Langsung ke konten utama

Curhatan Renungan Pagi


Ketika dinginnya pagi menyerbak keseluruh bagian raga, jiwa yang terbalut dengan kepolosan mulai tersadar dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Entah itu lingkungan biotik ataupun lingkungan abiotik. Suasana hening dan suhu yang dingin seakan-akan telah menghipnotis (membekukan) aktivitas yang selayaknya terjadi. Meskipun demikian ternyata bagian tubuh yang berperan penting dalam aktivitas kehidupan, tidaklah dapat dibekukan dengan situasi yang demikian. Bagian tubuh terpenting tersebut yakni akal (pikiran).
Ya... betul demikian. Suasana pagi yang cerah ini mengantarkan saya hanyut kedalam dunia inspirasi, yang menjadikan saya ingin sedikit berbagi pengalaman tentang bagaimana rutinitas perkuliahan yang telah saya jalani pada hari kemarin.
Pada hari kemarin tepatnya pada hari Rabu 20 Mei 2015 adalah hari Kebangkitan Nasional. Para aktivis pergerakan pun mulai tumpah menuju jalan. Berusaha menyambut hari sejarah tersebut dengan orasi-orasi ilmiah yang telah terrencanakan dan disiapkan. Mereka (para aktivis) bahkan ada yang rela berpenampilan tidak karuan. Entah apa maksud yang tersiratkan, tapi saya yakin mereka berusaha menyampaikan sebuah informasi (kegelisahan intelektual) yang terdeskripsikan dengan pergerakan demostrasi.
Hal yang demikian pun terjadi dikampus IAIN Tulungagung. Para aktivis pergerakan dan lembaga otoriter kampus (DEMA I) dengan seregap melakukan demonstrasi memadati halam kampus. Berjalan menyusuri setiap relung sudut kampus.
Sontak kegiatan demonstrasi yang berupa orsi-orasi ilmiah pun menarik pernahatian para mahasiswa yang lain. Tapi sayang mereka yang memperhatikan kegiatan tersebut tidak tertarik untuk ikut bergabung kedalam barisan anggota demonstran. Para mahasiswa yang notabenenya akademis malah lebih asyik menikmati ruitinitas perkuliahan.
Ya... mungkin memang betul, disanalah terletak salah satu bentuk perbedaan yang ketara antara mahasiswa aktivis pergerakan dengan mahasiswa akademis.
Mengingat hal yang demikian saya jadi teringat dengan materi pembahasan yang telah disampaikan oleh dosen pengampu mata kuliah Kalam kontemporer, yakni tentang persoalan orientasi dalam beragama. Orientasi dalam keagamaan sesungguhnya dapat dikategorikan menjadi dua kategori. Kategori pertama, yakni orientasi keagamaan yang lebih memfokuskan pada fiqih, dalam artian lebih medalami pada khususknya spiritual ibadah. Biasanya orang beragama yang orientasi pada fiqih ini lebih cenderung memandang sesuatu berdasarkan pada pendekatan fiqih, berusaha menemukan kepuasan dalam ibadah, merasa dirinya adalah yang paling benar dan yang pada akhirnya akan membentuk eklusifisme. Sedangkan kategori kedua, ialah orientasi keagamaan yang lebih memfokuskan pada akhlak, dalam artian lebih mendalami pada humanisme atau aspek sosial. Biasanya orang yang seperti ini lebih memandang sesuatu berdasarkan pada kepentingan sosial. Ya... kurang lebih seperti para mahasiswa aktivis lakukanlah.
Allright, mungkin demikian inspirasi pagi yang sempat saya share dalam bentuk tulisan yang tidak sempurna ini.              

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Koleksi Buku sebagai Pemantik

Dokpri buku solo ke-10 Saya kira transaksi literasi saya dengan Qadira akan usai seiring tuntasnya koleksi komik yang dibaca namun ternyata tidak. Di luar prediksi, transaksi literasi itu terus berlangsung hingga kini. Kini dalam konteks ini berarti berlangsung hingga detik-detik akhir pelaksanaan Sumatif Akhir Semester genap.  Keberlangsungan ini, jika boleh menerka, hemat saya tak lain karena provokasi dan motivasi yang saya berikan. Tepatnya saat mengembalikan buku terakhir yang saya pinjam. "Besok, koleksi komiknya ditambah ya. Nanti ustadz pinjam lagi. Bilang sama ibu, mau beli komik lagi supaya bisa dipinjamkan ke teman-teman sekolah", seloroh saya setelah menyerahkan komik. Qadira menganggukan kepala pertanda memahami apa yang saya katakan.  Motivasi itu saya berikan bukan karena saya ketagihan membaca komik gratisan, sungguh bukan seperti itu, melainkan dalam rangka memantik geliat memiliki koleksi buku mandiri. Motifnya sederhana, dengan memiliki koleksi buku mandiri...