Langsung ke konten utama

Menuju Khidmah Kepada Sesama

Dokpri Cover Buku Khidmah Kepada Sesama 

Cinta adalah bahasa kalbu yang dapat diterima secara universal. Bahasa yang tidak terikat oleh perbedaan suku, bangsa, bahasa, ras atau pun agama. Bahkan melampaui perbedaan bentuk fisik sekali pun. Cinta itu pula yang menjadi fondasi utama dalam merajut harmonisasi di antara kemajemukan yang ada. 

Kemajemukan masyarakat, dalam konteks ini lebih tepatnya person, adalah fakta yang harus kita terima dengan sikap bijaksana. Perbedaan-perbedaan yang kita temukan dalam realitas kehidupan sehari-hari pada dasarnya merupakan anugerah Tuhan yang Mahakuasa. Yakinlah, Tuhan menciptakan kemajemukan itu bukan tanpa alasan yang tak berlogika. Akan tetapi penciptaan kemajemukan tersebut determinasi multi makna: dapat diartikan sebagai ladang amal ibadah, ujian sekaligus ajang pendewasaan diri manusia. 

Manusia itulah yang kemudian menentukan bagaimana sikap, pilihan dan keputusan yang harus digenggam sebagai prinsip dasar dalam menjalani kehidupan. Apakah ia sebagai seorang hamba memiliki kesadaran untuk berikhtiar mengambil hikmah di dalamnya. Atau malah bertingkah sebaliknya, mencecar atu pun menghardik segala yang tampak dengan semena-mena. Dalam artian, mempersepsikan apa yang telah Tuhan ciptakan di dunia adalah sebuah kesalahan yang harus kita tundukkan sesuai egoisme makhluk. 

Dari sekian kemajemukan tersebut salah satu di antaranya adalah perbedaan fisik. Menyoal perbedaan fisik kita akan menemukan pola istilah normal dan cacat; normal dan difabel; disabilitas dan non disabilitas. Dikotomi istilah yang merupakan salah satu produk kontruksi sosial. Perbedaan istilah yang kemudian menciptakan sekat-sekat ruang interaksi sosial di antara keduanya. Ada asumsi bahwa mereka yang disabilitas adalah penghuni lapisan masyarakat inferior. Kalangan yang perlu dikasihani, diistimewakan dan dibantu setiap waktu. Walhasil, pola itu menentukan cara masing-masing kita bersikap.

Menariknya, dalam podcast channel YouTube Close The Door miliknya Om Dedy Corbuzier Dani Aditya selaku komika disabilitas berusaha menyangsikan kembali pola dikotomi yang telah diaminkan khalayak umum tersebut. Dani Aditya mengkritisi hadirnya dikotomi istilah, penyikapan khalayak umum sampai dengan eksistensi kalangan disabilitas itu sendiri di ruang publik. Dani mengaku bingung dengan penyematan istilah yang belakangan sempat diperdebatkan hebat. Apakah kalangan seperti dirinya itu harus disebut cacat fisik, difabel, tuna atau pun disabilitas. Yang jelas-jelas terjadi penyemangat istilah itu dengan sengaja dilakukan oleh mereka yang mempersepsikan diri normal tanpa ada kesepakatan di antara kedua belah pihak; dengan pelakunya.

Selajutnya, Dani juga menyayangkan sikap khalayak umum dalam memperlakukan kalangan disabilitas sebagai masyarakat inferior. Dalam artian, tidak seharusnya kalangan disabilitas diposisikan sebagai orang yang melulu butuh bantuan sehingga dipandang tidak punya kuasa untuk berikhtiar secara mandiri. Persepsi inferioritas itu justru menjadi batu sandungan sekaligus jebakan bagi kalangan disabilitas untuk merubah diri dengan jalan memanfaatkan potensi. Jika mau, seharusnya mereka diberdayakan sesuai skill dan potensi. Misalnya, bagi disabilitas yang memiliki skill desain atau fotografer bisa diberikan bantuan pelatihan untuk jenjang profesi.

Terakhir, Dani juga mengkritisi eksistensi kalangan disabilitas itu sendiri di ruang publik. Ada dua persepsi yang terbangun di ruang publik tatkala memperlakukan kalangan disabilitas. Yakni menerima-permisif dan acuh tak acuh-destruktif. Mereka yang mampu menerima dan bersikap permisif terhadap kalangan disabilitas dalam ranah sosial di satu sisi dapat membantu membangun kepercayaan dan memotivasi diri yang bersangkutan. Dengan catatan, siklus interaksi sosial itu bukan dalam rangka mendikte penuh satu sama lainnya. 

Sedangkan orang-orang yang bersikap acuh tak acuh-destruktif adakalanya menjadi tantangan tersendiri tatkala berinteraksi. Stigmasi, stereotip dan segala bentuk upaya marginalisasi kian menantang untuk menguatkan mentalitas kalangan disabilitas. Sikap dingin yang sengaja disodorkan di satu sisi menjadi kekuatan untuk beradaptasi bahwa dirinya (kalangan  disabilitas) bisa dan harus membungkam kalimat, asumsi hingga pola pikir toxic yang dilontarkan kepada mereka. 

Ada pula pola penyikapan khalayak umum yang tampak permisif namun justru membingungkan. Misalnya masjid, toilet atau tempat umum lainnya diakuisisi sudah diperuntukkan khusus untuk disabilitas namun realitanya kalangan disabilitas sangat minim bahkan sukar untuk mengakses sarana dan prasarana yang sudah tersedia tersebut. Tentu saja hal itu adalah omong kosong belaka. Hal yang sia-sia. Entah itu karena anak tangganya yang tidak ramah, tidak disediakannya tempat duduk saat berwudhu, tidak adanya kursi duduk untuk salat, tidak adanya jalan khusus kursi roda dan lain sebagainya. 

Bak menjawab deretan kesangsian di atas, meski lembaga sudah berdiri lebih awal dari kritik yang dilontarkan Dani, Yayasan Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung yang di dalamnya menaungi LKS, LKSA dan TPQLB berusaha memberdayakan kalangan disabilitas sesuai kebutuhan, skill dan potensi yang bersangkutan. Salah satu aksi nyata dalam mencukupi kebutuhan pendidikan agama Islam-- sekaligus merealisasikan perwujudan sila pertama dan kedua Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab--bagi kalangan disabilitas adalah diakomodir oleh TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung.

TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung kurang lebih sudah sepuluh tahun menegakkan keadilan sosial bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Pendidikan--utamanya agama--harus dapat diakses oleh siapa, kapan dan dimana tanpa ada pengecualian apa pun. Meski kemudian dalam proses perjuangannya tetap ada fluktuasi dalam hal jumlah santri dan relawan asatidz yang berkhidmah di dalamnya. Tentu saja keadaan itu sesuatu yang lumrah terjadi di sebuah lembaga. Utamanya, pengelolaan lembaga bersifat sukarela.

Kendati pengelolaan lembaga bersifat sukarela, kiprah sepuluh tahun lebih itu kurun waktu yang terbilang lama jika dibandingkan dengan usia saya mengabdikan diri di sana. Saya pribadi baru lima tahun terakhir berkhidmah. Selama lima tahun tersebut saya belajar banyak hal di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Bukan hanya soal bagaimana cara mengajar, melakukan pendekatan dan berinteraksi namun juga menyingkapkan paradigma saya tentang kalangan disabilitas yang awan bahkan ekstrem sebelumnya.

Pendekatan faktor cinta menyingkapkan segala bentuk bias dan dikotomi dalam diri saya. Saya selalu menyakini bahwa Tuhan menciptakan makhluknya atas dasar cinta. Maka melalui cinta pula ia dapat disentuh, dikenal dan diakui eksistensinya. Sebagai puncaknya, tatkala saya mengajar dan bertemu dengan para santri di TPQLB terasa ada kenikmatan batin tersendiri yang tak ternilai harganya. Jikalau saya absen maka seperti halnya ada yang kurang lengkap dalam menjalankan rutinitas di hari weekend. Memang benar selama ini proses pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung hanya digelar setiap satu Minggu sekali. 

Postulat batin itu saya kira terbentuk tidak dengan sendirinya, melainkan karena Tuhan melimpahkan rahmat mahabah-Nya yang teramat banyak pada diri saya. Sehingga saya tergerak untuk mencintai semua anak-anak yang belajar di TPQLB. Tentu saja ini bukan sesuatu hal yang harus dipamerkan ke ruang publik melainkan harus saya syukuri dan nikmati setiap proses dalam menjalaninya. Ada maqamat dzauq yang tak dapat diwakilkan dengan kata-kata bijak sekali pun. 

Meski begitu saya berusaha mengabadikan proses pengabdian itu melalui buku sederhana ini. Tentu saja, apa yang saya tuangkan ke dalam bentuk tulisan tidak secara detail dan setiap kegiatan mampu dideskripsikan secara utuh-menyeluruh. Melainkan hanya bentuk ekstraksi penggalan kisah nyata yang mampu direkam oleh ingatan saya. Mulanya melalui buku sederhana ini saya hanya ingin berbagi informasi dan pengalaman, akan tetapi seiring berjalannya waktu pada kenyataannya buku ini juga turut memotret transformasi lembaga dari waktu ke waktu. Maka jangan heran jika kemudian anda menemukan tajuk tulisan yang berkaitan dengan pembelajaran, penyempurnaan sarana-prasarana hingga upaya identifikasi sumberdaya manusia lembaga.

Pendek kata, terbitnya buku ini sebagai bukti lima tahun saya mengabdikan diri di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Selebihnya saya menaruh harapan, bahwa akan ada hikmah dan berkah melalui buku sederhana ini. Barangkali saja, buku sederhana ini mampu menjadi representatif sekaligus pemantik untuk terbitnya buku-buku solo dewan asatidz yang berkhidmah di lembaga pendidikan Islam, utamanya bagi dewan asatidz TPQLB Spirit Dakwah Indonesia Tulungagung. Sehingga tradisi literasi benar-benar membumi di tingkat pendidikan agama sebagai akar rumput. 

Tulungagung, 16 September 2023

Komentar

  1. Di sekolah umum dari SD yang saya ketahui sudah ada perhatian terhadap anak disabilitas. Kebijakan itu ada sejak ppdb siswa baru. Hanya sarana di sekolah biasanya.belum diperhatikan sejauh itu. Tetapi gurunya sudah dibekali ilmu di sekolah. Buku yang jeli menulis tema seperti ini. Mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, betul itu Pak. Terkadang masih banyak lembaga pendidikan yang memaksakan diri menerima siswa insklusi tapi sarana-prasarana banyak tidak terpenuhi. Ini tentu PR besar untuk kita bersama. Bagaimana caranya menciptakan nuansa pendidikan yang bertpu pada keadilan.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal