Kesetaraan Gender dalam Transportasi Online
Perkembangan teknologi yang begitu
pesat haruslah diimbangi dengan kreativitas, inovasi dan kapabilitas parsial
ataupun kolektif. Sehingga situasi perkembangan teknologi tersebutpun tidak
menjadi phobia akut yang terus membayang-bayangi, (istilahnya disebut gaptek-lah) dan menjadi
kendala dalam menjalankan rutinitas keseharian, (menjadi candu yang berimbas
pada hiperrealita), sehingga tidak mampu memaksimalkan kesempatan kerja yang
ada.
Sungguh aneh memang, jika dalam
episode kelanjutannya, perkembangan Infomation and Technology (selanjutnya
disebut IT) malah menjadi suatu problem yang ikut serta dalam menghambat
perkembangan dan kemajuan. Entah itu secara personal ataupun kolektif. Entah itu dalam aspek pendidikan, ekonomi,
politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Padahal tujuan utama dari dikembangkannya
teknologi adalah untuk mempermudah kelangsungan perkembangan dan kemajuan dalam
interaksi sosial masyarakat.
Namun berbeda halnya dengan mereka
yang memiliki kreativitas, inovasi dan kapabelitas. Seolah-olah tidak mau
berkedip sedetikpun, berpaling dari mantengnya melek terhadap perkembangan IT. Setiap perubahanpun
seolah-olah menjadi inspirasi yang terus mengilhami. Memberi pencerahan
kreatitivitas yang belum lumrah terpahami dan menjadi tren saat ini.
Semisal saja kita ambil salah satu
sampel inovasi yang memang memanfaatkan hadirnya IT ditengah-tengah hiruk-pikuk
rutinitas interaksi sosial kehidupan masyarakat saat ini. Sampel ini pun kita
kerucut lagi pada salah satu fenomena yang memang benar-benar menjadi tren dan
sangat digemari atau dikonsumsi secara rutin oleh masyarakat sekitar pada
umumnya.
Transportasi onlie. Ya, itulah
fenomena yang sedang berjamur di bumi pertiwi dalam kurun waktu satu tahun
akhir-akhir belakangan ini. Bak super hero yang membawa kedamaian. Munculnya
transportasi online pun memberi
kesempatan kerja yang menjanjikan. Menjadi salah satu sarana alternatif yang
membantu pemerintah dalam memangkas jumlah warga pengangguran. Dampaknya memang
tidak main-main bukan? Sangat mencengangkan. Setidaknya ikut serta dalam pemerataan
pendapatan masyarakat yang telah lama terjadi ketimpangan.
Transportasi online ini pun di
dalamnya mencakup berbagai macam kendaraan. Namun yang menjadi tren dikalangan
masyarakat saat ini ialah lebih fokus pada kendaraan roda empat dan roda dua,
yang lebih tepatnya lagi taksi dan ojek. Masing-masing dari dua kendaraan ini
memiliki jargon atau label tersendiri. Misalnya sebut saja ‘blue bird’, salah
satu jargon yang marak digunakan oleh transportasi online sejenis taksi.
Sedangkan salah satu sampel untuk transportasi online sejenis ojek yang marak
digunakan oleh khalayak masyarakat, misalnya saja ‘Go-jek’.
Tidak butuh kurun waktu yang begitu
renggang, hanya cukup menghitung bulan. Rentetan jargon atau label transportasi
online yang lain pun mulai bermunculan. Semisal saja ‘GrabBike, Ojek Syar’i’
dan lain sebagainya. Seakan-akan bisnis transportasi online ini pun menjadi
salah satu ladang usaha yang sangat menjanjikan, cepat menuai hasil perjuangan
keringat yang bercucuran. Sehingga dengan mudah memancing gerombolan kawanan
lain untuk ikut merongrong inovasi yang telah lahir tercetuskan.
Namun Entahlah, entah alasan logis
klop apa yang mendasari mereka untuk memutuskan bergabung ke dalam kawanan
jargon atau label transportasi online tersebut. Kalau dihitung-hitung, memang
usia maraknya transportasi online ini masih seumur jagung. Belum lama
berpuluh-puluh tahun layaknya angkutan umum. Tapi apabila kita melek terhadap
informasi pemberitaan yang ditayangkan oleh stasiun pertelevisian dalam kurun waktu
beberapa bulan kebelakang, di sana kita akan menyaksikan bagaimana antrian
panjang dari berbagai lapisan masyarakat yang begitu antusias untuk bergabung
dengan salah satu jargon atau label transportasi online sejenis ojek. Memang sangat menakjubkan bukan?
Nah, melihat fenomena yang demikian
tentunya pembahasanpun akan sangat menarik lagi, apabila fenomena tersebut
berusaha dianalisis dengan menggunakan framework feminisme. Yang lebih
tepatnya menggunakan pisau analisis feminisme liberal. Sehingga yang menjadi
permasalahannya ialah apakah maraknya transportasi online yang sejenis ojek ini
merupakan suatu solusi yang ditawarkan dalam rangka memberi kenyamanan secara
parsial, khususnya lagi bagi perempuan? Apakah sosok perempuan dalam layanan
transportasi online ini diposisikan sebagai second sex yang hanya
berperan sebagai penumpang atau memiliki hak dan kesempatan yang sama seperti
halnya laki-laki? Bagaimanakah fasilitas yang disediakan oleh transportasi
online bagi para penumpang, khususnya lagi bagi perempuan?
Terjadinya pelecehan seksual dan
adanya tindakan pemerkosaan dalam angkutan umum, seolah-olah menjadi alasan
yang kuat untuk melatarbelakangi munculnya transportasi online sejenis ojek.
Selain menawarkan solusi yang akurat anti macet, anti desak-desakan, anti
berdiri dan anti menunggu lama, jasa transportasi online ini pun berusaha
melayani pelanggannya kapan pun dan dimana pun. Sehingga dengan adanya jasa
transportasi online sejenis ojek ini, setidaknya memberi keuntungan dan
kemudahan alternatif yang lebih efisien secara parsial. Tentunya hal ini sangat
jauh berbeda bila dibandingkan dengan layanan angkutan umum yang serampangan.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lama kemudian pemerintah pun tidak
hanya berdiam diri dan bungkam, melainkan berusaha memperbaiki tata kelola dan
pelayanan angkutan umum yang ada. Semisal saja dengan memberlakukannya jalur khusus
busway transjakarta yang dilengkapi dengan keamanan fasilitas bagi para
penumpangnya. Belum lagi dilengkapi dengan diberlakukannya angkutan khusus bagi
perempuan. Namun tetap saja, fasilitas yang ditawarkan pemerintah pun belum
mampu membungkam isu pemberitaan yang memangkas hak-hak seorang perempuan di
area publik. Khususnya lagi dalam hal keefisienan waktu.
Seolah-olah menjawab kegelisahan
yang terus digumamkan oleh perempuan. Inovasi jasa transportasi online yang
khusus untuk perempuan pun mulai muncul kepermukaan. Sebut saja ‘Ojek Syar’i’,
layanan ojek khusus untuk perempuan. Di sini sosok perempuan pun memiliki ruang
khusus untuk mengekspresikan kebebasan. Baik itu tatkala perempuan berperan
sebagai penumpang (langganan) ataupun berperan sebagai driver (sopir
yang mengantarkan). Setidaknya melalui ojek say’i ini perempuan memiliki hak
dan kesempatan kerja yang sama dengan kebanyakan khalayaknya laki-laki di area
publik.
Untuk mengembangkan
dan memperlancar sistem order layanan jasa transportasi online khusus perempuan
ini, pihak ojek syr’i pun tidak segan-segan membuka lowongan kerja khusus bagi
driver perempuan. Tentunya hal ini disertai dengan persyaratan dan tunjangan
bonus yang lumayan menggiurkan. Diantara sekian banyak persyaratan tersebut
ialah mampu berkendara motor dengan baik dan aman, punya motor dengan Kondisi
keamanan motor yang lengkap, berjilbab dan berpakaian tidak ketat dan lain
sebagainya. Hal ini sebagaimana yang dilansir dalam website http://www.ojeksyari.com/.
Sungguh luar
biasa memang, hadirnya ojek say’i ini pun membuka peluang yang patut diacungi
jempol. Khususnya lagi dalam usaha menyetarakan lapangan kerja yang berbasis
gender. Berusaha mengusung konsep emansipatori yang telah lama hanya membeku
dalam teori. Setidaknya sosok perempuan pun memdapat kepercayaan dan kesempatan
yang sama dengan laki-laki tatkala ia berada di area publik. Tidak hanya melulu
diunggulkan dan diahlikan dalam urusan domestik. Tidak
selalu dilabeli negatif tatkala ia mengambil keputusan untuk menjadi seorang
tokoh penting dalam realita kehidupan.
Hal yang demikian pun bukan berarti jasa
transportasi online lain yang tidak memiliki label syar’i tidak membolehkan
perempuan untuk bergabung sebagai anggota bagian. Namun yang lebih tepatnya
lagi jasa tansportasi online yang berbasis konvensional tersebut, kemungkinan
besar lebih didominasi oleh kebijakkan-kebijakkan yang lebih condong pada
standarisasi yang berbasis pada sosok laki-laki. Dan berbeda halnya dengan kebijakkan-kebijakkan
yang diterapkan oleh jasa transportasi online yang dikhususkan untuk perempuan,
pastinya lebih mengarah pada standarisasi yang berbasis feminim, baik dari segi
kenyamanan fasilitas sebagai penumpang (langganan) ataupun yang berperan sebagai
driver (sopir yang mengantarkan).
Komentar
Posting Komentar