Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Motivasi Menulis saya menyebutkan bahwa pola aktivasi motivasi menulis dimulai dari menata mindset. Menta mindset: membulatkan niat-tekad, membuat kalimat penggugah diri, dan kekuatan kata menjadi racun yang akan menjangkiti cara berpikir untuk berkarya secara konsistensi. Pola aktivasi personal yang terkondisikan sedemikian rupa.
Pola pengondisian tersebut saya kira lumrah terjadi di kalangan khalayak ramai. Sehingga dapat dipandang sebagai sistem kerja yang biasa-biasa saja. Sistem kerja yang dapat diproyeksikan oleh setiap orang yang mau melakukannya. Mengapa demikian? Sebab cara kerjanya persis seperti mesin ATM. ATM yang dimaksud dalam konteks ini tentu bukan akronim dari anjungan tunai mandiri. Istilah yang melekat pada sirkulasi pengelolaan keuangan di bank, melainkan amati, tiru dan modifikasi.
Berlambar pada kenyataan itu, di lain sisi, maka sangat dimungkinkan motivasi menulis muncul dari kran, kanal dan media massa. Lebih tepatnya melalui otoritas event organizer kelas-kelas menulis gratisan atau pun berbayar. Berkaitan dengan hal itu maka pertanyaan selanjutnya adalah mungkinkah pola aktivasi motivasi menulis itu dikelola secara profesional atau pun komunal? Jawaban yang tepat, saya kira, tentu saja bisa. Sangat mungkin terjadi, bahkan dapat menjadi media yang jauh lebih efektif, jika ditinjau dari ruang lingkup pengaruh dalam skala besar.
Sedangkal observasi partisipatif--terhadap Kelas Menulis Online (KMO) dan komunitas lainnya di 2021--yang saya lakukan, pengondisian motivasi menulis secara komunal melalui media sosial justru memiliki antusiasme massa dan pangsa pasar yang sangat besar. Kegiatan tersebut bahkan dapat dihelat berjilid-jilid. Dari batch satu sampai dengan tak terhingga. Terlebih-lebih, label gratisan menjadi amunisi terbaik yang dilelang di setiap pembukaan kelas. Lantas bagaimana pola yang berlaku dalam aktivasi motivasi menulis secara komunal tersebut?
Pola pengondisian motivasi menulis secara komunal itu dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut yakni menampilkan role model, membuat surat pernyataan, penyisipan materi dasar, pembentukan kelompok dan pendisiplinan. Tahapan tersebut satu sama lain saling berkorelasi erat, sehingga jika tidak diikuti secara runtut (terlewatkan satu tahapan saja) maka akan berdampak pada tahapan selanjutnya. Bahkan jika kealfaan seorang anggota melampaui batas toleransi yang ditentukan maka dapat dikenakan diskualifikasi. Dikeluarkan dari grup.
Pertama, menampilkan role model. Role model yang diproyeksikan sebagai teladan umumnya adalah founder dari komunitas literasi itu sendiri. Meski pada kenyataannya yang bersangkutan itu hanya memiliki produktivitas karya tulis yang dapat dihitung jari. Jikalau tidak demikian, maka komunitas tersebut akan menampilkan role model lain yang masih memiliki relasi kental jika ditinjau dari persahabatan. Rekam jejak intelektual dan karya solo yang berlabel best seller tentu menjadi bahan pertimbangan akuratnya.
Ada persepsi akut yang berkeliaran di setiap batch: ditanam dan mengakar rumput di setiap kelas, bahwa apa yang menjadi gagasan dan support system yang telah ditetapkan oleh founder adalah aturan yang harus ditaati secara saksama. Sami'na wa atho'na kepada founder adalah kewajiban setiap anggota komunitas yang tergabung di dalamnya. Sosok founder ibarat oase di padang pasir. Kehadirannya adalah sosok yang dielu-elukan. Bak sebongkah lentera dalam kegelapan.
Sugesti komunal itu lambat laun mengondisikan dan mendikte semua anggota komunitas untuk mengikuti role playing. Role playing atas setiap aktivitas dan rentetan tugas yang harus dikerjakan dalam tenggat waktu yang terbatas. Penekanan atas role playing dalam benak personal ini hanya salah satu indikator yang tampak selain fanatisme buta, branding personal dan membangun citra positif melalui objektivitas sistem secara struktural.
Yang demikian itu dibuktikan dengan adanya kewajiban follow akun media sosial sang founder. Pasal pertama bagi setiap anggota baru yang bergabung dengan komunitas. Tidak hanya sampai di sana, bahkan manakala mengerjakan tugas, mendapatkan sangsi dan di beberapa kegiatan lain secara massif anggota wajib menandai (tag) akun media sosial sang founder. Upaya tanda-menandai dan follow akun media sosial ini tentu sangat berhubungan dengan melejitkan popularitas dan elektabilitas personal yang bersangkutan di dunia maya.
Ekspektasinya tentu popularitas itu akan terejawantah sebagai paradigma konkret di ruang publik. Alhasil, disadari atau tidak; mempertimbangkan kualitas atau tidak; melintas setiap batch atau pun sepanjang masa; maka citra positif terhadap founder akan ter-update secara otomatis. Nama dan rekam jejaknya akan melambung tinggi sekaligus melekat dalam setiap kepala. Namanya akan mudah dikenal massa. Tidak asing lagi jika berdengung di banyak telinga.
Mengenal dan mengikuti akun media sosial sang founder memang bagian vital; rukun komunitas baku bagi setiap anggota. Tidak bisa diganggu gugat. Ibarat hendak menaiki kendaraan umum maka kita harus tahu siapa sopir, bagaimana sepak terjang dan kualitas yang bersangkutan. Serta yang paling penting memahami betul rute perjalanan menuju ke arah mana. Begitu pun skema kerja yang diberlakukan dalam komunitas online tersebut. Kendati intensitas dan produktivitas karya masih patut dipertanyakan lagi.
Perbedaan mendasar itu tentu sangat kentara manakala kita membuat indikator perbandingan dengan komunitas literasi lain. Misalnya saja ditinjau dari menampilkan role model yang tanpa batas dan tidak memaksakan kehendak anggota untuk mengkultuskan sang founder. Kebebasan menjaring inspirasi, menentukan idola dan mencari lanskap teoretis terkait literasi di kamar atau kanal media lain sangat dianjurkan. Penempaan skill, pembentukan karakter dan pemberdayaan aktualisasi diri menjadi target buruan setiap personal.
Mantap mas Roni. Terimakasih ilmunya
BalasHapusSama-sama mbak. Terima kasih juga sudah mampir.
Hapus