Langsung ke konten utama

Refleksi Pagi


Setelah jiwa tersadar dari kepolosan yang sempat membalutnya. Secara perlahan akal pikiran pun mulai terfokuskan dengan keadaan, bayangan (deskripsi kegiatan yang telah dijalani), dan tujuan kegiatan yang akan dilakukan. Aktivitas akal pikiran yang mulai stabilpun mulai menyalurkan energi positif. Sehingga berusaha menata, merekonstruksi niat yang terhujam kuat di dalam hati.  
Niat yang begitu kuat untuk berusaha konsisten dengan apa yang dilakukan, secara implisit saya tamankan dalam hati. Entah itu hanya sebuah unek-unek yang sempat menjadi beban, yang secara tidak sadar harus saya hilangkan ataupun hanya sebuah refleksi pengalaman hidup yang memang layak untuk dituangkan dalam tulisan.
Hari ke hari rasanya secara cepat terus silih berganti. Entah memang karena padatnya rutinitas yang telah biasa dijalani, ataupun karena memang diri ini berusaha memaksimalkan nikmat Tuhan yang telah diberikan.
Bayangan kuat tentang rutinitas hidup yang telah saya jalani, telah memberikan inspirasi hingga akal pikiran ini mulai mendorong dan menyalurkan energi positif tersebut pada kedua tangan. Anggota badan yang sempat teristirahatkan beriringan dengan rebahnya badan. Secara spontan memang kedua tangan tidak akan mampu menolak respon yang telah diberikan. Dengan demikian berarti kedua tangan siap bekerja berusaha menuliskan inspirasi pagi yang sempat terbayangkan.
Situasi dingin dipagi hari ini mengingatkan saya kembali pada beberapa persoalan yang sempat tersampaikan dalam rutinitas perkuliahan. Khususnya pada saat mata kuliah kalam kontemporer berlangsung kemarin (hari Rabu kemarin). Persoalan yang telah dipaparkan tersebut secara ekspilisit memang berkaitan dengan peran hidup sosial seseorang di masyarakat.
Peran sosial seseorang di masyarakat terkadang memang menjadi dua sisi yang perlu dipertimbangkan. Layaknya dua sisi yang terdapat dalam suatu koin. Entah itu karena kemampuan person tersebut memang sangat diandalkan atau karena kemampuan person tersebut yang memang tidak memiliki kemampuan. Sehingga layaknya seseorang yang membutuhkan aktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarkat, mengharuskannya untuk betul-betul memahami dan mempelajari diri pribadi.
Semua jawaban kegelisahan hidup tentang peran sosial tersebut, ternyata saya dapatkan ketika saya mengikuti perkuliahan kalam kontemporer. Inti dari pembahasan yang telah tersampaikan kurang lebih ialah sebagai berikut.
Peran yang harus diterapkan dalam diri pribadi ketika menghadapi lingkungan adalah dengan memaksimalkan empat kunci. Empat kunci tersebut yakni dapat disingkat dalam kata “SWOT”.
Pertama fonem ‘S’ yang berarti Strength (kekuatan). Sebagai bentuk contohnya ialah bila kita melihat pada realita sosial yang terjadi dalam masyarakat, biasanya semakin tinggi derajat/status (wawasan pengetahuan) yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin besar pula peluang masyarakat untuk menggantung kepercayaan kepada dirinya.
Kedua fonem ‘W’ yang berarti Weakness (kelemahan). Ketidak pahaman terhadap kelemahan yang ada di dalam diri, juga merupakan salah satu penyebab turunnya (lemah) peran sosial dalam lingkungan bermasyarakat. Dengan cara kita benar-benar memahami kelemahan yang ada di dalam diri, setidaknya kita bisa mengontrol keadaan yang berlangsung di masyarakat.
Ketiga fonem ‘O’ yang berarti Opportunity (kesempatan). Adanya kesempatan memang salah satu fakor yang menyebabkan seseorang mampu dipercaya dalam kehidupan bermasyarakat. Kemampuan kita dalam memanfaatkan kesempatan yang ada adalah kunci dari kepercayaan tersebut. Sebagai contoh real dalam memanfaatkan kesempatan ialah dengan memanfaatkan ilmu teknologi (media sosial) yang ada untuk menyalurkan bakat menulis yang terpendam di dalam diri kita.
Keempat ialah fonem ‘T’ yang berarti Treatment (tantangan).  Ketika kita berusaha mengaktualisasikan diri dalam masyarakat tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Misalnya saja ketika wawasan pengetahuan kita mulai disampaikan kepada masyarakat, belum tentu masyarakat akan langsung membrikan respon positif (membenarkan apa yang disampaikan). Hingga pada akhirnya ada juga kemungkinan untuk memunculkan Takfirisme.

Allright, demikianlah refleksi terhadap pengalaman rutinitas hidup yang telah saya tuangkan dalam tulisan yang tidak sempurna ini.   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal