Dokpri Ilustrasi Amunisi Penulis
Tidak hanya berkorelasi erat dengan gaya tulisan yang menjadi identitas penulis kawakan, pada kenyataannya kekuatan kata juga sangat penting bagi penulis amatir ataupun pemula. Apa bedanya penulis amatir dan pemula? Perbedaan mendasar di antara keduanya yakni terletak pada produktivitas karya, jam terbang dan mentalitas serta kesungguhan diri.
Penulis amatir umumnya menulis suka-suka. Tidak terikat kurun waktu dan skala. Jika mood-nya sedang baik baru ia berjimbaku merangkai kata. Meski intensitas menulisnya dapat dihitung dengan jari. Atau bahkan aktivitas menulis yang dilakukan bersifat kambuhan. Kadang intensif kadang tidak. Di saat kambuhan inilah penanya menjadi tumpul dan jauh dari genggamannya.
Semangat menulis dalam dirinya bagaikan gelombang ombak, fluktuatif. Sangat dimungkinkan, hal ini terjadi karena tidak adanya--belum tumbuhnya--kesadaran bahwa menulis sama wajibnya dengan membaca. Sehingga tidak adanya keseimbangan di antara dua budaya yang mengakar kuat di dalam benak yang bersangkutan.
Kendati begitu penulis amatir memiliki modal, jam terbang dan mentalitas yang cukup. Cukup dalam artian serba alakadarnya: Memahami teori mendasar tentang menulis, memiliki konsep dan mentalitas yang sudah terbangun. Hanya saja aktivitas menulis yang dilakukannya sekadar untuk menggugurkan tugas. Mendulang rasa puas dan berhenti karena pujian telah diraup tuntas. Meskipun karyanya belum tentu lebih baik dari penulis pemula.
Sedangkan penulis pemula dapat kita artikan sebagai orang yang mulai belajar untuk menjadi penulis. Sangat dimungkinkan dalam diri penulis pemula bersemayam rasa minder, memahami teori menulis yang minimalis, dan belum memiliki jam terbang yang tinggi. Dapat dikatakan penulis pemula menulis sekadar untuk coba-coba. Alhasil, cita rasa dan komposisi tulisan yang dihasilkan kering akan gagasan, belum terpolarisasi, dan logika menulis terkadang banyak tersandung kekeliruan. Mbulet sebagai simpulan.
Hanya penulis pemula yang gigih dan tangguh yang dapat beradaptasi dengan baik hingga meraih kenikmatan tersendiri dalam menulis. Proses meraih kenikmatan dalam menulis dilalui dengan penampaan panjang. Penempaan panjang yang mengejawantahkan diri sebagai pembelajar yang tak pernah puas. Tidak terjatuh--putus asa--atas tajamnya kritikan yang dilayangkan. Tidak lupa daratan manakala disanjung dan dielu-elukan. Satu-satunya tekad yang terbenam dalam benaknya adalah terus belajar dan berlatih. Bukankah rakus akan pengetahuan demi kebaikan dan transformasi diri itu merupakan sesuatu hal yang baik?
Lantas, di manakah korelasi antara pentingnya kekuatan kata dengan dua level penulis yang telah disebutkan? Korelasi itu terletak pada inkonsistensi dan fluktuasi semangat yang dimiliki oleh penulis amatir dan pemula. Inkonsistensi dan fluktuatif semangat menulis itu salah satunya dibentuk karena seringnya menyembunyikan rasa malas dalam benteng kesibukan. Mengambinghitamkan kesibukan sebagai alasan untuk tidak menulis.
Hemat saya, massifnya pengambinghitaman tersebut sejatinya menunjukkan inkonsistensi dalam menulis itu banyak dipicu rapuhnya tekad dan nihilnya niat. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya kata sakral yang menjadikan dirinya tergugah manakala lemah. Kata-kata sakral ini bentuknya bisa berupa motto, motivasi, kata-kata bijak, mantra dan lain sebagainya.
Tidak ada kekuatan kata yang menggerakkan dirinya untuk berjuang secara istikamah. Hal ini terjadi karena memang menulis belum menjadi kesadaran yang terbenam dalam benak. Mindset yang terbangun tentang menulis masih melompat-lomat. Melompat-lompat mengikuti pengaruh rasa malas yang lebih banyak menggelayut di kepala dan merengkuh kendali gerak. Itu artinya mindset orang yang bersangkutan belum tertata dengan baik.
