Langsung ke konten utama

Candu Akan Nilai; Kekayaan Sejati Terletak dalam Benak Anda

Kurang lebih selang tiga bulan berlalu setelah saya mendapatkan buku gratisan dari mantan customer, sang mantan customer kemarin itu akhirnya kembali menawarkan buku gratisan kepada saya. "Mas ada buku lagi nih, minat enggak?, lek minat besok tak anterkan ke kosan Saman", pendek tukasnya dalam chat. "Wah, rezeki nomplok mubazir kalau ditolak. Iya, iya aku minat", sergah saya membalasnya dalam chat.

Esok harinya, dua buah buku kembali ditentengnya menuju arah saya. Entah ada angin apa, dikala itu saya merasa beruntung sekali dapat mengenalnya sebagai teman akrab dadakan. Tetibanya ia dihadapan saya, "ini mas bukunya, yang satu bentuknya agak mirip majalah gitu, ada gambarnya lagi. Sementara yang satu ini sih bikin aku geli membacanya (ia menunjukan cover buku tipis itu sembari memajang ekspresi bergidik bukan main)".  "Awalnya aku penasaran apa isi buku itu, lah dalah pas aku baca, ternyata, hiiiihhh ngeri.  Tentang poligami", lanjutnya memberikan sedikit sinopsis terkait buku tipis itu.

Pertemuan kami kali ini tidak menyempatkan diri untuk bercuap-cuap ria barang lima belas, sepuluh bahkan lima menit sekalipun. Mengingat sang customer berterus-terang ada keperluan lain yang telah menanti dirinya. Jarak menenggelamkan bahunya seiring kecepatan motor yang dikendarainya, sementara saya mendekap dua buku itu, kembali bertapa di bilik ratapan.

"Baiklah, saya harus sesegera mungkin mencicipi kedua buku ini", gumam saya dalam benak. Namun, tugas pertama saya terhadap kedua buku ini, adalah membubuhkan tandatangan. Bagaimanapun saya harus memberi tanda istimewa kepemilikan atas koleksi baru ini. Meskipun bekas, tapi bagi saya tidak ada kata expired date teruntuk menyoal sumber pengetahuan. Kapanpun buku itu diterbitkan, ia layak mendapat perlakuan maksimal dari sang majikan.

Lantas perlakuan maksimal seperti apa yang harus diberikan sang majikan sebagai wujud kepedulian? So simpel kok, pertama akuisisi buku itu sebagai bagian barang berharga milikmu. Bubuhkan tanda istimewa kepemilikan atas buku itu. Entah itu ditandatangani yang dilengkapi dengan titimangsa, distempel ataupun direkatkan barcode perpustakaan pribadi milikmu.

Kedua, berilah buku itu pakaian yang pantas, jangan biarkan ia kedinginan. Pemberian sampul buku setidaknya dapat mengurangi lecet, termakan rayap dan kemungkinan kerusakan lainnya dengan mudah.

Ketiga, simpanlah buku itu pada tempat yang layak. Tempat yang layak untuk menyimpan buku-buku itu maksudnya rak. Jika tidak punya rak lantas bagaimana?, Taruh saja buku-buku itu di tempat yang sekiranya mudah dijangkau dan tertata rapih di satu titik. Jikalau masih bingung, sini hibahkan saja buku itu pada saya.

Keempat, usahakan posisi buku-buku itu tatkala diletakan dalam keadaan berdiri. Bagian pembatas kedua sisi (red; bagian ujung buku yang dilem) adalah bagian yang menjorok ke luar. Mengapa harus demikian? Supaya nanti tatkala butuh, kita dengan mudah dapat menemukannya.

Eits, cukup sampai di sini ngelanturnya. Oke mari kita fokus kembali pada dua buku gratisan koleksi baru milik saya. Anggap saja demikian. Kalian penasaran bukan? Sebenarnya apa sih judul buku yang membuat si mbak mantan customer itu bergidik. Buku tipis itu berjudul, "Istriku Seribu" mahakarya Emha Ainun Nadjib. Bukunya si memang tipis, sekitar 94 halaman, tapi isinya beuh jangan ditanya, bikin ngelu. Kalau enggak percaya baca saja sendiri. Buku yang bernafaskan teosufi ini telah khatam saya baca, bahkan telah saya review (meskipun mbulet) dan terpanjang di blog milik saya. Bagi anda yang penasaran, silahkan dicari dientri tulisan tahun 2019.

Sementara itu, buku yang kedua berjudul, "Anda Sebenarnya Sangat Kaya, Hanya Anda Belum Menyadarinya", terjemahan PT. Ufukreatif Design dari judul aslinya, "You are Really Rich You Just Don't Know It", adalah buah tangan Steve Henry. Seorang penulis Bestseller Change The World for a Fiver.

Dari mendengar nama penulisnya saja, saya langsung penasaran tentang siapa sebenarnya Steve Henry. Lantas, searching di google pun tidak dapat saya hindarkan. Ternyata Wikipedia menyebutkan Steve Henry adalah seorang dokter, yang berkewarganegaraan Amerika serikat. Hal ini sengaja saya lakukan, mengingat tidak ada jejak biografi penulis yang tercantum di bagian belakang, seperti khalayak keumumannya.

Oke, mari kita kuliti sedikit buku Steve Henry ini dari beberapa sisi. Pertama secara fisik. Bentuk buku ini persis seperti majalah. Terlebih lagi, hampir dapat dipastikan, di setiap bagian sub topik diimbuhi gambar dan nominal angka sebagai bahan pertimbangan.  Pertimbangan pembaca atas berbagai hal yang mungkin dianggap lumrah dan disepelekan begitu saja.

Buku ini memiliki ketebalan, 128 halaman. Kertas yang digunakan pun berbahan tebal, nampak kertas yang biasa digunakan untuk mencetak majalah. Bahkan setiap lembar judul memiliki warna tersendiri. Jelas, wujudnya tidak seperti buku pada umumnya, yang berbahan dasar kertas kuning ataupun putih yang transparan.

Kedua, mari menyoal tentang isi. Berpijak pada kecenderungan profesi yang digeluti penulis, isi buku ini banyak berbicara tentang  proses panjang kehidupan yang bersangkutpaut langsung dengan kesehatan.  
Terdapat 59 topik refleksi yang disodorkan kepada pembaca. Jika, diteliti lebih dalam, semua topik tersebut tak ayalnya mewujud catatan malaikat Roqib dan Atid, yang banyak melaporkan setiap gerak-gerik aktivitas manusia dalam keseharian. Perbedaan mendasarnya mungkin hanya terletak pada kesimpulan akhir, dimana Steve Henry lebih memilih bertanya kepada pembaca, sembari menyodorkan angka hasil penelitiannya di Inggris yang telah dilakukannya.

Misalnya saja, penulis menutup pembahasan tentang menghabiskan waktu dengan teman-teman, melalui pertanyaan; jadi, berapa nilai pertemanan? Nilainya adalah Rp. 876.095.600. Di lain tempat, penulis juga membuat pertanyaan yang unik terkait waktu untuk diri sendiri; jadi, berapa nilainya? Jika Anda sempat memiliki waktu untuk diri sendiri belakang ini, Anda lebih kaya Rp. 1.115.728.300. Tapi, simpan untuk Anda sendiri.

Namun dari 59 topik itu saya tertarik dengan salah satu pembahasan yang berjudul, "melewatkan waktu bersama keluarga". Di sana penulis sedikit menyinggung tentang bagaimana Albert Einstein menemukan rumus teori relativitas. E sama dengan MC kuadrat, tidak lain adalah bentuk penyederhanaan; E di sini adalah Bibi Ethel, yang selalu brilian. Namun, ia diseimbangkan oleh MC, sepupu-sepupu yang menikah, yang menyebalkan. Dari kisah ini, penulis seolah-olah hendak menegaskan,  nyatanya ide itu muncul dari aktivitas keseharian yang sangat mungkin adalah wujud ketidaksengajaan. Layaknya, teori gravitasi Newton yang terilhami dari buah Apel yang jatuh.

Jadi, sederhananya, isi buku ini adalah bentuk penyederhanaan dari hasil riset Steve di Inggris? Ya betul. Dalam pembukaan, Steve menegaskan bahwa buku ini lahir sebagai wujud pemberontakan atas objektivitas sang subjek (red; manusia) dalam tatanan sistem krisis akan nilai, utamanya uang. Manusia yang melulu jatuh hati dan ketergantungan atas kepemilikan uang.

"Buku ini mengungkapkan sistem nilai yang baru. Sebuah alternatif selain sistem keuangan murni. Sebagian karena, sebagai akibat langsung dari kredit macet, orang-orang mencari berbagai cara untuk melanjutkan hidup. Dan, mereka mencari sesuatu yang dapat menggantikan uang sebagai kriteria umum sebuah nilai. Oleh karena-mari bersikap jujur-kita terlalu berlebihan dalam menilai uang. Gambaran Oscar Wilde tentang orang yang sinis, yang memandang bahwa orang lain bertindak berdasarkan motif demi kepentingan diri sendiri-orang yang mengetahui harga segalanya dan tidak menghargai apapun-mulai ada pada diri kita. Kita semua, mau tidak mau, akhirnya terpaku pada uang. Sekarang, kita sering mendengar orang bilang, bahwa bukan uang yang menjadi akar semua kejahatan, melainkan kecintaan pada uang. Namun, penjelasan itu terasa terlalu akademis. Maksud saya, toh kita semua memang jatuh cinta pada uang. Dan sebagai akibatnya, kita pun selalu merasa kekurangan uang", (Steve Henry, 2011: 5-6).

Penegasan Steve pada pembukaan itu, memberi sinyalmen kepada pembaca, bahwa dalam kontinuitas hidup umat manusia selalu disibukan dengan tatanan nilai materiil yang terus menjadi candu. Candu yang terus bersenyawa dengan kesempatan dan ruang kehendak yang harus dan terus dipilah oleh masing-masing pribadi. Sebab lebih dari kecenderungan yang membebal menjadi candu itu sendiri, ada konsep nilai yang lebih berarti dalam memaknai hakikat diri sebagai manusia. Yakni nilai-nilai given (red; seluruh potensi yang ada di dalam diri) yang selama ini belum kita sadari sekaligus belum kita gauli.

Gila memang, sampai di sini, sekonyong-konyong saya merasa sedang terdampar di lautan manzilatain; antara remang-remang ingatan teori Herbert Mind dan tatanan mapan filsafat nilai. Ah, sialan.

Tertanda, manusia sederhana pencari hakikat kehidupan di dunia.

Dewar Alhafiz.

Tulungagung, 29 Juni 2020.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal