Langsung ke konten utama

Edisi Kondangan; Antara Eventful Man dan Event-making Man

Pasca kelulusan kuliah ada banyak teman saya yang memutuskan untuk menempuh hidup dengan berkeluarga. Satu-persatu di antara mereka, ternyata diam-diam telah merencanakan cita-cita kehidupan versi dirinya yang disebut dengan "kebahagiaan", dan semua itu bermula dari menjalin suatu hubungan, sebutkan saja hal itu dengan pacaran. Pacaran yang kemudian melenggang ke arah hubungan yang lebih serius dan intim.

(Loh apa itu pacaran? Sejenis makanan yang enak buat camilan ya?. Atau sejenis permainan yang bisa membuat kita bahagia terus-menerus ya?. Mau dong kalau begitu. Si aku yang sedang pura-pura lupa, persis seperti lagunya Mahen).

Oiii, kalau demikian, jadi selama ini mereka (red; yang berpacaran) menapaki hingar-bingar kehidupan dengan bergandengan tangan??? Hemmm.. bisa jadi. May be yes, may be no. Termasuk di dalamnya menumpahkan keluh-kesahnya, gejolak nafsu di dada dan ekspresi kehidupannya sama si do'i yang disanjung. (Kok malah ingat bagaimana realita kehidupan kampus di masa remaja menuju masa dewasa awal ya. Lah dalah kok malah keceplosan curhat masalah pribadi ya. Hey, maafkeun).

Tidak ketinggalan, tatkala bejibun tugas kuliah menyapa, sudah barang tentu dong dia curhat sama si do'i. "Sebentar ya, mau ngerjain tugas kuliah dulu, ya beb", demikian mungkin gambaran pungkas chatting-nya.

Ah, Syukur-syukur kalau si do'i ternyata lebih peka dan bercita-cita untuk turut berpartisipasi aktif mengerjakan tugasnya. Belum lagi nanti kalau butuh apa-apa diturutin. Dan kalau jalan ini-itu dibeliin, ditraktir. Wah, top markotop pokoknya, calon imam seperti itu tuh yang diidam-idamkan. Eh, masa iya si??? May be. (Bagi yang lebih paham dan sudah berpengalaman bolehlah ngasih usulan, kritik dan saran. Asalkan jangan keterlaluan, hingga sampai hati memberi bocoran kisi-kisi pacaran baik dan benar. Loh kok nyerocosnya makin akut ya. Igfirlanaa...).

Oke kita skip dulu cerita tentang si virus  merah jambu. (Persis judul buku yang pernah saya baca pada beberapa tahun silam, tapi entah siapa pengarangnya). Nah, yang lebih penting, sebenarnya, saya melihat ada banyak alasan kenapa orang-orang lebih merasa percaya diri tatkala mereka memiliki calon pasangan hidup, (red; pacaran). Utamanya tatkala seorang anak menginjak remaja hingga dewasa, lebih tepatnya tatkala menjadi pelajar ataupun mahasiswa/i di salah satu kampus. Enggak percaya ya???

Oke mari kita mulai dari hal yang sederhana dulu. Kenapa si tatkala seorang pelajar pergi ke sekolah harus dandan berjam-jam. Parfumnya sebotol plus pakai make up lagi?. Kalau ia seorang mahasiswi kenapa si harus memakai pakaian serba trendy??? Bahkan "mode banjir pun aktif" dan "bahkan bajunya yang sudah sempit masih saja dipakai" (red; fashionable tapi kekurangan bahan). Pun pakai gincu yang merona, make up yang ternama dan parfum yang harganya selangit hanya untuk masuk kampus?. Tentunya dong, tanpa ikut kelas kecantikan yang diselenggarakan oleh salah satu organisasi yang ada di kampus pun, pasti sudah buka tutorial di YouTube sendiri. Enggak percaya kan? Coba tanyakan saja sendiri.

Nah, sementara kalau mahasiswa, kenapa kalau berangkat ke kampus rambutnya harus kelimis??? baju dan celananya harus yang necis dan bermerk, jam tangan dan sepatunya branded serta yang terpenting tunggangannya, ya harus nampak 'cowok bangetlah'. Alamaaak macam mana pula kali aku ini, kok malah buka-bukaan aib, eh.

Dalam pandangan dan penilaian yang sepintas akan hal itu; setiap orang seakan-akan mereka sedang berlomba-lomba menjadi ambasador brand tertentu. Bahkan akan sangat kentara lebih spesifik lagi tatkala kita membicarakan masalah gawai dan laptop yang mereka koleksi.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa bagi sebagian orang, memang penampilan dan polesan luar itu nomor satu, soal "isinya mudah dikondisikan", (red; fleksibelitas). Nanti kalau punya pacar pintar kan bisa diandalkan. Ah, ngapain ngoceh sana-sini sampai mulut berbusa-busa ngomong di kerumunan orang, (red;diskusi) Ngapain pula macak sok penting wira-wira ikut organisasi yang tidak menghasilkan uang. Apa iya ikut organisasi bisa bikin cepat kaya???.

