"Mari kita gunakan waktu--nikmat kesempatan--yang ada untuk menata hidup yang berkualitas", Dr. Khozin, M. Pd.
Melanjutkan pembahasan tentang buku antologi Belajar Kehidupan Dari Sosok Manusia Inspiratif karya Sahabat Pena Kita (2018). Buku yang dieditori oleh Mas Syahrul--meminjam panggilan Prof. Naim--ini berisikan 38 catatan reflektif dari ragam sosok yang menginspirasi masing-masing para penulisnya. Jumlah itu dikelompokan menjadi empat bab utama: Belajar cinta dari sosok ibu, belajar ketangguhan dari sosok ayah dan belajar keteladanan dari sosok guru serta merengkuh inspirasi dari sosok penebar manfaat.
Pembagian bab tersebut saya kira merujuk pada konteks tulisan itu dibuat. Kepada siapa sang penulis menaruh role model yang menginspirasi sepanjang alur kehidupannya. Mas Syahrul dalam kata pengantarnya menegaskan, bahwa terkadang inspirasi kerap muncul dan dinisbatkan kepada mereka yang dipandang biasa-biasa saja, bukan pesohor, namun berpengaruh besar terhadap percaturan kehidupan yang bersangkutan.
Prof. Habibie--Allah yarham--misalnya, beliau menjadikan sang ibu sebagai mata air keteladanan dalam perjalan kehidupan yang dilaluinya. Kesadaran beliau terhiyak tatkala mendengar sumpah sang ibu untuk menggantikan tulang punggung penghidupan yang tiada, dan menomorsatukan pendidikan bagi anak-anaknya. Sumpah yang menghujam kuat itulah yang kemudian menjadikan Prof. Habibie menjadi sosok yang besar dan tangguh. Berani menerobos keterbatasan yang mengengkang kehidupannya.
Pada titik nadir keterbatasan dan yang papa itulah seluruh tekad dikerahkan. Ketidakmampuan, kegetiran atas hidup dan perihnya penderitaan yang dilalui menjadi amunisi terbaik untuk mewujudkan apa yang disebut ketidakmungkinan. Melampaui teritorial apapun yang dilekatkan kepada mustadafin--tatkala keadaan terus mendesak--pada akhirnya mengentaskan transformasi dalam bentuk baru. Bentuk yang mungkin dipandang muskil sebelumnya. Baik oleh khalayak ramai ataupun oleh diri kita sendiri.
Dalam konteks inilah mas Syahrul melambari sepenggal cerita masa kecilnya yang hidup nomaden di pelosok Sulawesi Selatan dengan judul SEMMI (Ibu rumah tangga tanpa rumah), (hal. 9-21). Kedua orangtuanya tidak memiliki trah keturunan Sulawesi Selatan. Bahkan Ayah-Ibunya terlahir di tanah Jawa. Jawa Tengah lebih tepatnya. Hanya bermodalkan khidmah dan sami'na wa atho'na kepada Kiai, tiba-tiba sang ayah memboyong seluruh keluarga (waktu itu mas Syahrul belum terlahir) ke desa La Cinde.
Di pelosok itulah, atas titah Kiai semua warga yang hijrah ikut bergotong royong membangun pemukiman pondok pesantren. Keluarga mas Syahrul diberikan rumah cuma-cuma. Tatakala tinggal di sana seluruh perhatiannya difokuskan penuh untuk mengabdi kepada sang Kiai. Namun entah karena konflik apa, secara mendadak percekcokan itu muncul dan mengharuskan Kiai mengusir keluarga mas Syahrul.
Kehidupan mas Syahrul dan keluarga terlunta-lunta. Mulai berpindah dari satu desa menuju desa lainnya. Perpindahan itu bukan tanpa alasan, melainkan karena terdesak oleh keadaan. Selalu ada batu sandungan di balik perjuangan untuk bertahan hidup. Meski itu hanya cukup untuk mencari sesuap nasi demi menyambung hidup. Pun belum tahu pasti besok seperti apakah nasib keluarganya. Apakah perihnya perut terbayar tuntas atau malah tetap carut-marut dalam pusaran dahaga dan penderitaan yang sudah tidak tertahankan lagi.
Disebutkan, menjadi keluarga tanpa rumah itu bukanlah pilihan, melainkan karena dipaksa keadaan. Efek samping dari rentetan kejadian. Mulai dari akibat kena tipu daya, cekcok dengan tuan tanah, musim paceklik yang meradang, hasil panen pertanian yang kambuhan hingga terancamnya nyawa keluarga oleh para perampok. Bahkan rumah pinjaman dari tuan tanah yang terakhir berhasil disatroni perampok dua kali. Semua barang kepemilikan digasak tanpa sisa. Sementara kedua orangtuanya diikat di pohon dan anak-anaknya hanya mampu histeris sembari bersedu-sedan menyaksikan semua kejadian.
Sempurna sudah penderitaan dalam kemiskinan. Semua itu terjadi karena memang rumah pinjaman tuan tanah selalu berada di pelosok. Jauh dari pemukiman penduduk desa. Bahkan pernah satu waktu ada kejadian yang benar-benar membekas dalam ingatan mas Syahrul atas ketangguhan dan kesabaran sang Ibu. Hasil panen pertanian yang terkadang ditawar dengan harga yang terlampau murah menyebabkan ibunya nekat memikul ragam sayuran menuju pasar. Padahal jarak tempuhnya kisaran puluhan kilometer.
Sang ibu dengan penuh kesabaran harus memikul beban melampaui batas kemampuannya. Itu pun beliau lakukan menerjang batas waktu dan kontur medan. Dini hari, siang, sore dan malam bukan lagi halangan, melainkan teman hangat di sepanjang perjalanan menuju pasar. Sang Ibu tahu, kelangsungan hidup keluarga besar berada dalam genggamannya. Sementara itu, tidak ada satu pun di antara anggota keluarga yang tahu persis keterbatasan hidup akan berakhir kapan.
Selain ketangguhan dan kesabaran, di lain waktu mas Syahrul juga memahami betul sisi qonaah yang dimiliki sang Ibu. Dalam menjalani kehidupan yang pas-pasan, dihujani ujian yang bertubi-tubi dan tidak memiliki rumah lantas tidak terbersit kata mengeluh. Bukan hanya tidak pernah mengeluh, namun sang Ibu juga enggan meratapi dan menyesali alur kehidupannya. Bagi beliau, kehidupan bersama keluarga adalah rumah yang menuntunnya untuk disiplin dan kerja keras. Maka tak ayal jika kemudian semua anggota keluarga mewarisi keuletannya dalam bekerja.
Sekalipun beliau merasa lelah dan sedikit ada cekcok dengan suami maka cukup ditumpahkan dalam tangisan. Keadaan itu tidak berlarut-larut, sebab kebutuhan anak-anak yang mulai tumbuh besar harus segera dicukupi. Kedua orangtuanya sepakat, bahwa pendidikan itu merupakan modal utama bagi transformasi hidup seluruh anaknya di masa depan. Maka tak heran, meskipun hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang sekolah dasar, mereka dengan giat memondokkan anak-anak ke pesantren. Kebetulan di kota Pangkep ada pondek pesantren yang membebaskan beban tanggungan hidup bagi kalangan tidak mampu.
10 bersaudara termasuk mas Syahrul semuanya mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Baru setelah lulus dari sanalah masing-masing mereka melanjutkan petualangannya. Mereka bersepakat bekerja keras untuk mewujudkan mimpi memiliki rumah sendiri. Tepatnya membelikan sebuah rumah di daerah kota Makassar.
Namun sayang, di saat semua anak berusaha mewujudkan mimpi itu kesehatan sang Ibu pelan-pelan menurun. Hingga pada akhirnya tepat di bulan Agustus 2016 sang Ibu menghadap Ilahi. Sang ibu tiada karena digerogoti penyakit gula yang akut. Semoga beliau diberikan yang terbaik di surga sana. Amin.
Dari perempuan tangguh, sabar, ikhlas dan qonaah atas takdir hidup yang bernama Ibu tersebut mas Syahrul mendapatkan banyak keteladanan. Akhirnya sekarang mas Syahrul memetik hasil keringat sang Ibu. Ia bekerja tidak seberat dahulu kala. Memikul kayu bakar untuk dijual Rp. 5.000 perikat untuk menyambung hidup. Kini ia menetap bersama keluarga tercinta di Yogyakarta.
Sebagai simpulan, jika boleh mengatakan secara jujur, saya kira semua orang sepakat, bahwa kedua orang tua kita merupakan sosok guru utama yang mengajarkan keteladanan. Dari beliaulah eksistensi kita di dunia dihadirkan. Tanpa cinta kasih keduanya mungkin kita tidak akan pernah menginjakkan kaki di Mayapada ini. Jika dianalogikan, orang tua adalah mata air yang mengalirkan beribu kemanfaatannya, sedangkan anak adalah cawan yang terus-menerus menganga dahaga purba.
Salam takdim dan rindu, Ibu dan ayah nun jauh di sana. Semoga senantiasa diberikan kesehatan, kebahagiaan dan kelancaran dalam menjalankan kehidupannya. Begitu pula bagi para Ibu dan ayah hebat yang telah mendahului kita kembali keharibaan-Nya, semoga mendapat nikmat surga Allah SWT. Amin.
Tulungagung, 10 September 2023
Komentar
Posting Komentar