Gema takbir terus terlantun, meluap di daun telinga hingga wujud hari kemenangan itu benar-benar tepat di depan mata. Meski demikian, gema takbir pun sempat mematung sejenak di waktu fajar, tepatnya dikala sang hamba menumpahkan kerinduannya di setiap sujud shalat subuh. Selebihnya takbiran itu kian melangit mengetuk-ngetuk pintu Rahmat dan Keridhaan Allah SWT., mulai dari terbitnya matahari sampai dengan waktu shalat Duha itu tiba. Waktu yang tepat di mana orang-orang diperbolehkan untuk menunaikan shalat Idul Fitri.
Sembari menunggu waktu duha itu tiba, khalayak orang akan dibuat sibuk dengan mempersiapkan sejubel perlengkapan shalat Idul Fitri, tak terkecuali keluarga kami. Tepat setelah menunaikan shalat subuh berjamaah, semua perlengkapan itu harus segera tersedia.
Akhirnya kami memutuskan, masing-masing anggota keluarga pun harus saling bekerjasama. Saling bekerjasama untuk menyempurnakan persiapan yang harus tertata dan ada di hari raya. Ibu mulai sibuk mempersiapkan urusan dapur, bagaimanapun dapur harus tetap mengepul guna mencukupi dahaga di hari raya. Bapak dan adik perempuanku bertugas membereskan rumah; menyapu, mengepel dan membereskan sudut-sudut rumah yang nampak sedikit berantakan. Aku sebagai anak tertua, bertugas mempersiapkan pakaian untuk shalat Ied; mulai dari mencari, menyetrika dan menatanya sedemikian rupa. Sementara si bungsu sibuk menata toples jamuan di meja, yang setelahnya bergegas untuk mandi.
Tatkala kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sementara sang waktu tak pernah mampu bersabar dan lihai memberi kelonggaran, ia terus bergulir dengan penuh cekatan dan keterburu-buruan. Masing-masing di antara kami pun tidak mau kecolongan, alhasil setelah pekerjaan rampung, dengan sigap harus memasuki kamar mandi secara bergantian. Bagaimanapun masing-masing kita harus menghadap-Nya dengan penuh kesucian; lahir maupun batin. Untungnya, di rumah kami tersedia dua kamar mandi, sehingga tidak butuh waktu yang lama untuk mengantri. Sungguh tidak terbayangkan, bagaimana nasib mereka yang harus mengantri begitu panjang di luar sana disebabkan tidak adanya satupun kamar mandi di rumah.
Hari kemenangan benar-benar masih seumur jagung namun telah banyak hal yang kami persiapkan. Rasa-rasanya, kini keluarga pun nampak kompak saling bahu-membahu, disiplin dan bertanggungjawab atas satu sama lain. Setelah masing-masing kami mengenakan seragam untuk shalat Ied, kami pun memutuskan untuk bergegas menuju mesjid.
Mesjid agung itupun tidak begitu jauh dari rumah kami. Atas dasar alasan itu pula kami bersepakat untuk berjalan kaki.
Waktu masih menunjukkan pukul enam tiga puluh, namun kami harus berusaha mencari tempat duduk yang tepat. Terlebih lagi, apabila mengingat sholat Ied itu kini dilakukan dengan berjarak. Keadaan berjarak itu pulalah yang mendorong di antara jama'ah harus berlomba-lomba. Bagaimanapun sekat-sekat sebagai jarak itu akan banyak memangkas luasnya tempat, sehingga ada kemungkinan besar pengurangan jumlah jamaah. Ataupun berkurangnya ruang yang layak untuk menunaikan shalat Ied. Tidak heran, ini adalah protokol ketat yang berlaku sebagai jelmaan antisipasi keselamatan.
Meskipun demikian, syukur Alhamdulillah di wilayah kami masih bisa mencicipi shalat Ied berjamaah di mesjid. Meski dengan sedikit catatan, kami harus mengedepankan dan mengindahkan peraturan pemerintah, dimana dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan protokol keamanan yang berlaku. Tetap saja, bagaimanapun ini adalah suatu keberkahan, sebab di beberapa wilayah yang ditetapkan sebagai zona merah menghelat sholat Ied berjamaah di mesjid sangat tidak diperbolehkan.
Bagi kami--kalangan beruntung-- yang masih bisa menghelat shalat Ied berjamaah di mesjid harus siaga dilengkapi atribut keamanan secara mandiri, seperti; mengenakan masker, membawa sajadah dari rumah, menjaga kebersihan diri, mencuci tangan dan jangan sampai bersentuhan.
Rangkaian shalat Ied pun dijalankan sebagaimana rukun dan syaratnya yang berlaku. Menunaikan shalat dua raka'at; raka'at pertama dengan tujuh takbiratul ihram sementara dua raka'at lima takbiratul ihram, seuai shalat disambung dengan mendengarkan khotbah. Isi khotbah Ied Mubarak tahun ini tidak hanya sekadar mengingatkan atas suka cita, melainkan diimbangi dengan himbauan untuk terus mawas diri dan hati-hati. Menjaga kebersihan dan kesehatan masing-masing diri adalah nasihat yang ditekankan.
Durasi dalam pelaksanaan shalat Ied dan khotbah pun lebih diringkas lagi, tidak begitu leluasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Di akhir khotbah-shalat Ied, himbauan keras dilayangkan, masing-masing orang sangat tidak diperbolehkan untuk bermusyafahah di antara jama'ah. Alhasil, saling memaafkan pun hanya dilakukan sebatas simbol verbalis yang diwakili oleh imam.
Sebagain besar orang menggerutu dan mengeluhkan himbauan itu sembari tersenyum saling celingukan. "Ah, di sini kan tidak ada Corona, selain itu tidak ada warga asing--yang dalam perjalanan-- singgah. Tidak ada juga warga yang sakit atau menunjukkan gejala terjangkit Corona", sergahnya. Keluh-kesah mereka hanya menguap begitu saja, lenyap seketika seiring berhamburnya keluar jemaah.
Sangat terasa, shalat Ied tahun ini yang digelar tanpa bermusyafahah dan tanpa linangan air mata yang menetes, rasa-rasanya menjadi sesuatu hal sakral yang kurang afdhal. Ah, apa daya semua protokol itu dilakukan untuk kebaikan bersama.
Terkait dengan sesuatu hal sakral yang kurang afdhal. Apakah mungkin ini hanya benak saya semata yang terperangkap dalam seutas tali sakralitas kebudayaan?.
Komentar
Posting Komentar