Langsung ke konten utama

Ibrahim Ibn Adham

Tulisan renyah Muh Saharuddin Mangngasa yang berjudul "Menjadi Luar Biasa dengan Jalan yang Tak Biasa" sebagai ringkasan hasil mengaji kitab Al-Munqizd min al-Dalal bersama Gus Ulil Abshar Abdalla menyentil nama Ibrahim Ibn Adham. Nama salah seorang sufi yang rasa-rasanya tidak asing lagi terngiang di telinga. 

Alhasil, tulisan itu benar-benar telah berhasil memungut ingatan saya kembali pada petualangan spiritual (uzlah) beliau-Ibn Adham-yang menyadari kesejatian hidup adalah fakir. Kebebasan diri dari ketergantungan dunia yang melenakan.

Gelimang harta, jabatan dan popularitas hanya menjadikan beliau pada titik kehampaan hati, ketandusan jiwa akan makna hidupnya. Sementara akalnya dan akal khalayak orang yang menilainya, hanya lambaran yang akan menjadi persoalan yang berkelanjutan.

Persoalan selanjutnya yang akan banyak menyutat pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Bahkan, hal itu hanya akan menjadi dinding yang terus-terusan menebal dan kokoh menghalanginya mendekatkan diri (berkhalwat) dengan Tuhannya.

Dalam kegamangan itu, baginya kehidupan tidaklah sebatas fatamorgana oase di Padang yang tandus. Kehidupan seekor anjing yang terus mengendus dan berpetualang  justru dipandangnya adalah pencitraan yang tepat dalam memahami kehidupan.

Bagaimanapun, hewan yang kerap kali tidak disukai dan dinegasikan oleh kaum muslimin itu tahu kemana ia harus meminta perlindungan. Kemana ia harus mencari kebenaran. Ia tahu mana tuan sementaranya yang menjadi candu segala dahaga nafsunya, mana majikan yang menuntun jiwanya menuju pada kesatuan. Ya Ahad.

Ah, sayangnya ingatan tentang riwayat sang sufi itu tidak begitu banyak yang berhasil kembali saya kuak-sodorkan ke permukaan dengan rinci- dari ingatan saya.

Sehingga apa yang saya tuangkan di atas, tidak lain hanyalah serpihan pemahaman remang-remang saya atas buku saku yang meriwayatkan tentang kehidupan seorang sufi, Ibrahim Ibn Adham yang sangat singkat. Maklumlah, buku itu saya baca ketika dulu masih semester dua strata satu.

Sebagai penutup, biarlah saya beraporisma, "kalau memang, paparan di atas kurang mengena dan tidak tepat, mohon diluruskan. Bagaimanapun ini adalah tentang upaya kebaikan bersama". Mohon dimaklumi saja.

Akhirul Kalam.
Wallahu'alam bi shawab.
Fakiru ilallah_
Ciamis, 29 Mei 2020. Diedit kembali di Tulungagung, 14 Juni 2020.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal