Langsung ke konten utama

Tugas Kepenulisan (Pertemuan Pertama)

Kemandegan dalam Menulis
Seakan berat untuk memulai kembali. Tradisi yang telah lama terjaga pun seakan-akan telah susut dalam kurun waktu yang terbatasi. Ya, terbatasi waktu yang begitu singkat. Terbengkalai dengan buaian aktivitas liburan semester kemarin ini. Entahlah, entah karena virus yang telah menjangkit geliat-hasrat untuk berkomitmen dalam berkarya telah digerogoti rasa “sok sibuk” yang terus menyelimuti. Menggelayut, terus membebani kedua tangan ini untuk membiasakan beraktivitas kembali. Bergumul dengan abjad-fonemis yang acak, namun tersusun rapi. Duduk santai, menghadap sebuah layar yang terus ditatapi. Apalagi bila proses mengetik tersebut ditemani oleh segelas teh atau si hitam-manis, secangkir kopi. Sungguh mantap bukan?.
Terasa parah memang. Tatkala rasa malas yang kian hari terus menumpuk, hanya terdiam terus dibiarkan mendekap diri. Mungkin inilah realita rasa malas akut di liburan semester kemarin, yang mengikut serta pada awal semester enam ini.
Tidak hanya demikian, sebenarnya disaat-saat tertentu tatkala saya terdiam dalam kesendirian atau pun tatkala diri berada dalam keramaian, terkadang terbesit rasa ingin, untuk menuangkan ide yang terlintas dalam secercik kertas. Dengan dalih mampu menjadi karya yang mampu diabadikan. Namun beriringan dengan hasrat untuk menuangkan ide yang melintas tersebut, benak pribadi pun seringkali terbujuk oleh bisikan hasrat untuk menunda-nunda. Sampai akhirnya bujuk rayu malas pun menang dan berhasil menghapus ide yang sempat terlintas dikepala. Kemungkinan besar demikianlah rutinitas keterlenaan yang terus menyelimuti diri. Dari sana pun, setidaknya saya mulai sadar untuk berintropeksi. Sebelum rutinitas yang terkategorikan jelek tersebut terus jauh melampui. Menyadari bahwa sebelum keadaan yang demikian terulang kembali, terselipnya sebuah buku saku di saku baju ataupun celana, sangat berperan penting. Berfungsi mengikat inspirasi-ide supaya tidak kabur kembali. Jika tidak demikian, maka aplikasi one note (catatan lainnya) yang ada di hande phone (hp) pun harus dimaksimalkan penggunaannya. Intinya, ketika sebuah ide brilian terlintas di kepala, maka dengan sigap seharusnya benak pribadi pun secara sadar dan spontan harus langsung menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dalam artian ingatan bisa lupa, namun dengan adanya suatu catatan maka akan mengingatkan kita kembali.
Terasa begitu kaku dan rancu. Tatkala saya mulai menuliskan dua pragraf sebelumnya. Sungguh, menjadi terasa sulit hanya untuk sekadar menyusun satu kalimat yang enak untuk dibaca. Apalagi untuk merangkai beribu-ribu kalimat yang terkategorikan sempurna. Ya, mungkin ini adalah dampak yang konkret dari kemalasan akut yang terus mengendap. Yang kian hari, kian menjadi-jadi.
Sungguh bila saya diperbolehkan untuk jujur, saya pun akan berterus terang. Ini bukanlah alibi dalam rangka untuk memperbanyak tulisan saya, khususnya lagi dalam mengerjakan tugas paper ini. Melainkan untuk memberi penjelasan yang logis, bahwa secara pribadi, saya tidak secara serta-merta larut dalam kemandegan rutinitas kepenulisan. Meskipun dalam hal update tulisan, saya menyadari telah sangat jauh ketinggalan.
Akan tetapi memang akhir-akhir ini, lebih tepatnya lagi semenjak liburan semester lima kemarin. Saya berusaha memfokuskan diri dan menggantikan tulisan yang agak panjang itu, dengan menghirup lepas jiwa-jiwa sastra yang telah lama terpendam dalam diri saya. Mungkin ceritanya sedang bernostalgia dalam kegemaran sastra di masa-masa sekolah madrasah aliyah (MA) dulu. Tapi sesungguhnya fokus yang dimaksudkan tetap satu, yakni berusaha menjaga semangat untuk berkarya. Lebih tepatnya lagi, berkarya dalam lingkup tulis-menulis (dunia literatur).
Peralihan yang sementara itu pun, saya siasati dengan membaca dan berusaha memahami salah satu buku sastra yang dikarang oleh Sjuman Djaya yang berjudul “AKU Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar”. Isi buku tersebut pun begitu renyah untuk dikonsumsi oleh pembaca, pasalnya bahasa yang digunakan dalam rangkai setiap bait kalimatnya merupakan bahasa sehari-hari. Namun meskipun demikian, yang namanya sastra puisi tetap saja sulit untuk betul-betul dipahami maknanya secara mendalam. Eh, mungkin itu hanya sekadar persepsi saya pribadi. Bukan klaim kebenaran yang umum dan pasti. Karena saya yakin bahwa diantara anda yang telah membaca buku tersebut, tentunya akan menuai kesan dan persepsi yang berbeda-beda. Yang pasti persepsi khas, versi anda.
 Alhamdulillah, setelah khatam membaca buku tersebut. Saya pun kembali mendapat pencerahan, bahwa sesungguhnya setiap masing-masing bentuk karya tulisan itu memiliki kesulitan tersendiri. Jelas benar-benar berbeda dan yang beda jangan pernah di sama-samakan. Namun yang sama adalah bagaimana diri kita memandang masing-masing bentuk karya tulisan tersebut, (bagaimana kita memposisikan framework). Yang disertai pula dengan bagaimana cara mengatasi dan mengontrol kemalasan yang terus menyelimuti diri kita.

   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal