnya polos akan berubah menjadi bringas, liar, pendamai hingga pemberi kesejukkan. Perubahan (perkembangan) pun akan selalu berkaitan dengan berputarnya waktu. Sehingga suatu saat manusia memang harus benar-benar menyadari bahwa dirinya tidak seperti sedia kala. Entah waktu yang terus berputar semakin cepat atau entah manusia yang terus berusaha mengejar waktu yang terus berjalan. Tapi rasa-rasanya manusia akan terus berusaha mengejar waktu dalam mencapai suatu tujuan. Tujuan yang dalam perspektifnya mampu memberi harapan dan tujuan hidup yang pasti di masa depan.      
Berlandaskan pada hal yang demikian,  secara serentak tiba-tiba ingatan saya langsung terarahkan pada pengalaman hidup yang kemarin telah berlangsung. Aktivitas rutin yang telah terjadwalkan menuntut saya untuk berusaha mengejar/berpacu dengan waktu. Berpacu dengan waktu yang tidak pernah berhenti walupun sekadar menghirup nafas, berkedip apalagi menyempatkan diri mampir diwarung kopi.
Mengetahui waktu untuk menjalankan rutinitas perkuliahan sudah mulai mendekati, rasa khawatir akan telatpun (molor= bahasa jawa) mulai membalut pikiran, mengharuskan saya bergerak cepat dalam mengatur pola langkah kaki. Sampai-sampai dalam perjalananpun tidak sempat memperhatikan dan menengok kondisi apa yang sedang terjadi. Pikiran saya hanya terfokus pada satu tujuan, yakni sampai tepat waktu dalam mengikuti perkuliahan. Ayunan langkah kakipun saya atur secepat mungkin, tapi tidak sampai membentuk pola langkah seperti berlari. Tekadpun saya bulatkan, berpikir positif bahwa saya dapat mengejar waktu yang tidak pernah bisa berhenti. Namun usaha saya ternyata dibalas dengan sia-sia (nihil). Sang dosen profesor pengampu mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI), ternyata tidak bisa hadir pada pertemuan dipagi hari senin itu.
Rasa bodohpun mulai menyelimuti, mempertanyakan apa yang sedang terjadi. Entah itu hanya sebuah rasa penyesalan yang menguap dalam pikiran, sehingga tersalurkan dalam bentuk rasa yang demikian. Meskipun demikian tapi saya berpikir kembali dan mulai menyadari  bahwa usaha saya ini adalah bukti yang real dari bentuk pengorbanan yang saya jalankan, demi meraih tetesan ilmu yang penuh keberkahan.          
  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal