Langsung ke konten utama

Cerita di Putih Abu-abu

Joget Berkamuflase
Oleh: Roni Ramlan
Putih abu-abu. Warna seragam yang pernah tersempai dikujur tubuh lurus-kecil, badan. Sungguh tidak terasa memang, tiga tahun itu pun telah berlalu. Secarik alur cerita telah mengukir bingkai kisah kehidupan. Tertanggal sudah, geliat semangat dalam tumpukan buku kusam dan foto buram yang menjadi saksi perjuangan. Sejuta suka-duka yang dulu menggelayutpun, kini menjadi nostalgia yang haru-menggelikan. Sungguh tidak aneh memang, jika khalayak umum selalu menggada-gadakan bahwa dunia pendidikan masa-masa adolsen menuju remaja awal (SLTA), memiliki sejuta kenangan yang sulit untuk dilupakan. Dan saya pun setuju demikian. Sebagai subjek yang pernah larut dalam pergumulan sistem di masa sekolah putih abu-abu. Eit’s, namun harus diingat pula, tatkala itu pun saya berperan sebagai pelaku sekaligus tokoh utama dalam alur cerita yang akan dipaparkan. Bukan sebagai pelaku utama dalam tindak kriminal-kekerasan ataupun pelaku nakal yang sering jadi bahan bulan-bulanan. 
Pemalu, serius dan begitu kaku. Itulah karakteristik sikap yang dilekatkan pada diri pribadi saya. Banyak orang berceloteh tentang saya demikian. Termasuk teman-teman sekolah saya di Madrasah Aliyah (MA) dikala itu. Entahlah, entah bagaimana komentar miring mereka tentang saya yang sekarang. Ada perubahan kah?
Harus diakui memang, sedikit agak canggung untuk mengumbar sekadar lelucon yang menggelikan. Mencuri senyum dikala semua orang hanyut dalam ketegangan, terselimut jenuh-kebosanan. Berbeda halnya dengan sebagian teman saya yang begitu pandai mencuri kesempatan untuk mencairkan keadaan. Dengan tingkahnya yang serba konyol, ia pun lihai memikat setiap lirik pandangan mata dan merangkul senyum-sumringah semua teman. Bahkan termasuk orang lain (adik kelas dan staf guru pengajar, maksudnya) yang sekadar numpang lewat, dalam langsungnya guyon yang menggelikan. Luar biasa bukan?. Memang sungguh payah, saya pun tidak mampu bertingkah demikian. Apalagi kalau disuruh stand up comedy, ampun dah saya nyerah. Mendingan nguras bak mandi aja dibelakang. Padahal kalau ketawa sangat doyan tuh. Hehe.
Ya, mungkin karena kecanggungan yang telah terbiasa itulah, sayapun menjadi sungkan dan malu untuk bertingkah konyol yang memancing guyon. Apalagi kalau saya sedang berada dikerumunan orang. Sehingga dari sana, saya sering diasumsikan sebagai orang yang selalu serius. Seakan-akan orang yang tidak pernah tahu-menahu tentang guyon. Padahal kalau dirumah, beh... sama nggak pernah tahu tuh.
Tapi meskipun demikian. Saya pun pernah membuat seorang teman tertawa terbahak-bahak loh. Tertawa, larut dalam tingkah konyol yang secara diam-diam saya sembunyikan dari kebanyakan teman sekelas saya.
Sangat jelas terdeskripsikan, kenangan tentang kejadian itu pun masih terlintas dalam memori kusut dikepala. Ketika itu saya sedang duduk dibangku kelas sebelas jurusan IPS-Akuntan semester dua.
Cerita itu terjadi di dalam kelas. Kalau tidak salah tepatnya hari selasa, yang kebetulan tatkala itu sedang berlangsungnya mata pelajaran seni kebudayaan daerah khusus periangan alias sunda. Iya betul hari selasa, soalnya seragam putih abu-abu yang rapi sangat jelas tersempai dikujur tubuh saya. Oh, iya. Saya perkenalkan dulu guru yang mengajar seni kebudayaan dikelas saya tatkala itu. Sebut saja Ibu Risma (nama aslinya bukan samaran). Salah seorang staf guru di sekolah Madrasah Aliyah, yang saya favoritkan. Eit’s, mari fokus kembali pada cerita yang akan saya paparkan. Dikala itu, yang menjadi bab pembahasan dikelas saya, yakni tentang instrumen dan ragamnya lagu kedaerahan, (maksudnya lagu daerah khas penataran sunda). Sang Ibu yang memang ahli dalam ruang lingkup seni dan olah vokal pun semakin asyik dengan materi yang sedang dipaparkan. Saking asyiknya beliau dengan penuh semangat dan kekhusyukan sering langsung memperaktikkan lagu daerah yang bersangkutan dengan materi pembelajaran. Suaranya begitu merdu. Saking merdunya, tatkala beliau sedang bernyanyi, diri saya pun seakan-akan berekstase khalayaknya sedang singgah disebuah gubuk kecil yang berada ditengah-tengah persawahan yang luas dan hijau. Mungkin itu hanya ekstase pribadi saya saja, berbeda lagi dengan tingkah yang disodorkan oleh sebagian teman kelas saya. Diantaranya saja ada yang langsung memasang posisi khalayaknya sedang mau berjoget, memasang ekspresi acuh-tak acuh (hanya sekadar penikmat belaka), atau bahkan ada yang terkagum-kagum.     
    Alih-alih berusaha menikmati merdunya lagu yang sedang dinyanyikan. Saya pun yang awalnya nikmat berekstase, berusaha menuruti hasrat natural manusiawi pribadi saya untuk mengerak-gerakan secara perlahan kedua jempol saya. Kebetulan tatkala itu, posisi duduk saya sangat mendukung untuk menghindari perbullian dari teman-teman sekelas saya. Yakni bertempat duduk dibagian pojok dari ruang kelas. Sehingga rasa aman untuk berekspresi pun seakan-akan tidak terbatasi dan tidak  mesti ditahan-tahan (ditangguhkan). Melainkan harus bisa tersalurkan, puas pokoknya. Gerakan joget kedua jempol saya pun semakin menjadi-menjadi, sampai-sampai tidak terasa bahwa ketika saya sedang asyik menikmati setiap hentak gerakan kedua jempol pun, ternyata ada salah seorang teman saya yang asyik sedang memperhatikan. Tatkala saya mengetahui demikian, dengan seretak, joget kedua jempol pun langsung saya hentikan. Kedua tangan, langsung saya sembunyikan ke dalam kolong meja yang ada di hadapan. Namun tetap saja efeknya sangat dasyat, tidak tanggung-tanggung. Salah seorang teman yang melihat joget misterius milik saya pun langsung cengengesan yang disertai dengan tertawa terbahak-bahak. Lucu, aneh dan menjadi keunikan kali ya. Padahal yang demikian, sedikit pun tidak terbesit tuh rasa aneh dan unik dibenak saya. Yang ada, malahan saya semakin malu dengan gelak tawa teman saya tersebut. Apalagi ketika teman saya tersebut memaparkan alasan apa yang membuat ia tertawa terbahak-bahak. Akhirnya tatkala semua pandangan mengarah ke pojok belakang, saya pun berusaha berlagak pilon, betingkah seakan-akan tidak terjadi apa-apa dengan diri pribadi saya. Sejujurnya, bila saya diperbolehkan untuk berterus-terang. Saya pun sedang menahan tawa, yang malu dan sedikit menggelikan. He. Utung saja, joget kedua jempol misterius saya pun tidak ketahuan oleh semua teman sekelas saya. Sehingga salah seorang teman yang terbahak-bahak tadi pun langsung merasa malu sendiri dengan penuh kebingungan.
Akhirnya saya pun berhasil berkamuflase, menghindari semua kemungkinan-kemungkinan yang akan mencabik-cabik harga diri saya. Hehe. Padahal di satu sisi yang lain, perspektif teman-teman sekelas terhadap saya pun telah mengkonstruk pribadi saya. Saya yang selalu serius dalam setiap keadaan. Kaku akan semua tingkah konyol yang tidak mungkin saya kerjakan. Namun, sejujurnya ketabuan yang telah disandarkan oleh semua orang pun seharusnya saya luapkan. Berusaha untuk dilakukan, supaya lama-kelamaan tidak mengendap dalam diri saya dan tidak menjadi phobia yang mengerikan. Pokoknya joget. Pokoknya joget. Pokoknya joget. Itulah yang belum pernah dan harus saya lakukan. Apalagi kalau jogetnya tersebut dilakukan dikerumunan orang.

Tulisan ini diikutkan dalam Bundafinaufara 1st Giveaway. http://www.bundafinaufara.com/
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal