Setelah jiwa tersadar dari kepolosan
yang sempat membalutnya. Secara perlahan akal pikiran pun mulai terfokuskan
dengan keadaan, bayangan (deskripsi kegiatan yang telah dijalani), dan tujuan
kegiatan yang akan dilakukan. Aktivitas akal pikiran yang mulai stabilpun mulai
menyalurkan energi positif. Sehingga berusaha menata, merekonstruksi niat yang
terhujam kuat di dalam hati.
Niat yang begitu kuat untuk berusaha
konsisten dengan apa yang dilakukan, secara implisit saya tamankan dalam hati.
Entah itu hanya sebuah unek-unek yang sempat menjadi beban, yang secara tidak
sadar harus saya hilangkan ataupun hanya sebuah refleksi pengalaman hidup yang memang
layak untuk dituangkan dalam tulisan.
Hari ke hari rasanya secara cepat terus
silih berganti. Entah memang karena padatnya rutinitas yang telah biasa
dijalani, ataupun karena memang diri ini berusaha memaksimalkan nikmat Tuhan
yang telah diberikan.
Bayangan kuat tentang rutinitas
hidup yang telah saya jalani, telah memberikan inspirasi hingga akal pikiran
ini mulai mendorong dan menyalurkan energi positif tersebut pada kedua tangan. Anggota
badan yang sempat teristirahatkan beriringan dengan rebahnya badan. Secara
spontan memang kedua tangan tidak akan mampu menolak respon yang telah
diberikan. Dengan demikian berarti kedua tangan siap bekerja berusaha
menuliskan inspirasi pagi yang sempat terbayangkan.
Situasi dingin dipagi hari ini
mengingatkan saya kembali pada beberapa persoalan yang sempat tersampaikan
dalam rutinitas perkuliahan. Khususnya pada saat mata kuliah kalam kontemporer
berlangsung kemarin (hari Rabu kemarin). Persoalan yang telah dipaparkan
tersebut secara ekspilisit memang berkaitan dengan peran hidup sosial seseorang
di masyarakat.
Peran sosial seseorang di masyarakat
terkadang memang menjadi dua sisi yang perlu dipertimbangkan. Layaknya dua sisi
yang terdapat dalam suatu koin. Entah itu karena kemampuan person tersebut
memang sangat diandalkan atau karena kemampuan person tersebut yang memang
tidak memiliki kemampuan. Sehingga layaknya seseorang yang membutuhkan
aktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarkat, mengharuskannya untuk betul-betul
memahami dan mempelajari diri pribadi.
Semua jawaban kegelisahan hidup
tentang peran sosial tersebut, ternyata saya dapatkan ketika saya mengikuti
perkuliahan kalam kontemporer. Inti dari pembahasan yang telah tersampaikan
kurang lebih ialah sebagai berikut.
Peran yang harus diterapkan dalam
diri pribadi ketika menghadapi lingkungan adalah dengan memaksimalkan empat
kunci. Empat kunci tersebut yakni dapat disingkat dalam kata “SWOT”.
Pertama fonem ‘S’ yang berarti Strength
(kekuatan). Sebagai bentuk contohnya ialah bila kita melihat pada realita
sosial yang terjadi dalam masyarakat, biasanya semakin tinggi derajat/status (wawasan
pengetahuan) yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin besar pula peluang
masyarakat untuk menggantung kepercayaan kepada dirinya.
Kedua fonem ‘W’ yang berarti Weakness
(kelemahan). Ketidak pahaman terhadap kelemahan yang ada di dalam diri, juga
merupakan salah satu penyebab turunnya (lemah) peran sosial dalam lingkungan
bermasyarakat. Dengan cara kita benar-benar memahami kelemahan yang ada di
dalam diri, setidaknya kita bisa mengontrol keadaan yang berlangsung di
masyarakat.
Ketiga fonem ‘O’ yang berarti Opportunity
(kesempatan). Adanya kesempatan memang salah satu fakor yang menyebabkan
seseorang mampu dipercaya dalam kehidupan bermasyarakat. Kemampuan kita dalam
memanfaatkan kesempatan yang ada adalah kunci dari kepercayaan tersebut. Sebagai
contoh real dalam memanfaatkan kesempatan ialah dengan memanfaatkan ilmu teknologi
(media sosial) yang ada untuk menyalurkan bakat menulis yang terpendam di dalam
diri kita.
Keempat ialah fonem ‘T’ yang berarti
Treatment (tantangan). Ketika
kita berusaha mengaktualisasikan diri dalam masyarakat tentu tidak semudah membalikan
telapak tangan. Misalnya saja ketika wawasan pengetahuan kita mulai disampaikan
kepada masyarakat, belum tentu masyarakat akan langsung membrikan respon
positif (membenarkan apa yang disampaikan). Hingga pada akhirnya ada juga
kemungkinan untuk memunculkan Takfirisme.
Allright, demikianlah refleksi
terhadap pengalaman rutinitas hidup yang telah saya tuangkan dalam tulisan yang
tidak sempurna ini.
Komentar
Posting Komentar