Kemandegan
dalam Menulis
Seakan berat untuk memulai kembali. Tradisi yang telah lama terjaga
pun seakan-akan telah susut dalam kurun waktu yang terbatasi. Ya, terbatasi
waktu yang begitu singkat. Terbengkalai dengan buaian aktivitas liburan
semester kemarin ini. Entahlah, entah karena virus yang telah menjangkit
geliat-hasrat untuk berkomitmen dalam berkarya telah digerogoti rasa “sok
sibuk” yang terus menyelimuti. Menggelayut, terus membebani kedua tangan ini
untuk membiasakan beraktivitas kembali. Bergumul dengan abjad-fonemis yang
acak, namun tersusun rapi. Duduk santai, menghadap sebuah layar yang terus
ditatapi. Apalagi bila proses mengetik tersebut ditemani oleh segelas teh atau
si hitam-manis, secangkir kopi. Sungguh mantap bukan?.
Terasa parah memang. Tatkala rasa malas yang kian hari terus
menumpuk, hanya terdiam terus dibiarkan mendekap diri. Mungkin inilah realita
rasa malas akut di liburan semester kemarin, yang mengikut serta pada awal semester
enam ini.
Tidak hanya demikian, sebenarnya disaat-saat tertentu tatkala saya
terdiam dalam kesendirian atau pun tatkala diri berada dalam keramaian,
terkadang terbesit rasa ingin, untuk menuangkan ide yang terlintas dalam
secercik kertas. Dengan dalih mampu menjadi karya yang mampu diabadikan. Namun
beriringan dengan hasrat untuk menuangkan ide yang melintas tersebut, benak
pribadi pun seringkali terbujuk oleh bisikan hasrat untuk menunda-nunda. Sampai
akhirnya bujuk rayu malas pun menang dan berhasil menghapus ide yang sempat
terlintas dikepala. Kemungkinan besar demikianlah rutinitas keterlenaan yang
terus menyelimuti diri. Dari sana pun, setidaknya saya mulai sadar untuk
berintropeksi. Sebelum rutinitas yang terkategorikan jelek tersebut terus jauh
melampui. Menyadari bahwa sebelum keadaan yang demikian terulang kembali,
terselipnya sebuah buku saku di saku baju ataupun celana, sangat berperan
penting. Berfungsi mengikat inspirasi-ide supaya tidak kabur kembali. Jika tidak
demikian, maka aplikasi one note (catatan lainnya) yang ada di hande
phone (hp) pun harus dimaksimalkan penggunaannya. Intinya, ketika sebuah
ide brilian terlintas di kepala, maka dengan sigap seharusnya benak pribadi pun
secara sadar dan spontan harus langsung menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Dalam artian ingatan bisa lupa, namun dengan adanya suatu catatan maka akan
mengingatkan kita kembali.
Terasa begitu kaku dan rancu. Tatkala saya mulai menuliskan dua
pragraf sebelumnya. Sungguh, menjadi terasa sulit hanya untuk sekadar menyusun
satu kalimat yang enak untuk dibaca. Apalagi untuk merangkai beribu-ribu
kalimat yang terkategorikan sempurna. Ya, mungkin ini adalah dampak yang
konkret dari kemalasan akut yang terus mengendap. Yang kian hari, kian
menjadi-jadi.
Sungguh bila saya diperbolehkan untuk jujur, saya pun akan berterus
terang. Ini bukanlah alibi dalam rangka untuk memperbanyak tulisan saya, khususnya
lagi dalam mengerjakan tugas paper ini. Melainkan untuk memberi penjelasan yang
logis, bahwa secara pribadi, saya tidak secara serta-merta larut dalam
kemandegan rutinitas kepenulisan. Meskipun dalam hal update tulisan,
saya menyadari telah sangat jauh ketinggalan.
Akan tetapi memang akhir-akhir ini, lebih tepatnya lagi semenjak
liburan semester lima kemarin. Saya berusaha memfokuskan diri dan menggantikan
tulisan yang agak panjang itu, dengan menghirup lepas jiwa-jiwa sastra yang
telah lama terpendam dalam diri saya. Mungkin ceritanya sedang bernostalgia dalam
kegemaran sastra di masa-masa sekolah madrasah aliyah (MA) dulu. Tapi
sesungguhnya fokus yang dimaksudkan tetap satu, yakni berusaha menjaga semangat
untuk berkarya. Lebih tepatnya lagi, berkarya dalam lingkup tulis-menulis
(dunia literatur).
Peralihan yang sementara itu pun, saya siasati dengan membaca dan
berusaha memahami salah satu buku sastra yang dikarang oleh Sjuman Djaya yang
berjudul “AKU Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar”. Isi
buku tersebut pun begitu renyah untuk dikonsumsi oleh pembaca, pasalnya bahasa
yang digunakan dalam rangkai setiap bait kalimatnya merupakan bahasa
sehari-hari. Namun meskipun demikian, yang namanya sastra puisi tetap saja
sulit untuk betul-betul dipahami maknanya secara mendalam. Eh, mungkin itu
hanya sekadar persepsi saya pribadi. Bukan klaim kebenaran yang umum dan pasti.
Karena saya yakin bahwa diantara anda yang telah membaca buku tersebut, tentunya
akan menuai kesan dan persepsi yang berbeda-beda. Yang pasti persepsi khas,
versi anda.
Alhamdulillah, setelah khatam
membaca buku tersebut. Saya pun kembali mendapat pencerahan, bahwa sesungguhnya
setiap masing-masing bentuk karya tulisan itu memiliki kesulitan tersendiri. Jelas
benar-benar berbeda dan yang beda jangan pernah di sama-samakan. Namun yang
sama adalah bagaimana diri kita memandang masing-masing bentuk karya tulisan
tersebut, (bagaimana kita memposisikan framework). Yang disertai pula
dengan bagaimana cara mengatasi dan mengontrol kemalasan yang terus menyelimuti
diri kita.
Komentar
Posting Komentar