Gerimis di pagi ini mengingatkan saya kembali pada aktivitas kemarin sore. Mungkin benar, jika kita berasumsi bahwa hujan di pagi hari ini masih memiliki nasabiah yang sama dengan rintik hujan kemarin sore yang datangnya berkeroyokan.
Lebatnya bukan main, kedatangannya disertai intensitas angin kencang yang tak berpola malu-malu berhembus, hampir membuat saya mengurungkan niat untuk meneruskan perjalanan.
Untungnya, jas hujan warna hijau yang berhias bulatan putih kecil unyu itu telah saya siapkan sedariawal pemberangkatan dari kos.
Ingatan saya masih waras betul, jas hujan itu saya lipat meskipun dalam kondisi basah. Maklum saja, kurang lebih pukul 15.20. Wib barang itu menjadi teman baik perjalanan pulang saya dari tempat kerja di daerah Pinka.
Ada kemungkinan hujan itu menarik nafas sejenak (red; reda) kurang lebih 40-50 menit sesaat setelah saya sampai di TPQ an-Nur Loderesan Ringin Pitu. Waktu yang cukup singkat itu, selanjutnya berusaha saya maksimalkan untuk mengajari 11 orang anak. Dengan rincian 6 orang santri dan 5 orang santriwati.
Ya, memang sedikit jumlah santri yang hadir tatkala musim hujan menyapa. Belum lagi ditambah dengan kegiatan less mereka yang berbentrokan dengan jadwal ngaji di TPQ.
Tidak hanya santri, nyatanya musim hujan juga lebih sering menyekap niat para astidznya untuk lebih memilih meliburkan diri. Ah, alasan klasik. Ups, so sorry.
Tak banyak memang materi yang disampaikan di sore itu, terlebih lagi mengingat pukul 17.00 wib saya juga punya tanggungjawab dan tugas harus tertunaikan. Alhasil, saya hanya mengajari mengaji Al-Qur'an dan jilid. Selepas itu berdo'a, musyafahah dan dipungkas dengan sayonara.
Lagi dan lagi, jas hujan yang belum kering itu harus dilipat kembali dan dimasukan ke dalam bagasi jok sepeda motor matic saya. Nampaknya tak perlu saya sebutkan Vario 125 keluaran tahun 2014 itu merek motor maticnya. Eh, malah keceplosan. Maaf.
Sekelebat saya mengintip jam yang terpampang di wallpaper smartphone. Saya harus betul-betul memastikan jam berapa tatkala itu, sebab petualang hari itu belum selesai.
Dengan sesegera mungkin, saya memantapkan niat untuk menuju ke PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Pancasila di Sobontoro. Mulai dari mesjid An-Nur, hujan tak menampakkan batang hidungnya lagi, namun punggungnya masih saja menggumpal gelap.
Benar saja, sang hujan nyatanya masih senang bergandeng tangan dengan sore yang semakin larut. Baru saja, kurang lebih 2 km perjalan, si rintik itu menyapa kembali dan si hijau andalan pun dengan segara saya kenakan kembali. Tatkala itu, pohon di pinggir jalan menjadi tempat transaksi saya dengan si hijau.
Perjalan pun saya lanjutkan kembali, namun ternyata semakin jauh menuju ke arah barat, hujan yang disertai hembusan angin seolah-olah sedang merongrong keberanian saya untuk memacu sepeda motor dengan penuh hati-hati.
Rasa-rasanya, sesekali saya merasa akan terhempas oleh hembusan angin yang terus-menerus menerjang. Namun, jam yang terus berputar itu menjadi alarm kencang untuk meneruskan perjalanan tatkala itu.
Menarik gas sembari berlomba dengan waktu. Berhati-hati sekaligus mengais-ngais serpihan keberanian diri untuk melawan derasnya hujan. Ah, ini bukan tentang persoalan melawan sunattullah tentang meresap air hujan ke dalam tanah ataupun mengalirkannya ke laut melalui gorong-gorong. Ups.
Hampir menguras waktu 20 menit lebih untuk sampai di tempat tujuan. Namun derasnya si rintik tetap saja tidak mau mengakhiri keasyikannya untuk bersua. Ah, tak apa, toh saya sudah di tepat yang beratap.
Tempat duduk yang kosong itupun dengan segera saya sergap. Rasa khawatir yang bersemayam di dalam pun perlahan-lahan saya hempaskan. Letih pun saya gantikan dengan senyuman dan semangat baru, mengingat di sana telah hadir empat orang warga belajar yang telah standby sedari tadi.
Bekal air bening di botol itu pun sedikit melepaskan letih-dahaga saya. Nah, ternyata tak lama kemudian mbak Rully menyeduhkan teh manis hangat. Serangan teh hangat itu pun seolah rambu-rambu lampu hijau untuk saya membuka sesi pertemuan sore itu.
Oh iya, sore itu saya sharing mata pelajaran bahasa Indonesia dengan topik pembicaraan 'teks negosiasi'. Pada sesi pertama sama mereview materi minggu kemarin yang belum lengkap. Sementara pada sesi kedua, saya berusaha meramaikan suasana kelas dengan praktek menulis.
Ya menulis. Menulis apapun itu topiknya tak harus berkaitan dengan topik materi yang sedang dibahas. Sengaja saya membebaskan warga belajar untuk menumpahkan semua angan-angan, perasaan dan keluh-kesahnya. Setidaknya mereka (beliau; karena ada pula warga belajar yang lebih sepuh dari saya) akan lebih menyadari bahwa menulis juga bisa menghilangkan beban kehidupan yang telah lama dipikul.
Alhasil, saya pun berusaha mengevaluasi semua tulisan terkumpul. Dari sana, saya melihat ada berbagai potensi yang mereka miliki dan selama itu terpendam.
Secara garis besar saya membuat beberapa simpulan. Pertama, setiap orang memiliki potensi besar untuk menjadi penulis. Setidaknya menjadi penulis utama dalam menceritakan dan mengabadikan setiap penggal kisah kehidupannya.
Kedua, bahkan tiga orang dari tujuh warga belajar yang hadir memiliki potensi dalam menulis sastra. Tulisannya penuh dengan bahasa sastra.
Ketiga, ada pula, warga belajar yang pandai menumpahkan keluh-kesahnya melalui tulisan. Dan hal itu mengingatkan saya pada tokoh yang telah purna usia, alm. Pak Hernowo Hasyim tatkala menjadi pembicara di kopi darat Sahabat Pena Kita, yang di helat di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.
Kurang lebih beliau mengemukakan demikian, "salah satu fungsi menulis itu ialah sebagai alat untuk menghempaskan rasa kesal dan keluh-kesah. Caranya mudah, ketik saja apa yang hendak Anda katakan. Tumpahkan semua luapan emosi bahkan sekalipun itu dalam kata-kata kasar, kemudian control A delete".
Mudah bukan?.
Ya, seridaknya di sana ada dua potensi yang di asah; emosi anda yang dapat terredam kembali (sehingga terkontrol dengan baik) dan potensi menulis anda tersalurkan.
Ketiga, ada pula mereka (warga belajar) yang berusaha dengan jujur menuangkan memori hidup kelamnya yang bersentuhan langsung dengan pola hidup remaja yang kurang terkontrol (sebut; nakal). Meskipun demikian, saya sangat mengapresiasi dan mengacunginya dua jempol, karena bagaimanapun kejujuran di zaman sekarang adalh modal penting yang harus dipertahankan. Dan kemauannya untuk meneruskan pendidikan adalah jalan yang mampu menuntunnya menjadi lebih baik. Amiin.
Sementara yang terakhir, ada pula tulisan warga belajar yang sangat singkat, jelas dan padat, hampir mirip dengan memo. Maklumlah, mbaknya warga baru di kelas sepuluh. Tidak apa-apa, yang penting kan ia mau menulis. Lambat-laun kalau sudah terbiasa saya yakin ia pasti jadi penulis handal.
Ah, tak terasa ternyata saya telah mengkorupsi waktu beberapa menit, hingga akhirnya warga belajar pun harus mengingatkan saya, "jam.e mpun telas pak". "Oke-oke, mari kita akhiri pertemuan kali ini dengan berdo'a bersama".
Tugas dan tanggungjawab akhirnya telah tertunaikan. Goreng tempe--tempe mendoan yang saya favoritkan-- sedikit mengganjal perut. Kopi Nescafe pun saya seruput tak tersisakan. Namun, sang rintik masih saja sangat setia pada kekasihnya, kelam.
Ah, keadaan pintar mengendalikan. Entahlah, bagaimana saya harus mengakui keunggulan alam di musim penghujan. Tatkala itu, yang saya mampu hanya terus memberondong perasaan dan pikiran dengan bongkah pertanyaan; siapakah saya dalam keadaan ini? Termasuk evenful man (manusia peristiwa) kah? Atau mungkin malah golongan event-making man (manusia pencipta peristiwa)?.
Ah, sudahlah. Tak apa, kamu (red; jas hujan) meskipun baru seminggu sampai di tangan saya, namun nyatanya telah banyak berjasa dalam menunaikan tugas dan tanggungjawab saya.
Terimakasih jas hujan, kehadiranmu memberi kemanfaatan dan fungsi yang sangat optimal di musim hujan ini. Dan terakhir, ucapan terimakasih terlimpahkan pula kepada beliau yang telah memberikan jas hujan dan kepercayaannya selama ini.
Tulungagung, 20 Februari 2020, diedit kembali pada 15 Juni 2020.
Tertanda tukang ngemil,
-Dewar Alhafiz-
Komentar
Posting Komentar