Langsung ke konten utama

Catatan mata kuliah Feminisme

Refleksi Feminisme
Sungguh tidak terasa, hari Rabu pun kini telah menghampiri diri kembali. Seakan-akan masih terlelap dalam buaian semangat review salah satu mata kuliah di semester lima kemarin. Sejenak tertegun. Merefresh kembali ingatan saya pada sistem perkuliahan yang memang sama sekali berbeda dengan khalayak metode perkuliahan konvensional pada umumnya.
Namun syukur alhamdulillah, dipertemuan semester enam ini, jiwa jari-jemari yang telah lama terkujur kaku pun mulai kembali terenyuh dengan semangat review mata kuliah baru. Ya, mata kuliah baru. Sebut saja mata kuliah feminisme. Mata kuliah yang terkategorikan baru di fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) milik abah-ku (sebutan akrab bagi bapak dekan). Sekaligus mata kuliah asing, yang masing belum familiar berdengung ditelinga umumnya mahasiswa, termasuk saya. Meskipun sama sekali demikian, namun dalam hal ini saya harus sadar betul dan benar-benar berusaha memaksimalkan fokus pemikiran untuk memahami seluruh inti dari perkuliahan mata kuliah tersebut.
Hampir saja saya lupa, sebelum saya jauh melangkahkan tutur kata dan larut dalam pemaparan materi hasil pertemuan perkuliahan. Alangkah baiknya, saya memperkenalkan terdahulu dosen pengampu mata kuliah feminisme ini. Ibu Zulfatu Ni’mah, M. Hum., salah seorang staf dosen yang ekspet dalam urusan feminisme. Tentunya, beruntunglah kelas kami karena pengampu mata kuliah feminisme ini langsung oleh sang subjek yang dibicarakan dalam wacana keilmuan. Artinya, kemungkinan besar dalam pembahasan materi perkuliahan pun akan bersifat objektif. Framework rasional-empiris sosok perempuan. Bukan sinisme subjektivitas, framework yang bersifat patriarki. 
Sekilas, ringkasan isi dua pertemuan perkuliahan kemarin. Secara etimologi term ‘feminisme’ ini berasal dari kata feminin yang berarti  mengenai (seperti, menyerupai) wanita atau bersifat kewanitaan,  (definisi versi Kamus Besar Bahasa Indonesia/ KBBI). Di mana sifat keperempuanan (sebutan dalam versi saya) ini sering diidentikan dengan sikapnya yang lemah-lembut, anggun, lemah-gemulai, penurut dan lain sebagainya. Atau lebih sederhananya lagi, sebuah term yang dikonotasikan hanya untuk perempuan. Sehingga yang dimaksud dengan term feminisme ialah suatu paham atau ideologi perempuan tentang kesadaran akan adanya tindak ketidakadilan-penindasan yang disertai dengan adanya upaya pembebasan.  Pendefinisian ini tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dikemukakan dalam versi KBBI, yang mengartikan term feminisme sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara wanita dan pria.
Dari pendefinisian tersebut, setidaknya kita mampu sadar bahwa pembahasan tentang feminisme tidak lepas dari sangkut pautnya dengan jenis kelamin. Di mana jenis kelamin di sini terkategorikan menjadi dua. Pertama yakni seks, (yang berarti peran-peran biologis yang bersifat kodrati/ given atau bersifat pemberian Tuhan). Semisal hamil, melahirkan, menyusui bagi perempuan. Menghamili, memiliki jakun bagi laki-laki dan lain sebagainya. Sedangkan yang kedua yakni gender, (yang berarti bentukan sifat yang berasal dari budaya sosial atau berupa penisbatan sifat), yang tentunya mampu di rubah. Semisal maskulin bagi laki-laki.
Setidaknya dari penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya. Kenapa jenis kelamin itu dibagi menjadi seks dan gender? Padahal secara sepintas, merujuk pada kebiasaan. Bila kita mendengar term jenis kelamin, tentu pemikiran pun langsung tertuju pada pengkategorian perempuan dan laki-laki. Sungguh ironis bukan? Padahal pendefinisian dalam versi KBBI, tidak ada pembeda antara definisi jenis kelamin, seks dan gender. Melainkan mendefinisikan sama. Nah, di sini pun kita di suguhi pembagian jenis kelamin yang benar-benar berbeda dan bahkan lebih kompleksitas.
Pengkategorian seks dan gender. Secara sadar haruslah diakui, bahwa yang demikian mempermudah pengklasifikasian. Baik dalam hal yang bersangkutan dengan pembagian sifat, tindak, tugas dan lain sebagainya. Tidak hanya demikian, pengkategorian tersebut pun mempermudah dalam meruncingkan titik sumber pemasalahan yang bersangkutan dengan seks dan gender. Karena sesungguhnya, masing-masing memiliki titik fokus permasalahan yang dinamakan ketidakadilan-penindasan atau pun adanya ketimpangan.  
Namun dari pengkategorian seks dan gender tersebut, yang  renta dikatakan bias ialah permasalahan krusial terkait gender. Sebagaimana halnya dikatakan di atas tadi, bahwa sesungguhnya gender merupakan penisbatan sifat yang dihasilkan dari kontruksi persepsi budaya sosial. Sehingga sadar atau tidak, sifat yang dihasilkan dari kontruksi budaya tersebut, diasumsikan sebagai justifikasi lumrah dalam kebiasaan. Semisal saja, warna pink yang dinisbatkan sebagai warna yang dikhususkan untuk perempuan. Atau pun warna yang mewakili keperempuanan. Sedangkan warna biru dinisbatkan sebagai warna yang dikhususkan untuk laki-laki. Padahal secara konvensional, warna itu bebas nilai (tidak terikat jenis kelamin). Atau pun bersifat netral. Sehingga pengkhususan warna tersebut, pada dasarnya hanyalah penisbatan sifat yang merupakan kontruksi budaya. Dan tentunya hal ini mampu berubah. Memangnya tidak boleh ya jika laki-laki memakai pakaian warna pink? Seakan-akan hukumnya haram atau pun dosa jika seorang laki-laki berpakaian demikian.
Lagi-lagi kita pun dituntut melek terhadap realita yang ada, bahwa sosok perempuan terlalu sering  distigmakan. Seakan-akan perempuanlah yang menjadi sumber masalah dari seabreg masalah yang ada. Padahal yang menjadi masalah adalah bagaimana kita (sebagai laki-laki) memposisikan diri mereka dalam kehidupan yang nyata. Apakah memposisikannya sebagai second seks (budak)? Atau memposisikannya sebagai mitra dalam realita?
Dari permasalahan gender yang ruet adanya, ada beberapa tindak ketidakadilan gender yang biasanya disandangkan kepada sosok perempuan, diantaranya: Subordinasi (hierarki atasan-bawahan), stereotipe (pembakuan sifat-sifat negatif), kekerasan, marginalisasi (usaha membatasi/ meminggirkan) dan double burden (beban ganda).        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal