Langsung ke konten utama

Tugas Kepenulisan (Pertemuan Dua)

Asyiknya Bermain Game
(Telaah Kebiasaan Mahasiswa dalam Mencari Hiburan)

Iftitah
Menjadi kebanggaan tersendiri mungkin, jika seseorang yang dikategorikan sebagai remaja akhir menuju dewasa awal menyandang status sebagai seorang mahasiswa. Kenapa tidak?  Bayangkan saja, term mahasiswa yang telah biasa berdengung ditelinga kita, sering kali dikoherensikan dengan status sosial kelas menengah-atas. Dalam artian, mereka yang menginjakkan kaki di dunia perkuliahan sering dikonotasikan sebagai seorang anak yang berlatar belakangkan keluarga yang berkecukupan dan memiliki jaminan masa depan yang cerah berkelanjutan. Kemungkinan besar demikianlah perspektif orang kecil pinggiran mengemukakan. Namun berbeda halnya, dengan mereka yang hidup dihiruk-pikuk dunia perkotaan-metropolitan. Seolah-olah bukan lagi sesuatu yang waw dan niscaya untuk dilakukan, ketika seseorang mampu menyandang labelitas sebagai mahasiswa yang intens bergumul dengan dunia perkuliahan.
Dalam realita kehidupan, menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa pun tidak semudah yang dibayangkan. Seperti halnya semudah membalikkan telapak tangan. Namun labelitas mahasiswa yang disandang, haruslah tetap lurus-berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, (pendidikan dan mengajar, penelitian danpengembangan dan pengabdian pada masyarakat).Sehingga menjadi afirmasi yang cukup kokoh, bila eksistensi-otonom mahasiswa digada-gadakan sebagai agent of change, agent of control dalam realita kehidupan masyarakat.
Tidak hanya demikian, dibalik harapan-harapan yang dinisbatkan dan dikonstruk oleh perspektif budaya sosial. Yang harus ini, harus itulah. Seorang mahasiswa haruslah loyal dalam menenteng setumpuk tugas yang diembannya. Memanajemen rutinitas waktu yang dijalaninya. Bukan sekadar kupu-kupu indah yang menghiasi pohon berbuah, yang berkamuflase payah. Tidak mudah bukan?
Namun secara sadar, mau-tidak mau memang kita harus berani mengakui bahwa segala sesuatu itu memerlukan kenikmatan dan kenyamanan dalam mengerjakannya. Sehingga dikala diri dihinggapi rasa bosan, jenuh dan merasa teralienasikan dengan seabrek tugas yang terus menghadang. Maka di sana pun memerlukan suatu gebrakkan, dongkrakan motivasi baru yang berupa liburan atau pun hiburan. Sehingga diri pun tidak jatuh pada perangkap stress yang berkelanjutan. Ya, misalnya saja kita ambil salah satu sampel, hiburan. Hiburan di sini dispesifikan lagi menjadi bermain game.


Sekilas Tentang Game
               Pada hakikatnya game merupakan salah satu hiburan. Suplemen dalam menuai semangatmotivasi kembali. Sekilas, menjadi penghilang beban ruet pemikiran dan kembali menjernihkan keadaan pemikiran. Namun apabila kita runtut sampai pada definisi secara terminologinya, term game pun akan memiliki arti sebagai berikut.
            Dalam kamus bahasa indonesia, term game memiliki arti permainan. Di mana permainan merupakan kompleksitas kegiatan yang di dalamnya mencakup sistem peraturan buatan (rekayasa). Definisi game ini berkonotasi dengan pengertian yang dikorelasikan dengan kelincahan intelektual (intelectual Playability Game).
            Tidak hanya demikian, secara historis (priodesasi) game dikategorikan menjadi dua bagian, yakni game tradisional, (permainan yang dimainkan secara langsung-berinteraksi face to face yang dilestarikan secara turun-temurun) dan game modern/canggih, (permainan yang dimainkan melalui perantara gadget). Sedangkan jenis game berdasarkan ‘platform’ alat yang digunakan, ialah dibagi menjadi lima varian. Pertama, Arcade games (yang sering disebut dengan ding-dong). Kedua, PC games (permainan yang menggunakan personal computer). Ketiga, Console games (permainan yang menggunakan console tertentu. Contoh PS 2, PS 3). Keempat, Handheld games (permainan yang menggunakan console khusus yang simple. Contohnya PSP). Kelima, mobile games (permainan yang dimainkan di mobile phone).
           
Asyik dan Menggelitik Hasrat Candu.
            Ubahnya telah menjadi suatu kelumrahan, bila seseorang memutuskan untuk bermain game, pasti dalam rangka mencari keasyikan. Mencari kasyikan dalam sekelumit gerombolan masalah yang sedang merongrong. Seakan-akan menjadi selaput tabir-pemisahan antara realita kehidupan dan hiperrealita yang menebar pesona keasyikan. Di sini, bermain game pun menjadi salah satu solusi yang ampuh dalam pelarian. Pelarian dari setumpuk tanggungjawab dalam realita kehidupan. Merefresh semangat, menghilangkan penat di kepala yang menjadi beban. Sehingga tidak menjadi suatu hal yang menyimpang bila permainan game ini hampir menyentuh semua kalangan. Namun kontruksi kebudayaan sosial, seakan-akan telah mengkhususkan bahwa permainan game menjadi hits atau trendi bagi kalangan anak-anak sampai dewasa.


Begitu halnya dengan seorang mahasiswa, yang terkadang merasa jenuh, bosan dengan seabrek tugasnya. Sehingga sering kali memalingkan hasratnya untuk lebih memilih bermain game. Kenapa harus memilih bermain game? bukannya refreshing mengunjungi tempat wisata lebih asyik ya? Kemungkinan besar alasan yang dikemukakan tidaklah jauh dengan dalihtidak mau ribet, dan lebih memilih yang lebih simple tentunya.Kegandrungan terhadap dunia game pun terus kian menjadi-menjadi.Kian gencar memperkosa permainan tradisional yang terus dikebiri. Apalagi tatkala teknologi yang terus berkembang menyuguhkan beragam gadget,(yang di dalamnya termasuk Hand Phone berbasiskan Android), sehingga beberapa model mobile games baru pun dengan mudah mampu diakses. Diantaranya saja game Get Rich, COC (Clash of Clans), dan lain sebagainya yang memiliki ranting teratas dalam kategori game favorit yang sering kali dimainkan. Sangat asyik bukan? Ditambah lagi dengan berbagai varian tingkatan (level dalam game) yang menyodorkan problem yang terus menantang. Sehingga dalam permainan game tersebut pun memikat pelakunya untuk terus berkesinambungan, kontinuitas dalam bermain. Yang pada akhirnya bermain game pun menjadi lahapan rutinitas keseharian, suatu kebiasaan yang terus dilanggengkan. Dikonstruksi secara sadar-ketergantungan. Baik dikala waktu senggang maupun memangkas waktu tegang dalam mengerjakan tugas yang menjadi beban kesibukkan dalam perkuliahan.
            Aksi bermain game pun kian menjadi brutal. Tatkala kegandrungan terhadap bermain game yang sedang gencar menjadi trendi tersebut, telah menjadi virus disetiap mahasiswa penggemar game. Yang lebih parahnya lagi, sampaiada mahasiswa yang malah asyik bermain game COC atau Get Rich dalam pertemuan perkuliahan.Sungguh ironis bukan? Belum lagi merembet pada tanggungjawab tugas yang menjadi beban, (tugas perkuliahan atau pun tugas kebutuhan pribadi keseharian). Lupa mandi, lupa makan, lupa waktu jam kuliah masuk kapan, lupa ibadah kapan dan diakhiri dengan ketidakteraturan yang berimbas pada tatanan hidup yang tidak karu-karuan.
            Nah, di sini pun seharusnya kita lebih mawas diri, lebih pandai dan dewasa dalam hal memilah-milah serta mengintropeksi semua kegiatan yang rutin kita lakukan. Tentu dong, harusnya ada afirmasi logis terhadap apa yang dikerjakan.
Secara sadar haruslah diakui, bahwa pada hakikatnya keberadaan game tidaklah lepas dari kontradiksi yang mengiringinya. Baik itu dampaknegatif ataupun positif yang melekat pada kehadirannya. Adapun beberapa dampak negatif yang akan dituai bagi pecandu bermain game, diantaranya ketergantungan yang berkelanjutan (menjadi candu), menjadi malas (yang berkelanjutan melalaikan tugas), kurang peduli lingkungan sekitar, pola makan dan tidur kian tidak teratur, jarang melakukan olahraga fisik, gangguan penglihatan, lupa waktu, dan lain sebagainya. Sedangkan dampak positif yang dapat dituai, diantaranya pandai berbahasa asing, pandai dalam membuat strategi, mengembangkan imajinasi dan lain sebagainya.

Khotimah
            Namun tetap saja kawan. Sepandai-pandainya dan seasyik-asyiknya kita bermain game. Tentu saja kita mesti bersikap proporsional dan profesional dalam melakukannya. Berusaha bersikap adil terhadap apa yang kita lakukan. Sehingga tidak melalaikan tugas yang menjadi tanggungan dan sekaligus tidak merusak tatanan manajemen rutinitas waktu dalam keseharian realita kehidupan. Khususnya lagi, bagi kita yang menyandang labelitas sebagai seorang mahasiswa-mahasiswi. Bukan kah kita sendiri telah tahu, bahwa time is money? Waktu tidak pernah mampu terulang? Meski itu hanya sedetik sekali pun.

Bahkan diri kita sendiri pun telah tahu, bahwa hakikatnya game, merupakan suplemen, stimulus dalam mengelus hasrat semangat untuk move on dari sekelumit masalah yang menjadi beban tanggungan. Salah satu sarana untuk refreshing. Sebagai kebutuhan tersier yang mengalihkan. Bukanlah kebutuhan primer yang perlu diutamakan. Karena bisa jadi, alih-alih kita berusaha mengambil dampak positif dari bermain game. Eh, ternyata malah banyak menuai sisi kenegatifannya.Sehingga menjadi sulit menyeimbangkan dan membedakan antara realita dengan hiperrealita. Menerapkan strategi war yang salah. Selalu mencurigai kawan sebagai lawan, musuh yang harus dihancurkan.  Semoga tidak demikian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal