Dokpri Flyer Ngaji Literasi edisi ke-10
Adalah buku Cengker Ramadhan yang menjadi bahan perdiskusian Ngaji Literasi edisi ke-10. Buku solo bang Woks (baca: sapaan Woko Utoro) ini ditulis dalam rangka menerjemahkan renungan harian Ndan Agus (baca: sapaan akrab untuk Imam Agus Taufiq) selama bulan Ramadan 2022. Alhasil posisinya harus ditegaskan di muka, bang Woks sebagai pensyarah dan Ndan Agus mendapuk tugas sebagai perenung.
Menyoal buku Cengker Ramadhan yang terbit 2022, hemat saya, terdapat beberapa poin menarik yang melingkupi buku minimalis tersebut. Kenapa disebut minimalis? Karena memang buku ini berjumlah 70 lembar termasuk sampul. Poin yang menarik untuk diulas di antaranya, yakni tentang kronik penerbitan, isi dan semangat yang diusung dalam buku tersebut.
Kronik Penerbitan yang Tertunda
Ada cerita menarik di balik tercetaknya buku ini. Secara fisik, buku solo tersebut dicetak mandiri. Mandiri karena memang penulisnya berusaha mengambil posisi anti mainstream. Tidak ingin ribet dengan sistem kerja yang dikelola penerbit minor ataupun mayor. Baginya, menulis harus giat dibudayakan sedangkan soal menerbitkan karya harus seminimal mungkin. Dua aktivitas yang dipandang berkelanjutan namun bergantung banyak pada keputusan penulisnya.
Paradigma tersebut saya kira tidak hadir di ruang hampa, melainkan tindakan preventif yang lahir dari kekecewaan dan desakan. Keduanya muncul dari arah dan sosok yang berbeda. Keduanya berada di circle yang saling beririsan meski kemudian keduanya bersepakat mengambil jarak, jarang berkomunikasi.
Pernah di satu waktu penulis mencurahkan keluh kesahnya, bahwa ia merasa digantungkan oleh pihak penerbit minor. Diberi harapan manis namun tak kunjung dieksekusi. Tentu saja penulis merasa sungkan jika kemudian harus melontarkan pertanyaan kepada yang bersangkutan bertubi-tubi. Padahal proses ijab kabul kesanggupan dan penyerahan naskah itu sudah melebihi satu semester.
Sementara di pihak lain terbitnya karya itu terus terang diidam-idamkan. Baik oleh pensyarah ataupun perenung. Bahkan saking membuncahnya harapan itu, pertanyaan kapan terbit menjadi menu favorit sarapan penulis setiap hari. Pertanyaan yang benar-benar membuat gelisah, gregetan sekaligus menuntutnya mengambil sikap tegas.
Tindakan mandiri diambil tegas penulis. Ketegasan itu dibuktikan dengan keputusan mencetak buku Cengker Ramadhan di foto copy salah seorang sahabatnya. Foto copy yang terletak di antara Matjeo Korean Grill dan pangkas rambut Anam Madura. Persisnya di depan kampus UIN SATU Tulungagung. Di sanalah buku itu dicetak mandiri dengan budget yang seminimal mungkin.
Sebenarnya jikalau penulis mau bersabar dan sedikit berjuang, bisa saja ia mengambil stok penerbitan buku solo gratisan di penerbit minor-indie. Tentu saja setiap orang sangat memungkinkan dan berpeluang mengambil kesempatan untuk itu. Terlebih lagi sekaliber bang Woks yang gayeng menulis setiap hari dan memiliki ciri khas gaya tulisan tersendiri.
Sangat mungkin juga, jika bang Woks percaya diri dan yakin dengan kualitas buku solonya bisa saja ia mengirimkan naskah ke penerbit mayor. Upaya tersebut dapat dimaksimalkan dengan mengandalkan jejaring persahabatan yang dimiliki. Namun sangat disayangkan, peluang untuk itu tidak sangat menarik baginya.
Ada dua hal yang masih menggantung dalam benak saya: apakah ia benar-benar sedang mempraktekkan qonaah dalam berkarya sesuai jurusan kuliahnya? Ataukah memang bang Woks sedang sekere itu? Wkwk (Tertawa tanpa emoticon julid).
Postulat dari cerita kronik penerbitan itu pecah setelah acara diskusi Ngaji Literasi edisi ke-10 dihelat. Kala itu saya menyangsikan ISBN yang terpampang di sampul bagian belakang buku. "Lah, katanya dicetak mandiri, tapi kok ada ISBN-nya?", tukas saya. "Cetak dewek looss Bos. Termasuk gawe ISBN apus-apus buat pemanis. Seng penting enek tulisan The Woks Institute", timpal bang Woks. "Hahaha", kelakar kami berhamburan.
Hikmahnya apa? Ada tiga hikmah yang bisa kita petik. Pertama, janganlah pernah membuat janji ataupun memberikan harapan indah kepada siapa pun jikalau kita tidak pernah mampu menepatinya. Kedua, jikalau sudah dipercaya dan diberi amanah maka tunaikanlah. Sebab, pemberian dan pelaksanaan atas amanah itu yang kemudian akan menentukan kualitas diri anda.
Terlebih-lebih menjanjikan dan dipercaya dalam menerbitkan karya seseorang tentu harus bergerak cepat karena berhubungan dengan update topik yang diwacanakan. Jika tidak demikian sama halnya kita mematikan potensi terpublikasikannya buku yang bersangkutan dalam skala luas. Selain itu, dengan memunda untuk penerbitan sebenarnya kita sedang memutus mata rantai rezeki sekaligus berusaha memadamkan obor persaudaraan--pertemanan; persahabatan--yang telah lama dibangun.
Ketiga, jangan keliru memilih penerbit. Dalam menerbitkan karya memang kita harus bersikap tegas, teliti dan cermat. Jangan sampai kita mengambil langkah dengan terburu-buru, penuh nafsu dan ceroboh. Sebab, jikalau polos--tanpa pengetahuan yang mumpuni perihal alur penerbitan buku--bisa saja kita dibuat dalam kondisi laa yamutu wa laa yahya sehingga naskah kita terbengkalai.
Masih dalam konteks yang sama. Jikalau tidak terbengkalai, mungkin kita masih ingat dengan kasus maraknya penggunaan ISBN palsu dan tipu-tipu. Kecurangan yang biasanya dilakukan oleh oknum penerbit minor-indie. Ingat, naskah yang kita tulis nasib penerbitannya tergantung keputusan penulis dalam memilih penerbit. Alangkah baiknya gunakan jejaring untuk mengorek informasi dan pengetahuan tentang alur penerbitan buku. Atau mungkin rekomendasi penerbit yang terpercaya.
Bersambung.
Tulungagung, 4 September 2023
Manntap, Mas RR. Tulisan yang cermat. Btw, salut dg kegiatan2 literasi di TA
BalasHapusTerima kasih atas BW nya master. Hehehe terinspirasi dari panjenengan master.
HapusKeren Mas Roni. KAMILA PRESS sbg Penerbit Indie siap jadi langganan join dg mas Roni. Mutu terjamin dan bisa dipercaya. Ayo buruan ada DISKON
BalasHapusTerima kasih atas BW nya Bah. Nggeh, siap menyampaikan solusi.
Hapus