Langsung ke konten utama

Lebaran

Dapur-dapur mengepul deras tanpa batas
Orang-orang berjimbaku mengolah bahan di teras
Meracik jamuan cita rasa yang bermula  gilingan beras
Toples-toples merengkuh hasil sesuka hati dalam dahaga lepas
Satu-persatu sudut ruang kediaman kusam,  sempurna terhias

Sementara anjungan tunai mandiri melulu menjadi andalan utama dikuras
Dimana-mana, seakan-akan khalayak lebih senang berhilir-mudik meretas
Memantas, tak getir jika harus berkali-kali dilabeli pemoles alas
Toh di mata awam semua mutu dalam sampiran nilai-nilai banalitas

Tak apa berkorban waktu, menerjang hujan-mengurai panas
Tak menjadi soal jika sampai berjejal di tempat-tempat pemanja mata nan luas
Terpenting, semua tuntutan celoteh orang terlibas tuntas
Sungguh, puncak kemenangan ini bukan menyoal banyak terbungkamnya gengsi dan puas

Pula bukan ajang saling menguji taring agresivitas
Berpamer tahta, derajat pun atau jari-jemari  kerlip alamas
Ah, sudahlah jangan terlalu sibuk menumpuk ampas
Membobol benteng-benteng kenuranianmu dengan beringas
Laten membodohi apa kehenedak jiwa sejati barang sepintas

Lihat, tataplah tajam mereka-mereka yang belum tentu mampu merias diri
Baik hendak berangkat maupun seusai shalat Idul Fitri
Baginya, mencicipi kehidupan sehat walafiat di hari suka cita adalah anugerah yang tak tertandingi
Nikmat Tuhan yang tak terperi

Tak perlulah ia memodel jinjit dengan pakaian baru ke sana-kemari
Susah payah berhutang membebal diri
Tuk memborong bongkahan batu permata di ruas jemari
Meraup sombong, melangit tinggi karena dipuji

Dalam rumahnya, bahkan tak ditemukan seonggok lemari
Terlebih-lebih deretan toples yang sudah berisi
Pun tak ada jamuan semangkuk rendang sapi yang siap dinikmati
Tak ada barang setetes pun warna-warni isian botol sirup didapati

Meski demikian, semua bias itu telah terkalahkan keyakinannya yang kuat
Kesadaran akan Fitri-nya hari kemenangan sudah tertelan habis bulat-bulat
Dalam benaknya kesucian lahir batin adalah puncak hakikat
Saling berlapang dada-bermurah hati menjadi pintu turunnya Rahmat

Setidaknya berbekal belas kasih, tali keakraban kian merekat
Miskin dunia bukan berarti memutus mata rantai hamba teruntuk taat
Lenyapnya hasrat bukan bermakna melarat
Menjadi fakir akan cinta-Nya tidak mesti menunggu habis riwayat

Menjelma pemaaf bukankah lantaran terbukanya pintu taubat?
Pertanda hal ihwal dalam maqamat
Memungkin terkabulnya rentetan munajat
Sejenis penawar ampuh dari segala wujud perihal jahat

Bukankah makna lebaran tersimpul erat dalam ketupat?
Berbahan janur tersusun rapat
Berani jujur atas segunung khilaf yang diperbuat
Bersih tulus tanpa adanya akal bulus muslihat
Menjunjung tinggi entitas nilai kehidupan sebagai kerabat

Lantas, selanjutnya suara parau itu saling bersahutan
"Minal Aidin walfaidzin", secara sharih disebutkan
Dan jarak pun akhirnya tertunduk dengan pertukaran pesan
Saling membasuh luka dalam khidmat keikhlasan

Tertanda, karibmu nun jauh di sana
Ciamis, 7 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal