Langsung ke konten utama

Jaringan Penulis

Dokpri Kopdar RVL di BBPPMM Yogyakarta 

Salah satu berkah menjadi seorang penulis adalah bertambahnya relasi pertemanan. Dalam konteks ini saya ingin menyebutnya dengan istilah jaringan penulis. Relasi yang tumbuh kembang di luar apa yang kita ekspektasikan. Mungkin ada benarnya, tatkala seorang penulis berusaha melahirkan suatu karya tidak--eksplisit memikirkan--bertujuan dan terlalu fokus untuk membangun hubungan yang intens antara dirinya dengan pembaca. Terlebih-lebih tatkala topik tulisan yang diwacanakan fokus menyampaikan gagasan; epistemologi pengetahuan atau bahkan diseminasi hasil riset yang rigorius. 

Mungkin secara saksama kita mafhum, utamanya sebagai penulis, di satu sisi ada pula upaya membangun komunikasi interaktif antara penulis dan pembaca. Hal itu digencarkan sebagai upaya membangun relasi emosional, frekuensi pemikiran dan pandangan. Saya kira hal itu berlaku dalam segala bentuk genre karya tulis. Meski kemudian karya tulis yang bergenre fiksi akan begitu kental dan mudah kita rasakan. Semisal novel, cerpen dan puisi. 

Lantas dari mana relasi pertemanan antara penulis dan pembaca terbentuk? Hemat saya, relasi tersebut terbentuk secara natural sebagai efek mencerna, menerima dan memahami sinyalmen kekuatan kata yang dirangkai oleh sang penulis. Sebuah ikatan yang bermula dari mencicipi renyahnya cita rasa tulisan. Sebuah ikatan yang tergugah dari inspirasi gagasan yang mencerahkan. Bahkan dalam level tingkat kronis, membaca tulisan dari penulis tertentu bisa menjadi candu. Candu jika tidak melahapnya dengan penuh penghayatan. 

Pertanyaan mendasarnya, apakah ada tulisan yang sedemikian rupa? Saya kira jawabannya, ya tentu ada. Tulisan yang penuh enerjik, bertaburan inspirasi dan begitu lanyah untuk dibaca. Sebagai contoh representatif sebutkan saja novel Cantik Itu Luka atau cerpen Sumur karya Bung Eka Kurniawan (2022). Dengan gaya tulisan yang mengalir ia menghanyutkan pembaca--sekaligus emosional dan cara pandang--pada pembahasan perkara pelik. Meski pelik tetap saja dengan rangkaian kata yang apik menjadikannya terasa ringan dan justru membuat sang pembaca menabung rasa penasaran tatkala membaca bagian demi bagian. Dari lembar sebelum menuju lembar berikutnya. 

Dalam konteks ini, lagi-lagi kita akan bersentuhan langsung dengan kekuatan kata. Kekuatan kata adalah sihir mujarab yang diramu oleh penulis kreatif. Saya kira, sangatlah pantang, tulisan yang apik akan terlahir dari jemari penulis pemula ataupun amatiran. Termasuk saya di dalamnya. Kendati begitu kekuatan kata itu akan terbentuk dengan sendirinya manakala kita melakukan latihan secara konsistensi. Latihan secara konsistensi itu pula yang akhirnya akan menjadi nilai plus jam terbang. 

Selanjutnya, bagaimana pola yang berlaku dalam relasi pertemanan melalui tulisan tersebut? Sebagai contoh representatif kita bisa mengamati jejaring pertemanan yang dimiliki oleh penulis idola masing-masing kita. Atau mungkin keteladanan dari penulis produktif yang ada di sekitar kita. Sebutkan saja Prof. Ngainun Naim misalnya. Dalam buku The Power of Writing Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup (2015), beliau memaparkan bagaimana relasi pertemanan yang beliau bangun melalui tulisan yang dipubliaksikan di blog keroyokan Kompasiana.com.

Terhitung, pertengahan 2013 beliau bergabung di Kompasiana, dan di sanalah beliau menikmati harmonisasi hubungan pertemanan di antara kompasianer. Interaksi dan persaudaraan di antara beberapa penulis terjalin begitu hangat dan intens. Semua terjadi secara alami. Mengalir seiring kontinuitas publikasi tulisan yang dinikmati oleh khalayak umum, terkhusus kompasianer. Dari aktivitas saling membaca postingan tulisan itulah para penulis di dalamnya saling menyapa dan mengenal, (hal. 5-14).

Tidak berhenti sampai di sana, dalam artikel yang berjudul Energi Kata (hal. 18-22) bahkan di Kompasiana pula beliau menemukan energi positif dan potensial untuk menjaga idealisme terus menulis. Hal itu terjadi setelah beliau menyadari spirit yang terbentuk dalam Kompasiana. Spirit berbagi ilmu, menyebarkan virus kebaikan, spirit kebersamaan, ajakan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan yang paling utama saling menguatkan (memotivasi diri) untuk membudayakan menulis sebagai jalan terbaik dalam berbagi. 

Siapa kira spirit untuk melestarikan menulis itu di antaranya beliau dapatkan setelah berlangganan menyimak tulisan yang disodorkan master Emcho (sapaan akrab dari Dr. Much. Khoiri; dosen UNESA; penulis; founder RVL) dan Omjay (sapaan akrab Dr. Wijaya Kusumah, M. Pd.; guru blogger Indonesia). Pertemanan dunia maya yang kemudian menjelma persahabatan jaringan penulis di dunia nyata. Tak jarang di antara mereka dipertemukan sebagai narasumber di acara seminar, pelatihan ataupun workshop yang bertajuk literasi. 

Secara khusus, bahkan persahabatan Prof. Naim dan master Emcho semakin erat manakala tergabung dalam komunitas literasi yang sama di tingkat nasional. Sebutkan saja di antaranya Sahabat Pena Kita (SPK) dan Rumah Virus Literasi (RVL). Di SPK sendiri keduanya merupakan sosok pembina yang kehadirannya dielu-elukan sebagai role model dalam berkarya. Sosok idola bagi khalayak penulis pemula dan amatiran, seperti saya ini. 

Persahabatan jaringan penulis di dunia nyata pun semakin serius manakala satu di antara mereka saling bertukar gagasan dan meminta endrosment ataupun kata pengantar untuk karya masing-masing. Dalam buku Jejak Intelektual Terserak Sosial, Agama, Budaya dan Literasi (2023) misalnya, Prof. Naim menceritakan bagaimana Omjay minta dibuatkan kata pengantar untuk buku Kisah Omjay 50 Tahun Menjadi Manusia (2022). Omjay menghadiahi diri sendiri dengan menerbitkan buku solo tebaru untuk ulang tahunnya yang ke 50. Memang demikian selaiknya idealisme penulis yang senantiasa mengabadikan dan merayakan momentum hidup dengan karya tulis. 

Beliau menegaskan, bahwa selama ini bersahabat baik dengan Omjay meski kebanyakan komunikasi secara intensif hanya melalui kanal media sosial. Pertemuan tatap muka secara langsung dapat dihitung jari. Kendati begitu di antara mereka kerap dipertemukan tatkala mengisi satu acara yang sama. Baik itu seminar, pelatihan ataupun workshop yang bernafaskan literasi. Meski begitu, beliau berdua sering bertukar gagasan ataupun berdiskusi hebat tentang literasi. Tentu saja rangkaian itu semua merupakan konsekuensi logis resiprokal dari sebuah persahabatan jaringan penulis yang harus dinikmati prosesnya. 

Tulungagung, 20 September 2023

Komentar

  1. Wow..keren banget mas Roni cara mengulas dan mendiskripsikan gagasan. Ini sdh kentara punulis yg kEREN.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Bah. Berkat keteladanan dari jenengan niki Bah.

      Hapus
  2. Keren mas. Banyak belajar ini dari tulisan njenengan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal