Hampir mendekati genap setahun saya berhasil menunda kehendak untuk mereview hasil pembacaan atas sebuah buku. Tepat pada bulan Agustus dua ribu sembilan belas, saya telah khatam membaca buku tersebut. Berjudul, "Ayahmu Bulan, Engkau Matahari" Kumpulan Cerpen, adalah anak produktivitas kesekian Ibu Lily Yulianti Farid. Seorang jurnalis kawakan yang berpengalaman halang melintang di jagat peliputan dan penulisan.
Beliau (red; Lily Yulianti Farid, penulis) sendiri merupakan pecinta dunia kata yang gemar menulis cerita sejak bersekolah di putih biru, SMP. Hobi yang kemudian menjadikannya sebagai jurnalis terkemuka di harian Kompas, spesialis program Indonesia untuk Radio Jepang NHK (Tokyo) dan di Radio Australia ABC (Melbourne). Sebuah hobi yang mengantarkannya menjadi Alumnus penerima Australian Leadership Award pada program doktoral Universitas Melbourne di bidang gender.
Selain itu, beliau juga founding father Rumah Budaya Rumata merangkap sebagai Direktur Makassar Internasional Writers Festival. Sebutkan saja, semacam grup yang mewadahi para pecinta dunia literasi, yang kemudian memiliki suatu program untuk memfestivalkan hasil buah tangan mereka. Dalam waktu yang bersamaan, mereka sekaligus berusaha menebarkan virus-virus budaya membaca dan menulis pada khalayak ramai.
Oke, kita skip dulu membicarakan profil penulis buku tersebut. Sekarang, izinkan saya mengais-ngais ingatan lama yang telah mulai menumpul. Mari kita menginjak pada cerita tentang bagaimana saya mendapatkan buku tersebut.
Bermula dari story WhatsApp (red; WA) salah seorang mantan pacar, eh salah, maksudnya mantan customer pada usaha kecil-kecilan stand photo wisuda saya dan kawan-kawan pada tahun 2018 silam. Sebagai contact person stand photo wisuda yang terpampang di selembar pamflet, secara otomatis saya bertugas menyimpan semua nomor customer yang melakukan order. Alhasil, ada beberapa dari sebagian customer yang menyimpan nomor WA saya. Entah itu terpaksa atau mungkin hanya berjangka waktu sebatas keperluannya semata, selebihnya delete!.
Pada saat sama-sama telah saling menyimpan nomor itulah ada beberapa story WA baru yang kerap kali menghiasi akun media sosial milik saya. Tidak hanya satu-dua story akun baru yang sempat saya tengok, melainkan hampir semua story terlumat habis tak bersisa.
Awalnya, semua story mantan customer itu biasa-biasa saja, tak ada bedanya dengan mereka-mereka yang girang kepalang karena kelulusannya. Pajang foto sana-sini bersama keluarganya, ekspresi wajah sumringah dengan kawan-kawannya, pamer seberapa banyak hadiah wisuda hingga unggahan ter-so sweet-nya dengan si dia calon pendamping hidup yang terus disemogakannya. Tidak lupa pula, bumbuhan caption "happy graduation" sebagai penyempurna tersematnya gelar sarjana di ujung nama.
Selang beberapa bulan setelah wisuda, secara tidak sengaja saya menemukan story WA salah seorang customer yang hendak menghibahkan dua buku. Sontak, saya langsung kepincut. Di-swipe-lah kolom komentar. Tanpa bertele-tele, saya pun langsung melayangkan kalimat penegasan, bahwa saya tertarik untuk memilikinya. Dengan reflek, Customer itu membalas chat saya dengan sedikit mendeskripsikan sinopsis isi buku sekilas. "Buku yang satu berisikan cerpen, sementara buku yang satunya lagi novel terjemahan yang agak njlimet", tukasnya dalam chat. "Oke, kira-kira bisa diambil kapan? Hari apa? Jam berapa dan dimana?", isi balasan chat saya.
Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan. Dua hari kemudian, sang customer meluncur ke kosan saya dengan menenteng dua buah buku dan sebungkus kopi hitam sebagai bonus. Saya menyambutnya dengan senyum kegembiraan yang terwakili dengan celoteh, "wah, terimakasih banyak buku dan kopinya ya, kok baik men to Saman". Kami pun sempat hanyut sejenak dalam perbincangan sebagai tanda keakraban, hingga akhirnya beberapa saat kemudian saling berpisah, kembali ke kediaman masing-masing. Nah, min haitsu la yah tasib kan?. sing enak ki panggah gratisan, qoute tetangga kosan.
Setelah berada dalam genggaman tangan, saya niatkan untuk mengkhatamkannya dalam waktu dekat. Ah, apalah daya, niat tinggalah niat, terkadang saya lebih sering tidak berhasil membujuk diri untuk ngemil lembar demi lembar secara konsisten. Alhasil, hanya baru beberapa lembar saja yang sempat terbaca. Namun, tatkala moodnya lagi naik, biasanya saya langsung tancap gas. Apalagi kalau sudah tertarik pada alur cerita dan penasaran dengan ide-ide yang dituangkan di dalamnya.
Selanjutnya, mari kita selami sedikit isi buku tersebut. Buku ini berisikan tujuh belas cerpen yang ditulis di beberapa tempat persinggahan tugas kerja penulis. Ada cerpen yang ditulis di Tokyo, di Australia, di Beijing dan ada pula yang ditulis pada saat beliau di Jakarta. Dari sini, beliau seakan-akan sedang mencambuk dan menghardik saya yang kerap kali menunda-nunda untuk menulis. Menunda-nunda berarti jalan mulus untuk melupakannya dengan sengaja. Membiarkan berbagai jenis ide potensial yang mahal--karena jarang-- bebas berhilir-mudik melintas di kepala tanpa merekam dan mengabadikannya. Pesan tersurat penulis di sana hanya satu, dimana pun, kapanpun pun sedang apa, kalau ada ide brilian yang melintas di kepala, tulislah. Tulis! Tulis! Tulis!.
Sebab begitulah cara yang dilakukan oleh penulis. Kebanyakan alur dan latar belakang cerita yang disodorkan tidak lepas dari kontekstulitas gejolak sosial, masyarakat, politik, kebudayaan, ekonomi dan serba-serbi yang menampakkan diri pada common sense dan keterbukaan dirinya--kepekaan diri-- terhadap lingkungan sekitar. Hal itu, tidak lain tertanam dalam-dalam secara otomatis dari hobinya sebagai jurnalis yang kerap kali meliput suatu persoalan di lapangan.
Tidak percaya? Mari kita buktikan. Dari tujuan belas judul cerpen yang ditawarkan, saya dibuatnya tercengang. Bagaimana tidak, semua alur cerita, tokoh utama yang berbeda dan cara menuang gagasannya berakhir pada satu simpulan yang sama. Penulis hendak mengeja kembali sosok perempuan dalam semua aspek kehidupan yang telah carut-marut dan menggila di dunia nyata. Bahkan, jika ditelisik lebih mendalam, semua tokoh utama dalam tujuh belas cerpen itu diperankan oleh sosok perempuan. Sementara keberadaan laki-laki dalam alur kisah sangat mengenaskan, melulu dinegasikan. Itu pun perannya sebagai premis minor. Selebihnya babakan peran yang panjang kali lebar dikuasai perempuan, premis mayor.
Dalam konteks penuangan alur kisah dalam setiap cerpen ini adalah wujud keterbalikan dari dunia nyata yang berjenis kelamin patriarkal. Nampaknya, penulis dengan sengaja hendak mendefinisikan kembali ruang gerak--pembagian ruang kerja-- sekaligus menetralkan kembali interpretasi atas perempuan dalam dunia yang bebas. Dunia yang tak melulu harus memuja dan menjadi milik seorang lelaki. Melainkan, dunia kata yang dalam setiap alur cerpen itu menjadi milik perempuan seutuhnya. Sosok perempuan seutuhnya yang mewujud sebagai makhluk hidup yang paripurna di dunia.
Pendeskripsian itu tersematkan sempurna dalam karakter setiap tokoh utama yang dimainkan perempuan. Seperti halnya tokoh; Jannah (perempuan dari surga); Rie yang sangat setia dan jujur; Maryana tukang Mie Pangsit ayam yang mandiri, teguh dan tegas dalam mengambil keputusan; Sora perempuan cerdas, imajinatif dan penuh kasih sayang; Marraya perempuan pintar dan penuh perihatin atas kehidupan yang tak ada dua; Nayu gadis cantik yang suka akan kesederhanaan. Dan lain sebagainya.
Sementara pendeskripsian peran yang dimainkan laki selalu diposisikan berkebalikan dari perempuan. Ayah Jannah misalnya; yang matinya dalam ketidakpastian. Kisah yang berjudul "Ruang Keluarga", menempatkan sang ayah dalam kenistaan sebagai koruptor. Rei, lelaki lemah yang tak pernah memiliki komitmen dan keberanian yang tinggi dalam mengambil keputusan. Akoh, lelaki bejat tukang selingkuh. Dan para tentara Israel yang setiap detik membunuh perempuan hamil di perbatasan.
Sampai di sana, saya pikir penulis telah berhasil membawa pembaca pada pola pikir yang baru dalam menginterpretasikan sosok perempuan dan laki-laki. Berazaskan kepingan pengalaman analisis di lapangan, beliau berani mendobrak bangunan tinggi kebudayaan yang telah mengerah di permukaan.
Lebih jauh, saya melihat, usaha beliau dalam meracik masing-masing alur kisah itu tidak semata-mata bersumber dari imajinasi dan pengalaman pribadi, melainkan bertumpu pula pada lambaran wawasannya yang luas akan feminisme. Bagaimanapun penjabaran dari setiap cerpennya melintasi tantangan dan solusi yang ditawarkan oleh masing-masing aliran feminisme. Mulai dari aliran liberal, radikal, postmodern, anarkis, marxis, sosialis, postkolonial hingga Nordik.
Ah sialan, pada akhirnya hasil pembacaan atas buku itu mengingatkan saya kembali pada masa-masa di mana mengkaji teori feminisme di lokal yang telah udzur adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sementara Rosmarie Tong dan kawan-kawan sebagai tokoh kunci yang telah membukakan daun pintu masuk menuju kesadaran baru saya sebagai lelaki.
Tertanda, lelaki yang jauh dari kata sempurna.
Tulungagung, 22 Juni 2020.
Karena mampir disini sy jadi tau halaman blog sy
BalasHapusKeren meski cm baca sekilas
Ooiiih... Makasih banyak mbak telah mampir, meskipun hanya sekadar memastikan alamat blog-nya yang hampir kelalen. Heuheu
BalasHapusCiamik sekali bang ulasannya, renyah...
BalasHapusEnggeh terimakasih mbak. Tasek belajar niki. Terimakasih sudah mampir.
BalasHapusSeperti biasa, saya selalu suka cara Bang Roni bercerita. Bang kalau samean mau hibah buku, boleh lah saya dihubungi. Wkwkwk
BalasHapusLah dalah, bukannya saya pelit Ning, saya saja masih banyak kekurangan koleksi buku Lo.. kita tunggu, barangkali saja ada orang berbaik hati -pembaca- yang hendal menghibahkan buku, kami siap menampung.
Hapus