Ah, ini loh mendingan berpikir simpel seperti saya. Mahasiswa/i itu yang penting berangkat, macak apik ben ditaksir, (kan enak kalau punya pacar keman-mana ada yang nemenin), kalau jam kuliah kosong yang pulang ke kos langsung tidur. Atau kalau enggak, ya mendingan cari kerjaan, biar nanti pas malam minggu bisa kencan sama si do'i. Terus kalau sudah lulus langsung nikah. Gitu kan enak tohh??.

Enggak usaha khawatir, takut dan kelabakan kalau ditanya kapan nikah sama orang-orang. Apalagi tatkala lebaran tiba, alamat jadi bahan cibiran. Iya gak?. Terlebih lagi, kalau lingkungan hidupnya termasuk wilayah kekuasaan golongan pragmatis. Semua gerak-geriknya harus sesuai kelaziman khalayak yang terjadi di sana. Sebutkan saja mereka sebagai eventful man (manusia peristiwa) yang digadang-gadang oleh Sidney Hook. Seorang filsuf Pragmatisme-- Amerika, yang bernasabiah langsung dengan  John Dewey.

Dalam Magnumopus-nya yang sudah dapat dikategorikan klasik, "The Hero in History", cetakan pertamanya diterbitkan pada tahun 1943, Hook menegaskan; tatkala manusia dihadapkan kontinuitas kehidupan maka akan berhubungan erat dengan carut-marutnya sejarah. Dalam hal ini, ada dua jenis manusia, yaitu evenful man (manusia peristiwa) dan event-making man (manusia pencipta peristiwa).

Manusia peristiwa ini merupakan sosok yang sangat kental dengan kelaziman manusia pada umumnya. Mereka larut dalam setiap peristiwa yang disodorkan dunia apa adanya. Mereka hanya terus bekerja dalam upaya menyukupi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Mereka mengerjakan tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan kapasitas kemampuan masing-masing. Tidak ada upaya nyungsang balik bawana (red; istilah orang Jawa menyebutkan). Mereka pemilik kasab yang sama rata seperti pada umumnya, biasa saja. Berperan ganda sebagai operator sejarah sekaligus sang eksekutor rancangan sejarah yang dicetuskan oleh event-making man.

Sementara jenis manusia pencipta peristiwa, adalah orang-orang yang menciptakan sejarah. Mereka-mereka yang dipandangan sebagai pahlawan. Orang-orang yang dianugerahi kemampuan yang lebih dalam melakukan kasab terhadap segenap urusan dengan memiliki derajat yang lebih dari umumnya, tinggi. Pemilik derajat kemampuan dan kebebasan yang luar biasa, sehingga mampu mengendalikan setiap kejadian peristiwa, semua tindakannya tidak dikuasai peristiwa. Justru ia memiliki kemampuan membelokan kemana muara sejarah itu berjalan seharusnya. Bending the course of History, menciptakan sejarah dengan warna yang baru.

Dalam menyikapi teori Hook, Ulil Abshar Abdalla berpandangan bahwa pengkategorian itu dapat disamakan dengan istilah Kasab yang berlaku dalam akidah As'ariyyah yang lazimnya dianut oleh golongan Sunni. Istilah yang diciptakan untuk menggambarkan segala kemampuan yang terbenam dalam benak manusia, begitu teolog As'ariyyah menegaskan. Istilah kasab ini kemudian disepadankan oleh Ulil Abshar dengan makna term agency.

Meski demikian, baginya (red; Ulil Abshar) dalam setiap peristiwa kehidupan tidak ada sekat yang bias di antara keduanya. Sebab, bagaimanapun peran eventful man dan event-making man adalah penjelmaan hukum alam (sunnatulallah) yang saling melengkapi dan berkebutuhan dalam proses panjang berlangsungnya kehidupan. Dan saya setuju dengan pandangan beliau. Bukankah Tuhan menciptakan perbedaan di atas muka bumi untuk menampilkan keindahan? Bukankah Tuhan menyisipkan pengetahuan akan kekuasaan-Nya melalui perbedaan?. Bukankah Tuhan menyeru manusia untuk merenungkan apa-apa yang ada di muka sebagai pembelajaran?. Keagungan samudera pengetahuan-Nya akan tersingkap bagi mereka yang mau berpikir.

Kembali pada pembahasan. Sebaliknya, tapi bagi para penikmat kopi kehidupan ala kadarnya dan suka survive (red; anak rantau), perhiasaan itu tidak lebih dari sampiran belaka. Sebab bagaimanapun urusan luar mudah diatur tatakala sudah saatnya tiba. Justru sepantasnya tugas kita hanya mematutkan diri saja, layaknya sebagai pencari ilmu yang berusaha mengagungkan ilmu dengan kehormatan penampilannya. Berpakaian bersih, suci dan serapi mungkin sudah cukup. Menenggelamkan diri dalam samudera ilmu dengan sungguh-sungguh itu yang terpenting; gemar berdiskusi dengan teman yang lain, mengkaji ilmu, banyak membaca dan aktif bergerak di organisasi yang diminati itu penting. Dalam konteks ini mereka yang suka survive atas hidup dapat dikatakan sebagai penganut madzhab event-making man. Berusaha keras mengupgrade keadaan diri. Kasabnya adalah upaya menembus titik maksimum kemampuan diri.

Tolong dicatat ya. (Sejauh ini saya hanya sedang menukil paparan isi kitab Ta'alim Muta'alim bagian pembahasan abadul muta'alim karya Syaikh Ibrahim Bin Ismail).

Toh, tatkala telah lulus nanti apa Anda yakin akan langsung mendapat pekerjaan di tempat yang diidamkan?. Duduk manis dengan mengenakan dasi sembari tertawa lepas, menyilangkan kaki sekemauan. Mungkin iya kalau Anda anak penjabat, pandai berjejaring atau memang Anda punya sanak famili yang dapat diandalkan. (Namun, jika Anda yakin, sudah barang tentu keyakinan itu harus disertai perjuangan dan aksi di lapangan).

Hello..., Mungkin iya Anda alumnus dari kampus terakreditasi A sekaligus memiliki transkrip nilai selama kuliah bagus-bagus, A+ tanpa cacat adanya nilai B-. That's greatest. Tapi apa iya itu bisa menjadi modal yang cukup untuk menjamin kehidupan Anda menjadi lebih baik?. Apalagi tanpa dibekali modal soft skill apapun. Tanpa memiliki relasi-jejaring yang baik dan luas di antara sesama yang lain. Serta tanpa berbekal pengalaman yang berkesan di lapangan.

Lah, kalau begitu enak dong ya yang sudah punya calon pasangan hidup. Terlebih lagi kalau ternyata si do'i-nya berasal dari keluarga "yang berada" (red; mapan) Lulus kuliah langsung dipaksa nikah, terus dikasih pekerjaan sama mertuanya. Eh, kebablasan kalau halusinasi. Maafkeun saya yang halu.

Itu untuk kasus mereka ya bernasib beruntung lo ya. Bukan secara keseluruhan dan keumumannya yang berlaku. Ah, apa daya, bagi Anda yang sudah panggil Ayah-Bunda, Papa-Mama, Abi-Umi, dilalah ditinggal rabi (nikah) ambi wong liyo. Atau memang hubungannya kandas di tengah jalan. Jika terlanjur demikian, selayaknya mulai dari sekarang ada baiknya menerapkan pola hidup survive dan tentukan agenda-agenda penting untuk move on, move, move, move and change your life as agency. Make yourself to be event-making man. (Eh, antum-antum yang ahli bahasa Inggris tolong ya itu kalimatnya diedit, kalau perlu luruskan ke arah kiblat).

Nah, dari gambaran di atas, mungkin anda sendiri sudah bisa menerka-nerka dan mendapat sinyalmen terkait lambar alasan kenapa orang lebih percaya diri punya pacar tatakala menjadi mahasiswa/i, bukan?. Selanjutnya keputusan hendak menjadi apa dan mengambil pilihan mana berada di tangan Anda.

Ups, maaf saya tidak bermaksud untuk menilai dan membanding-bandingkan satu sama lain, utamanya tidak hendak menghakimi kehidupan orang lain. Ini hanya sebatas gubahan ide yang sempat terlintas di benak saya semata. Adapun apabila ada kesamaan alur kisah dengan pengalaman hidup Anda, itu hanya kebetulan saja. Nah, inilah contoh kalimat penutup yang biasanya digunakan dalam sinetron-sinetron ataupun dalam FTV. Heuheuhu.

Ah, membual tentang cinta itu tidak akan ada habisnya. Bagaimana mungkin coba? Kita akan memalingkan cinta dari nafas-nafas kehidupan. Sementara kita semua senantiasa hidup karena nafas panjang curahan cinta-Nya.  Kalau meminjam istilahnya Michel Foucault, sebutkan saja cinta itu diibaratkan Panopticon. Sudahlah, mendingan saya membedah souvernir hasil kondangan dulu, barangkali saja itu bisa membuat hidup saya lebih happy. Yang enak itu, membedahnya sambil nyeruput kopi. Nah jadi ngiler kan?.

Kata-kata mutiara cinta: "Dulu tatkala saya waktu kecil lihat orang dewasa pacaran, tatkala saya dewasa lihat anak kecil pacaran".

Tulungagung, 23 Februari 2020, disunting kembali pada 8 Juni 2020.
Tertanda tukang ghibah Hasanah.
-Dewar Alhafiz-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal