Penyakralan Dominasi Patriarki dalam Praktek Poligami
‘Sexual
politics’ (1970), itulah karya Kate Millet, salah seorang tokoh feminisme
radikal yang tergolongan ke dalam madzab libertarian. Dalam karyanya ‘sexual
politics’ tersebut, Millet berusaha
medeskripsikan dan merepresentasikan khalayak seorang perempuan pada
zamannya. Seorang yang terjerat oleh keluguan dan ketidakkesadaran terhadap
hegemoni sistem seks/gender patriarki yang tercover dalam subordinasi dan
penindasan. Ya, demikianlah kiranya ideologi patriarki akut yang berusaha
melegitimasi perbedaan biologis yang ketara antara male dan female.
Semangat
yang sama demikian disodorkan pula oleh tokoh feminisme radikal libertarian
yang lain, yakni Sulamith Firestone. Melalui karyanya yang berjudul ‘Dialectic
of Sex’, firestone berusaha menegaskan bahwa dasar material ideologi
seksual atau politik submisi perempuan merupakan dominasi patriarki yang terus
mendiskreditkan dan mengalienasikan sosok perempuan dari kebebasannya dalam
mengatur rahim (reproduksi) yang telah menjadi milik, kodratnya sendiri. Sosok
laki-laki pun di sini diposisikan sebagai tokoh yang supersior, memiliki
kewenangan dan kekuasan total terhadap jalannya reproduksi. Sebagai pemilik
kenikmatan sejati yang tidak mempedulikan kepuasan lawan jenisnya, perempuan.
Sebagai dampak yang ketara dari penguasaan patriarki terhadap reproduksi tersebut,
maka dimunculkanlah revolusi biologis dan sosial, yakni berupa reproduksi
buatan. Yang lebih tepatnya lagi dengan maraknya bayi tabung. Proses pembuahan
yang berada diluar rahim perempuan, tegasnya tanpa hubungan intim antara male
dan female.
Melalui
sumbangsih pemikiran dua tokoh feminisme radikal tersebut, setidaknya kita
mampu menarik titik fokus yang tertuju pada penguasaan total laki-laki
(patriarki) terhadap reproduksi sosok perempuan. Ironisnya hal yang demikian
masih dengan jelas mampu kita temukan dalam realita kehidupan zaman modern ini.
Sebagai
contoh real dari praktek penguasaan reproduksi tersebut, ialah dapat kita lihat
dari langgengnya praktek konsep poligami yang menghegemoni dalam kebudayaan
kehidupan masyrakat. Terlebih lagi konsep untuk melakukan poligami tersebut
disokong kuat oleh doktrin agama. Semisal saja seperti yang diperbolehkan dalam
agama islam. Di mana seorang muslim diizinkan untuk menikahi sosok perempuan
lebih dari satu. Tidak tanggung-tanggung hukum tentang diperbolehkannya praktek
poligami ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 3. Yang artinya: “...
dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat
berbuat adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.
Sedangkan tidak sebaliknya, seorang perempuan sangat tidak diperbolehkan untuk
berpoliandri. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an surah
An-Nisa ayat 24. Yang artinya: “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami...”.
Dari
justifikasi agama, yang lebih tepatnya ayat Al-Qur’an tersebut. Seringkali masih
banyak atau bahkan menjadi suatu keumuman pemahaman dan cara pandang bila
seorang perempuan telah distigma, dinegasikan dan dialienasikan dari kebebasan
dirinya sendiri. Dilegitimasi sebagai objek pemuas nikmat (binary opposition)
yang terus dilestarikan menjadi kebudayaan lumrah sebagai objek keharusan untuk
dioperasi, dieksploitasi tanpa mempedulikan adanya rasa kepuasan dan kenikmatan
psikis personal secara pribadi.
Sehingga
di sana pun seakan-akan tidak terjadi apa-apa, atau bahkan yang lebih parahnya
lagi menjadi suatu hal yang menyimpang (melanggar norma) bila sosok laki-laki
tidak melakukan subordinasi dan penindasan terhadap kekuasaan reproduksi
seorang perempuan. Terlebih-lebih jika diiming-imingi oleh adanya label doktrin
agama, seperti pahala-siksa (laknat) dan
surga-neraka. Hal yang demikian tentunya tidak hanya terjadi pada satu
perempuan, apabila nyatanya dalam institusi pernikahan yang berlandaskan pada konsep
poligami tersebut terus dilanggengkan. Sungguh mengerikan bukan? Bukan kah
termasuk ke dalam kategori perayaan pemerkosaan yang dilembagakan? Jika
nyatanya hubungan intim dalam keluraga tersebut masih mengabaikan rasa saling
puas dan merasakan kenikmatan masing-masing personal, bagi orang yang
bersangkutan.
Komentar
Posting Komentar