Much. Khoiri dalam Writing Is Selling (2018) tepatnya dalam bab Menata Mindset, menyebut kekuatan kata itu berpadan makna dengan ungkapan pengubah. Tentu saja ungkapan pengubah ini tidak begitu berpengaruh jikalau hanya terhenti pada level tradisi verbal. Gaya retorika, public speaking dan sugesti yang menyakinkan adalah jembatan. Jembatan yang mudah runtuh manakala dilupakan. Ya, itulah kelemahan tradisi oral.
Lain halnya tatkala ungkapan pengubah itu diabadikan dalam rangkaian kata. Kata yang ditulis dengan pertimbangan tidak mengutamakan estetik dan tidak asal-asalan. Melainkan kata yang mengandung makna positif, penuh sugesti dan dipandang ajaib oleh penulisnya. Kata yang benar-benar merepresentasikan tujuan dan alasan kenapa ia harus melakukanya. Dalam konteks ini kekuatan kata itu berlaku dalam segala aspek kehidupan yang membutuhkan perubahan. Tak terkecuali dalam dunia literasi. Khusus dalam dunia literasi saya ingin menyebut kekuatan kata itu dengan motivasi menulis.
Pola yang berlaku dalam aktivasi motivasi menulis ialah dimulai dengan menata niat dan tekad. Jika niat dan tekad sudah terpancang dengan kuat maka abstraksikanlah niat-tekad itu dengan membuat kalimat yang menggugah diri. Usahakan, tatkala anda menulis kalimat itu disertai dengan sepenuh hati. Pastikan, jiwa dan raga anda benar-benar--menjadi saksi kunci--menghayati setiap kata yang ditorehkan.
Selanjutnya, dalam aktualisasinya, motivasi menulis itu akan menata mindset dan memengaruhi setiap gerakan (tindakan; aksi nyata) yang timbul ke permukaan. Yang demikian terjadi karena motivasi menulis itu telah merasuk ke dalam pikiran dan hati sehingga berhasil menjelma sebagai kesadaran. Kesadaran positif untuk bertindak. Alhasil, rumus yang berlaku adalah semakin kuat motivasi menulis semakin kuat pula aksi nyata yang dilakukan. Dan ini merupakan amunisi terbaik untuk mewujudkan impian bagi setiap penulis pemula.
Aksi nyata tersebut lambat laun akan mengkonstruksi komitmen dan kedisiplinan. Dua poin inilah yang kemudian akan menjadi kontrol dan katrol atas setiap keadaan. Mengondisikan diri untuk tetap menjaga idealisme. Mengambil kesempatan dalam setiap kesibukan. Sesibuk apapun selalu ada celah dan peluang untuk tetap produktif berkarya.
Dari sinilah secara saksama kita mafhum, bahwa bagi orang yang memiliki dan memegang teguh motivasi menulis wataknya akan selalu tampil sebagai pemenang. Pemenang yang tak ingin dikalahkan dan ditundukkan oleh segala bentuk keadaan. Meski begitu bukan berarti harus bersikap arogan dan menghalalkan segala bentuk cara, melainkan tumbuh kembang dengan penuh mawas diri.
Mawas diri dalam artian senantiasa instrospektif jauh ke dalam diri sembari berupaya keras mengaktualisasikan nilai-nilai seorang pemenang. Apa saja nilai-nilai yang harus ada dalam diri seorang pemenang? Nilai-nilai tersebut yakni jiwa-jiwa kompetitif, kapabilitas dan adaptatif dalam setiap keadaan. Jika telah demikian, maka sangatlah mudah, utamanya bagi penulis produktif-kreatif, untuk tetap menulis meski digempur kesibukan.
Tulungagung, 15 September 2023
Mantab pool Mas Roni.
BalasHapusTerima kasih atas BW nya Abah.
Hapus"Aksi nyata tersebut lambat laun akan mengkonstruksi komitmen dan kedisiplinan. Dua poin inilah yang kemudian akan menjadi kontrol dan katrol atas setiap keadaan. Mengondisikan diri untuk tetap menjaga idealisme. Mengambil kesempatan dalam setiap kesibukan. Sesibuk apapun selalu ada celah dan peluang untuk tetap produktif berkarya. "
BalasHapusSaya keep yang ini walaupun semuanya daging dan lezat.
Iya, Bu Kanjeng. Terima kasih atas BW nya.
HapusMantap mas. Menjadi bomerang bagi saya untuk terus belajar dan mencoba istiqomah dalam menulis
BalasHapusKok ngeri banget ya kalau disebut Boomerang. Jadi pelecut semangat aja deh mbak. Heheh
Hapus